Total Tayangan Halaman

Senin, 27 Agustus 2012

Bantuan Hukum Bukan Lagi Monopoli Advokat

Pemerintah dan DPR RI kali ini membuat sebuah terobosan yang menarik bagi pribadi saya (yang belum tentu mewakili banyak orang) setelah saya membuka situs www.dpr.go.id yang dikelola DPR RI pada konten “Undang-Undang dan RUU”. Setelah saya menemukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104) yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Karena saya terlambat dengan informasi ini, cepat-cepat saya mencari informasi terkait undang-undang tersebut dengan menggunakan search engine google. Ternyata, saya menemukan informasi penolakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Undang-Undang Bantuan Hukum (KUBAH) atas Penyelenggaraan Bantuan Hukum dibawah Kementrian Hukum dan HAM. Penolakan tersebut memang baik, tapi menurut saya, KUBAH diharapkan memberikan apresiasi kepada Pemerintah dan DPR RI, karena dengan adanya UU No.16 Tahun 2011, “Bantuan Hukum” tidak lagi menjadi monopoli advokat.
Sebelum dikeluarkan UU No.16 Tahun 2011, penyelenggaraan “Bantuan Hukum” sepenuhnya menjadi domain kelompok masyarakat independen yang bernama Advokat (organisasi advokat), baik advokat yang bekerja dalam law firm-law firm maupun yang bekerja di LBH-LBH seperti yang tergabung dalam KUBAH, seperti YLBHI, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogya, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Makasar, LBH Manado, LBH Papua, dan lain-lainnya. Dalam hal ini, pemerintah tidak sama sekali mengatur dan mengatur penyelenggaraan “Bantuan Hukum” yang diselenggarakan oleh Advokat. Karena penyelenggaraan “Bantuan Hukum” sepenuhnya menjadi dominan advokat sebagaimana yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Bahkan untuk memperkuat posisi advokat dalam penyelenggaraan “Bantuan Hukum” diperkuat dengan PP No.83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, dan SE MARI No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum.
Lalu saya bertanya-tanya, kalau sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan “Bantuan Hukum”, mengapa Pemerintah dan DPR RI masih mengeluarkan UU No.16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum? Apakah Pemerintah dan DPR RI tidak bermaksud mengatakan, bahwa organisasi advokat dan KUBAH gagal melaksanakan “Bantuan Hukum” bagi orang yang tidak mampu sebagaimana yang diamanatkan UU Advokat, sehingga Pemerintah dan DPR RI “terpaksa” mengeluarkan UU No.16 Tahun 2011. Apakah semata-mata karena alasan pemerintah terlalu dominan dalam mengatur penyelenggaraan “Bantuan Hukum” sehingga KUBAH memaksa untuk dilakukan Deadlock pada saat pembahasan RUU Bantuan Hukum?
Kalau kita menyimak kembali Pasal 6 Ayat (2) UU No.16 Tahun 2011 dan Penjelasannya, kita akan menemukan titik terangnya. Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan: “Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini”. Dalam Penjelasan Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan: “Ketentuan ini tidak mengurangi kewajiban profesi Advokat untuk menyelenggarakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang mengenai Advokat”. Artinya, Pemerintah sepertinya harus terlibat dalam penyelenggaraan “Bantuan Hukum” bagi orang yang tidak mampu tanpa mengurangi peranan advokat dalam penyelenggaraan “Bantuan Hukum” yang diselenggarakan oleh Advokat berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003.
Pasal 22 UU No.18/2003 menetapkan, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (Ayat 1). Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Ayat 2). Adapun peraturan pemerintah yang dimaksud adalah PP No.83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Dengan ketentuan Ayat (2) ini, ternyata para pembuat UU Advokat sebenarnya masih memberikan sepenuhnya pengaturan penyelengaraan bantuan hukum kepada pemerintah. Seharusnya ketentuan Ayat (2) ini tidak perlu ada karena kewajiban memberikan bantuan cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu merupakan bagian yang melekat pada diri setiap orang yang mempunyai profesi sebagai advokat dan hal ini tidak perlu minta bantuan kepada pemerintah untuk di atur.
Anehnya, dalam UU Advokat dan PP No.83 Tahun 2008 tidak mengatur sama sekali ketentuan sanksi pidana maupun denda yang tujuannya menjamin advokat melaksanakan kewajibannya bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Kalau advokat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma, advokat tersebut hanya diberikan sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) PP No.83 Tahun 2008, yaitu: (1) teguran lisan; (2) teguran tertulis; (3) pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau (4). pemberhentian tetap dari profesinya. Selain itu, sanksi administratif tersebut hanya bisa dilakukan organisasi advokat berdasarkan Kode Etik Advokat.
Pasal 4 Huruf f Kode Etik Advokat menyebutkan, Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa. Dengan adanya katanya “harus” maka ukuran normanya adalah moral. Artinya memberikan bantuan Cuma-Cuma bukanlah kewajiban setiap advokat melainkan tuntutan moral dari setiap advokat. Dengan demikian, advokat tidak bisa diberikan sanksi lantaran tidak melaksanakan “keharusan” tersebut, kecuali ketika advokat melaksanakan “keharusan” tersebut terbukti meminta uang jasa kepada klien yang tidak mampu. Kalaupun terbukti, sifat sanksinya adalah administratif dan pemerintah tidak bisa melakukan intervensi pada setiap putusan sanksi administratif yang dilakukan oleh organisasi advokat.
Sifat dari moral bantuan hukum Cuma-Cuma tersebut diperkuat dengan Pasal 3 huruf A Kode Etik Advokat, bahwa Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Bisa saja seorang advokat menolak memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dengan pertimbangan “bertentangan dengan hati nuraninya” atau “tidak sesuai dengan keahliannya”. Misalnya, ada orang yang tidak mampu ingin mengajukan gugatan malpraktek. Orang tersebut datang kepada advokat dan advokat tidak sanggup memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma lantaran banyak perkara yang harus ditangani atau tidak sesuai dengan keahliannya. Akhirnya orang yang tidak mampu itu datang ke Posbankum Pengadilan, ternyata Advokat Piket tidak ada di Posbankum.
Contoh kasus tersebut sudah sering banyak terjadi, sehingga dalam Penjelasan UU No.16 Tahun 2011 mengatakan, Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat. Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin. Atas dasar ketentuan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan situasi bantuan hukum yang terjadi saat ini, dibuatlah UU No.16 Tahun 2011.
Dalam UU No.16 Tahun 2011, Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Syarat-syarat lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum yang dapat disebut sebagai Pemberi Bantuan hukum adalah: (a). berbadan hukum; (b). terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini; (c). memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; (d). memiliki pengurus; dan (e). memiliki program Bantuan Hukum. Lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang belum memenuhi persyaratan tersebut di atas tetap dapat memberikan Bantuan Hukum selama Lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan tersebut mempunyai advokat berdasarkan UU Advokat.
Selanjutnya, siapakah “Penerima Bantuan Hukum”? Menurut Pasal 1 angka 2 UU No.16/2011, Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Pasal 5 UU No.16/2011 menegaskan, Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum adalah setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Dengan ketentuan ini, orang miskin atau tidak mampu dalam perkara perceraian atau masalah harta warisan tidak berhak menerima Bantuan Hukum dari Pemberi Bantuan Hukum, karena perkara perceraian atau masalah harta warisan tidak termasuk dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar secara layak dan mandiri.
Menurut UU No.16/2011, Bantuan Hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Bantuan Hukum yang dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum, termasuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Bantuan Hukum kepada orang miskin atau tidak mampu dalam rangka memenuhi hak-hak dasar dan layak tidak lagi menjadi monopoli advokat. Namun ketiadaan monopoli ini bukan berarti meniadakan peranan advokat menyelenggarakan bantuan hukum. Keberadaan UU No.16/2011 ini justru memperkuat keberadaaan advokat karena setiap orang atau kelompok masyarakat akhirnya bisa mendirikan Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan dalam rangka memberikan Bantuan Hukum atau melakukan advokasi kepada orang miskin atau tidak mampu dalam rangka memenuhi hak-hak dasar dan layak sampai sidang pengadilan.


OLEH : Eusebius Purwadi
Kompasiana : http://hukum.kompasiana.com/2012/05/27/%E2%80%9Cbantuan-hukum%E2%80%9D-bukan-lagi-monopoli-advokat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar