Total Tayangan Halaman

Sabtu, 08 Februari 2014

Penyampingan Perkara Pidana SEPONERING dalam Penegakan Hukum

Resume buku karya
F Darmono E

BAB I  EKSISTENSI HUKUM DALAM NEGARA
Keberadaan hukum dalam kehidupan bernegara menjadi saran untuk mengatur, menjaga dan mengendalikan semua aspek dalam penyelenggaraan kehidupan pemerintahan negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara apapun bentuknya negara itu, tidak mungkin dapat dilepaskan atau dipisahkan dari tindakan penegakan hukum (Law enforcement), bahkan di dalam suatu negara yang menerapkan sistem kekuasaan mutlak yang dipegang oleh Kepala Negara (Diktator) sekalipun, ketentuan hukum senantiasa akan menjadi panduan (guiden) bagi pemegang kekuasaan negara dalam rangka menyelenggarakan pemerintahannya.
Jika hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka kepastian rasa aman, ketentraman ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Segala kebijakan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan negara baik yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan di bidang politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya maupun pertahanan keamanan, masing-masing harus didasarkan pada suatu mekanisme atau tata cara yang diterapkan berdasarkan suatu aturan yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan.
Hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan menempati posisi strategis dan menentukan. Strategis karena ketentuan hukum yang dimanifetasikan dalam bentuk aturan-aturan (baik tertulis maupun tidak tertulis) akan selalu bersentuhan dengan semua aspek kehidupan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berarti semua gerak langkah dan operasionalisasi dari keseluruhan aspek atau bidang-bidang tersebut harus didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang tidak lain adalah inti atas eksistensi hukum itu sendiri. Sedangkan dikatakan menentukan, karena baik buruknya penegakan hukum yang diimplementasikan dengan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam semua aspek penyelenggaraan pemerintahan akan memberikan warna (pengaruh signifikan) dalam penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya.
Cakupan yang diperlukan dalam penegakan hukum meliputi 4 komponen utama yaitu :
v  Produk hukumnya (perundang-undangan).
v  Lembaga-lembaga atau badan penyelenggara penegakan hukum beserta sarana dan prasarananya.
v  Sumber daya manusia / pelaksana penegakan hukum.
v  Perilaku masyarakat yang taat hukum atau yang dikenal dengan budaya hukum.
Tindakan penegakan hukum tidak dapat dinilai sebatas pada penanganan dan penyelesaian suatu perkara melalui proses peradilan, karena semua tindakan hukum dan proses peradilan baik dalam perkara pidana, perdata, tata usaha negara dan lain-lain hanyalah merupakan bagian dari proses dalam kerangka penegakan hukum. Hal ini menarik perhatian publik khususnya terkait dengan peradilan pidana, disebabkan hal-hal sebagai berikut :
Ø  Permasalahan yang harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana adalah berhubungan langsung dan menyentuh pada aspek kepentingan umum (public interest).
Ø  Implikasi atau akibat dari pelaksanaan penegakan hukum di bidang peradilan pidana adalah berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia (berhubungan dengan nasib manusia, apakah seseorang tetap bisa hidup di alam bebas atau harus menjalani kehidupan yang terampas kemerdekaannya atau bahkan dengan pidana mati).
Ø  Implikasi atau akibat dari pelaksanaan penegakan hukum di bidang peradilan pidana akan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kedudukan hukum atau status sosial bagi seseorang yang menjalaninya (perubahan status dari seorang pengusaha menjadi narapidana, dari pejabat yang punya kekuasaan dan kebebasan berubah menjadi tersangka, terdakwa dan atau terpidana kemudian dipecat dari jabatannya).
Ø  Dari aspek perekonominan akibat pelaksanaan penegakan hukum melalui proses peradilan pidana dengan dilakukannya penyitaan atau perampasan atas aset-aset yang diduga hasil dari tindak pidana maka bisa mengakibatkan seseorang menjadi miskin karenanya.
Hal-hal tersebut di atas kemudian menjadi pemicu terjadinya praktek-praktek penyimpangan dalam penegakan hukum yaitu di satu pihak yang diduga sebagai pelaku suatu pelanggaran penegakan hukum dapat menghindar dari jeratan hukum dan di lain pihak bagi penyelenggara penegakan hukum yang tidak mampu memegang amanah untuk menyelenggarakan penegakan hukum atas dasar prinsip-prinsip Kebenaran dan Keadilan.
Penegakan hukum dengan prinsip Kebenaran berarti pelaksanaan tugas dan wewenang yang dilaksanakan oleh aparat penyelenggara atau penegak hukum sesuai dengan ruang lingkup dan tahapannya (penyidik, penuntut umum, atau hakim pada semua jenis peradilan) dilaksanakan secara lugas sesuai dengan amanat atau yang tersurat dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penegakan hukum dengan prinsip Keadilan berarti bahwa semua langkah, tindakan hukum atau kebijakan yang diambil, dikeluarkan atau ditetapkan oleh penyelenggara penegakan hukum atau pejabat, harus senantiasa didasarkan dan dengan memperhatikan pada tuntutan hati nurani, suara batin dari manusia pada umumnya. Ukurannya melalui penilaian masyarakat berdasarkan kualifikasi kepatutan atau sebagai hal kewajaran.
Hal yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan/penegakan hukum adalah kemauan atau komitmen untuk memenuhi prinsip-prinsip penegakan hukum yaitu :
ü  Adanya kepastian hukum (legal certainty/law certainty)
ü  Keadilan masyarakat (justice for the people)
ü  Manfaat bagi masyarakat (benefits for the people)
Salah satu sisi dalam penegakan hukum adalah proses penanganan dan penyelesaian perkara pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana atau criminal justice system. Proses peradilan pidana adalah keseluruhan proses yang meliputi tindakan penyelidikan, tindakan penyidikan, tindakan penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan serta pelaksanaan atas putusan pengadilan (eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana). Masing-masing tahapan dalam proses peradilan pidana tersebut dilakukan oleh lembaga atau instansi yang masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang secara rigid telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif baik di dalam ketentuan umum yang diatur dalam Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun ketentuan khusus Hukum Acara Pidana yang diatur di dalam suatu ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus pula.
Kewenangan-kewenangan dari lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana dan penanggung jawab dari proses peradilan pidana berdasarkan perundang-undangan antara lain :
1.      Kewenangan imperatif/limitatif => perintah bersifat terbatas dan mengikat.
2.      Kewenangan tentatif/alternatif => penyelenggara suatu proses peradilan pidana dapat memilih untuk menentukan suatu keputusan-keputusan atau kebijakan tertentu dalam suatu proses pidana.
Sejak pemerintahan Orde Baru (1966), kewenangan Jaksa Agung untuk “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” tidak pernah digunakan untuk menghentikan proses perkara pidana sekalipun dalam bentuk lain telah dilakukan untuk menghentikan proses perkara pidana saat itu yaitu dalam bentuk :
§  Melakukan penghentian penyidikan dengan SPPP/SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan);
§  Melakukan penghentian penuntutan dengan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan);
§  Menutup perkara demi hukum/karena kadaluarsa/terdakwa meninggal dunia.
Kebijakan Jaksa Agung berupa “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” terdapat dalam kasus tindak pidana korupsi atas nama tersangka Dr. BIBIT SAMAD RIANTO, CHANDRA MARTHA HAMZAH (yang dikenal dengan kasus Bibit-Chandra). Tindakan Jaksa Agung RI untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut dilabeli penulis dengan suatu “Lembaga Pengampunan” yang diberikan Undang-Undang kepada Jaksa Agung RI terhadap seseorang yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana, atas dasar atau pertimbangan umum. Hal yang mendasar dan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan penyampingan perkara pidana tersebut adalah bahwa tindakan tersebut semata-mata didasarkan atas pertimbangan kepentingan umum (public interested).
Ukuran untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur kepentingan umum tersebut terdapat di dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu “bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas”. Pada kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah menurut penulis telah terpenuhi, yaitu :
1.      Apabila tindakan itu (mengesampingkan perkara) dilakukan suatu akibat, resiko berupa terhambat atau terkendalanya penyelenggaraan penegakan hukum dapat dicegah/diminimalisir. Sebaliknya, jika kasus tersebut terus dilakukan dan diajukan ke pengadilan maka dapat menghambat program pemerintah sekaligus tuntutan publik yang merupakan kepentingan bangsa, khususnya program pemberantasan tindak pidana korupsi. Khusus perkara pidana korupsi Bibit-Chandra yang saat itu menjabat anggota komisioner dan sekaligus unsur pimpinan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jika keduanya dituntut dan diajukan ke persidangan maka status hukum mereka dari tersangka akan menjadi terdakwa, dan sesuai Pasal 32 (1) huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan korupsi, maka mereka harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Ketiadaan 2 orang pimpinan KPK ditambah 1 orang pimpinan karena masa jabatannya telah habis, maka akan menyisakan 2 orang pimpinan yaitu Haryono Umar dan M. Yasin. Kondisi tersebut (2 orang pimpinan yang seharusnya 5 orang) baik secara managerial maupun psikis akan berdampak negatif yaitu rapuhnya kekuatan KPK sehingga berdampak negatif pada etos kerja KPK dalam pemberantasan tindak korupsi, yang berarti juga kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara menjadi terabaikan.
2.      Bahwa sesuai dengan asas legalitas dan prinsip persamaan kedudukan warga negara di muka hukum, maka ada beberapa pihak yang menghendaki diprosesnya kasus Bibit-Chandra. Namun, atas pertimbangan untuk kepentingan yang lebih luas agar KPK leluasa untuk tetap mempunyai kekuatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, maka Jaksa Agung RI berdasarkan ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 mengeluarkan keputusan yang dinamakan “Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum”.
3.      Apabila program pemberantasan korupsi gagal (meningkatnya kualitas dan kuantitas korupsi) maka akan berpengaruh pada menurunnya kualitas pembangunan nasional yang pada waktu bersamaan akan berpengaruh pada menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia.
BAB II SEPONERING DAN KEWENANGAN PENUNTUTAN
Seponering
Seponering merupakan bentuk pelaksanaan dari asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2005 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Sebagaimana pasal itu yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Yang dapat melakukan hal itu adalah Jaksa Agung dengan memperhatikan saran dan pendapat dari Badan-Badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Kewenangan seponering sudah dimiliki Kejaksaan sejak lama, bahkan di tiga Undang-Undang sebelumnya. Kewenangan ini masih perlu dimiliki oleh Kejaksaan selaku penegak hukum, karena berdasarkan asas diskresi, setiap penegak hukum memang perlu memiliki kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum itu. Namun, meski begitu harus diberi rambu-rambu agar seponering tidak diterbitkan seenaknya. Seponering sebenarnya cukup berguna untuk kasus-kasus tertentu, misal dalam pencurian buah kakao yang dilakukan nenek Minah beberapa waktu lalu. Dalam hal ini seharusnya Jaksa bisa menggunakan kewenangannya untuk mengesampingkan perkara, sehingga tidak menciderai rasa keadilan masyarakat. Seponering juga berguna untuk mengurangi tumpukan perkara yang mampir ke meja pengadilan.
Pada kasus lain, ada Jaksa yang mengeluh karena sebuah kasus tembok tiga bata saja yang bermuara ke Kasasi di Mahkamah Agung. Padahal, polisi atau jaksa sejak awal bisa mengesampingkan perkara ini di tingkat awal. Pihak penyidik (polisi) mungkin dapat berdalih bahwa yang berperkara tidak mau damai sehingga ada faktor kultur yang harus dipertimbangkan, sehingga kewenangan seponering itu tetap perlu dimiliki oleh Kejaksaan.

Kewenangan Diskresi
Salah satu kewenangan Jaksa yang paling penting di Belanda adalah prinsip oportunitas (principle of oppurtunity). Pada dasarnya prinsip oportunitas memungkinkan Jaksa Penuntut Umum untuk memilih menuntut suatu kasus atau tidak. Jaksa bisa mengabaikan penuntutan suatu kasus atas dasar dilakukan pada setiap tingkat perkara pengadilan.
Di Belanda, Jaksa memiliki dua kombinasi kekuasaan utama, yaitu kekuasaan oportunitas dan kekuasaan jaksa untuk menginstruksikan polisi menginvestigasi suatu kasus atau tidak, atau menentukan bentuk kejahatan apa yang harus diinvestigasi sebagai prioritas. Seorang Jaksa Pentuntut Umum di Pengadilan Banding Arnhem (Belanda) menyatakan tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan seponering. Pertama : apakah tersangka akan memperbaiki perilakunya. Kedua : apakah norma-norma hukum yang mendasari suatu tuntutan tindak pidana tertentu akan lebih sering dilanggar kalau tuntutan disisihkan. Ketiga : apakah akan timbul keresahan masyarakat kalau tindak pidana itu dituntut. Semua ini dapat dijawab bukan melihat kasus per kasus secara individual tetapi berdasarkan hasil riset kriminologi.
Diskresi merupakan tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan hati nuraninya, artinya jika melihat kasus seponering yang terjadi dalam kasus Bibit-Chandra, sejarah seponering atau oportunitas tadi, maka dengan alasan demi kepentingan umum, perkara Bibit-Chandra sudah seharusnya di-sepot (menyampingkan atau tidak melanjutkan penuntutan terhadap tersangka karena pertimbangan asas oportunitas).
Seponering perkara Bibit-Chandra dianggap diperlukan mengingat adanya dugaan upaya pelemahan KPK, di mana KPK yang telah dibentuk dengan susah payah yang statusnya berada di depan sebagai motivator atau trigger dalam upaya pemberantasan korupsi perlu diselamatkan dari upaya pelemahan demi kepentingan umum. Dalam hal melaksanakan kewenangannya, Jaksa Agung dapat diyakini bukan karena adanya intervensi dari pihak ataupun lembaga lain, tapi semata-mata demi kepentingan umum, untuk itu pihak lain diharapkan dapat menghormati keputusan seponering yang diambil oleh Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam kasus dugaan suap terhadap dua pimpinan KPK yaitu Bibit-Chandra.
Di beberapa negara penganut asas oportunitas, telah berkembang pengertian penyampingan perkara tidak hanya berdasarkan alasan kepentingan umum, namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi penuntutan. Seperti kutipan Wilcox, menyatakan bahwa pedoman diskresi penuntutan itu harus seimbang dengan kedudukan jaksa yang dominan. Akan tetapi kalau pedoman itu terlalu kaku, diskresi akan berkurang artinya, mengingat bahwa diskresi ini adalah kebebasan menerobos aturan dan dilakukan dengan tidak keluar dari aturan bernalar dan aturan berkeadilan. Dengan diskresi penuntutan akan terbuka kesempatan bagi Jaksa untuk menyaring kasus-kasus pidana lebih efektif sebelum dilakukan penuntutan dengan melakukan penangguhan penuntutan, sehingga pelaku dapat merehabilitir dirinya sendiri.
Menurut penulis (Darmono), apabila kewenangan ini didistribusikan kepada Jaksa Penuntut Umum di Indonesia, niscaya akan lebih dapat dijamin terciptanya asas peradilan pidana secara cepat, sederhana dan biaya ringan yang bertumpu pada keadilan dan sangat didambakan dalam reformasi hukum dan era globalisasi. Diskresi penuntutan ini pada umumnya berkaitan dengan upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP.
Di Amerika, para jaksa tidak mengenal asas oportunitas, namun mengenal plea bargaining yang menentukan jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan adanya pengakuan terdakwa. Para jaksa di Amerika hampir otonom dalam melaksanakan wewenang diskresi sejak awal penyidikan sampai pada pasca persidangan. Keputusan untuk menuntut atau tidak, hampir bebas sepenuhnya dari orang-orang atau badan lain. Para jaksa Amerika dapat menghentikan penuntutan atau berkompromi (plea bargaining). Terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum persidangan di mulai, jika jaksa setuju maka ia dapat mengurangi dakwaan atau memberi rekomendasi kepada pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih ringan.
Dengan demikian di beberapa negara penganut asas oportunitas telah berkembang pengertian penyampingan perkara, tidak hanya berdasar atas alasan kepentingan umum, namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi penuntutan. Diskresi penuntutan ini sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda yang ternyata menganut asas oportunitas sebagaimana dianut Belanda.
Jikalau wewenang untuk mengesampingkan perkara diambil Jaksa Agung Indonesia, maka para Jaksa itu akan memiliki wewenang untuk menghentikan penuntutan hanya dengan alasan teknis sesuai yang tertera dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP, yaitu : tidak cukup bukti-buktinya; peristiwanya bukan tindak pidana; dan perkara ditutup demi hukum, misalnya : tersangkanya meninggal dunia, atau perkaranya kadaluarsa, atau perkaranya sudah diputus oleh pengadilan (ne bis in idem).
Kepentingan Umum
Berkaitan dengan asas oportunitas, diambil kesimpulan bahwa kepentingan umum identik dengan kepentingan negara. Penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung sampai sekarang ini adalah sangat insidentil sekali. Pada umumnya semua perkara kejahatan adalah dituntut ke muka pengadilan jika cukup buktinya.
Kepentingan umum dalam negara hukum mempunyai dua peranan penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan peranan pasif. Dalam peranan yang aktif, kepentingan umum menuntut eksistensi daripada hukum dan sebagai dasar menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat dicapai. Jadi peranan aktif kepentingan umum dalam hal ini adalah mengenai cita-cita hukum. Di Indonesia cita-cita hukumnya diwujudkan oleh pokok-pokok pikiran dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kepentingan umum memiliki peranan pasif apabila dijadikan obyek pengaturan daripada peraturan hukum. Sehubungan dengan itu maka kepentingan umum dapat dilihat dari sudut peraturan perundangan dan menurut hukum adat.
Secara teorities dapat dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan resultante hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dengan menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan umum. Secara praktis dan kongkres akhirnya diserahkan kepada hakim untuk menimbang-nimbang kepentingan mana yang lebih utama dari kepentingan yang lain secara proporsional dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan yang lain.
Berbagai Pertimbangan Dalam Tindakan Hukum / Kebijakan Penghentian Penyidikan / Penghentian Penuntutan Kasus Korupsi antara lain :
a.       Pertimbangan penghentian penyidikan
Penghentikan penyidikan perkara tindak pidana korupsi di samping didasarkan atas faktor-faktor yuridis juga dimungkinkan terjadi karena dorongan hal-hal antara lain :
Faktor Yuridis
-          Pasal dari Undang-Undang tindak pidana korupsi yang disangkakan tidak sesuai dengan fakta perbuatan yang terjadi dalam kasus tersebut, sehingga berakibat tidak dipenuhi secara mutlak minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat 1 KUHAP, yang bunyinya “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara yang satu dengan yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
-          Perbuatan yang dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dikategorikan pada korupsi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, tetapi perbuatan tersebut masih termasuk dalam ruang lingkup wilayah hukum perdata atau wilayah hukum lainnya.
-          Tempus delicti perbuatan korupsi telah lewat waktu (kadaluarsa), tidak mampu bertanggung jawab, meninggal dunia, nebis in idem dan perbuatan tersebut bukan tindak pidana tetapi perdata.
Non Yuridis :
-          Aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan belum mempunyai kualitas profesional yang handal karena tak mampu menggali fakta-fakta hukum dengan baik untuk mengkaitkan hubungan antara peran seseorang dengan tindak pidana yang terjadi.
-          Adanya intervensi eksternal baik langsung/tidak langsung (secara yuridis sulit dibuktikan, tetapi ada terjadi), hal ini terjadi bila korupsi tersebut dilakukan oleh aparat negara yang menduduki posisi strategis dan berpengaruh dalam masyarakat/pemerintahan, sehingga lingkungan di sekitarnya akan berusaha dengan segala cara agar perbuatan korupsi tersebut tidak terungkap dan ditangani oleh aparat Gakkum; biasanya kondisi ini erat kaitannya dengan suatu rezim yang berkuasa.
-          Penyidik/aparat penegak hukum yang tidak jujur, artinya penyidik tersebut tidak melaksanakan tugasnya selaku penyidik sebagaimana mestinya, antara lain perkara yang agak samar-samar pembuktiannya sebenarnya kalau betul-betul ditangani secara profesional akan terpenuhinya semua unsur tindak pidana korupsi yang disangkakan, tetapi karena ada intervensi mungkin janji sesuatu jasa dari pihak tersangka baik langsung atau tidak langsung (secara yuridis sulit dibuktikan, tetapi itu ada terjadi), maka kemudian pembuktian yang samar-samar tersebut makin disamarkan, dan hal ini mendorong sebagai upaya pembenaran penyidik untuk melakukan tindakan penghentian penyidikan.
b.      Berbagai kebijakan / tindakan “Tidak Melakukan Penuntutan” oleh Penuntut Umum
-          Mekanisme struktural : melalui mekanisme pasal 140 (2) KUHAP dan pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 tahun 2004 tentang penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum sebagai pelaksanaan asas oportunitas yang dilakukan oleh Jaksa Agung.
-          Mekanisme non struktural : melalui hak prerogatif Presiden yang meliputi amnesti, abolisi. Memang dalam KUHAP tidak dikenal istilah penghentian pentuntutan non struktural ini, namun dalam praktek kebijakan tidak menuntut perkara dimungkinkan dilakukan melalui penerapan hak prerogatif Presiden, atas dasar pertimbangan politik dan kebijakan kepentingan negara.
Indonesia menganut asas legalitas yang lebih mengutamakan pemberlakuan norma-norma formal (hukum tertulis), dan secara umum asas legalitas mengandung pengertian dan prinsip-prinsip :
*      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan diatur oleh Undang-Undang.
*      Undang-Undang menentukan adanya asas tidak boleh digunakan analogi (qiyas).
*      Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut.
Muladi (Kumpulan Tulisan tentang RUU KUHP), mengatakan bahwa dalam penerapan asas legalitas terdapat empat larangan yaitu :
*      Larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis.
*      Larangan untuk melakukan analogy.
*      Larangan terhadap pemberlakukan pidana secara surut.
*      Larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas.
Menurut penulis (Darmono), penanganan kasus korupsi di Indonesia belum maksimal dikarenakan kurang matangnya penanganan tahap awal (penyelidikan dan penyidikan) sehingga hasil penyidikan tidak maksimal sehingga pada saat penuntutan mudah dipatahkan dan disanggah oleh terdakwa, lebih-lebih integritas aparat penegak hukum termasuk hakim belum sepenuhnya terpuji sehingga berpotensi untuk memanfaatkan kelemahan sekecil apapun dari peluang yang ada. Oleh karena itu, kegiatan penyelidikan merupakan bagian dari penyidikan maka seyogyanya secara formal tidak perlu dicantumkan dalam perumusan KUHAP ke depan, karena pada dasarnya tujuan akhir penyelidikan dan penyidikan adalah sama yaitu untuk menemukan bukti-bukti terjadinya tindak pidana dan menemukan bukti-bukti terjadinya tindak pidana dan menemukan adanya tersangka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam praktek sekarang mekanisme penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik yang berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) ada dan berpotensi untuk disalah-gunakan tujuannya, sehingga bila perkara tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan perkara sulit untuk dipenuhi adanya bukti awal yang cukup sehingga perkara tak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dalam tahap penyidikan tidak memenuhi unsur tindak pidana yang disangkakan, akibatnya perkara korupsi tersebut dihentikan penyidikannya atau bila dilimpahkan ke pangadilan akan berakibat adanya putusan bebas/dilepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini tentu berakibat dapat merugikan tujuan pemberantasan korupsi.
Pelaksanaan asas oportunitas akan mengalami kesulitan karena alasan demi kepentingan umum mengandung makna yang luas, oleh karena itu agar pelaksanaannya tidak mengalami hambatan, dapat dibentuk suatu Badan/Komisi yang sifatnya permanen dengan anggota terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat (yang mewakili semua kepentingan) bertanggung jawab langsung kepada Presiden cq. Jaksa Agung.
BAB III  BEDAH KASUS SEPONERING ATAS TERSANGKA BIBIT SAMAD RIANTO – CHANDRA M. HAMZAH
Perkara pidana dapat berhenti pada semua tahap pemeriksaan baik pada tingkat penyelidikan, tingkat penyidikan, penuntutan bahkan sampai pada tahap pemeriksaan di muka persidangan dimungkinkan pemeriksaan suatu kasus pidana akan berhenti atau dihentikan. Penghentian suatu proses perkara pidana hakekatnya adalah bagian dari sistem dalam kerangka Criminal Justice Process. Secara keseluruhan ada 5 jenis tindakan hukum untuk menghentikan proses penanganan perkara pidana sesuai dengan tahapannya yaitu :
1.      Penghentian Penyelidikan (untuk tahap penyelidikan);
2.      Penghentian Penyidikan (untuk tahap penyidikan);
3.      Penghentian Penuntutan (untuk tahap penuntutan);
4.      Pengesampingan perkara demi kepentingan umum (untuk tahap penuntutan);
5.      Penutupan / menutup perkara demi hukum (untuk tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan bahkan setelah dalam proses pemeriksaan di persidangan dimungkinkan perkara tidak dilanjutkan prosesnya apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76-78 KUHP).
Dalam kasus Bibit-Chandra, sesuai pasal 1 angka 6, Pasal 270 KUHAP dan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, serta mendasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka secara hukum Jaksa atau Kejaksaan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan putusan pengadilan, namun tindakan hukum Kejaksaan (Jaksa) di dalam menangani dan menyelesaikan kasus tersebut tidak seperti yang disebutkan dalam amar putusan pengadilan pada perkara in casu, tetapi tetap dalam kerangka hukum berdasarkan ketentuan perundang-undangan  yang berlaku, dengan analisa dan pertimbangan-pertimbangan hukum yang pada intinya dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Bahwa apabila perkara dilimpahkan ke Pengadilan maka status hukum para tersangka akan berubah dari terdakwa atau selaku pimpinan KPK akan diberhentikan sementara dari jabatannya, dan dengan diberhentikan sementara 2 pimpinan KPK dari jabatannya akan berdampak pada kinerja KPK sehingga secara manajerian dan psikis kelembagaan serta secara teknis akan mendorong lemahnya etos kerja KPK dan memperlemah kepercayaan masyarakat kepada KPK sebagai triger mechanism pemberantas korupsi di Indonesia, yang pada akhirnya akan memperlemah program dan agenda nasional Bangsa Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.      Bahwa dalam masalah penuntutan perkara pidana, di dunia dikenal 2 asas yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas pada pokoknya menyatakan Jaksa berwenang melakukan penuntutan setiap pelanggaran hukum pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan asas oportunitas pada pokoknya menentukan bahwa Jaksa mempunyai wewenang untuk tidak melakukan penuntutan atas terjadinya suatu tindak pidana atas dasar pertimbangan kepentingan umum. Indonesia menganut asas oportunitas sebagaimana diatur dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
3.      Bahwa dengan mempertimbangkan segala aspek kepentingan yang lebih luas dan lebih besar bagi Bangsa dan Negara yaitu untuk percepatan dan keberhasilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang paling tepat bilamana kebijakan yang harus diambil dalam menyelesaikan perkara Bibit-Chandra adalah dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum.
4.      Bahwa tindakan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum selain merupakan kewenangan Jaksa Agung RI sesuai pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, pada hakekatnya juga merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Nomor : 152PK/PIDANA/2010tanggal7Oktober2010.
5.      Bahwa sesuai dengan penjelasan pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 th. 2004 tentang Kejaksaan RI, keputusan mengesampingkan perkaran demi kepentingan umum dapat dilakukan Jaksa Agung RI setelah memperhatikan saran dan pendapat dari Badan-Badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Mengenai status hukum tersangka yang kasusnya telah di seponering, masih menjadi multi tafsir. Sebagian ada yang mempunyai pandangan bahwa status hukum seorang tersangka yang perkaranya dikesampingkan adalah ‘tersangka’ baginya masih tetap melekat (tidak hilang). Alasannya tindakan hukum mengesampingkan perkara berbeda dengan menghentikan (penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan). Karena dikesampingkan berarti sewaktu-waktu dapat diangkat kembali yaitu tersangka dituntut atau diajukan ke pengadilan.
Namun, penulis punya pandangan yang berbeda. Darmono menegaskan bahwa status hukum atau kedudukan hukum seorang tersangka yang perkaranya telah dilakukan pengesampingan perkara demi kepentingan umum, dengan sendirinya status hukum sebagai tersangka menjadi berakhir dan hilang dengan sendirinya. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa tidak ada ketentuan di dalam Undang-Undang apapun termasuk Undang-Undang no. 16 th. 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyatakan keberatan, dan membatalkan atau melakukan gugatan atas kebijakan atau keputusan Jaksa Agung RI berupa penghentian perkara demi kepentingan umum tersebut.
Namun demikian, secara persepektif tindakan hukum Jaksa Agung RI untuk mencabut kembali atas ketetapan seponering ini sangat kecil kemungkinan terjadi atau dilakukan oleh Jaksa Agung RI, karena :
*      Tindakan pencabutan kembali atas ketetapan (pengesampingan perkara demi kepentingan umum) akan bertentangan dengan salah satu prinsip dalam penegakkan hukum yaitu adanya kepastian hukum disamping prinsip kebenaran dan keadilan.
*      Tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh Jaksa Agung RI berupa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atas nama Bibit-Chandra tersebut dilakukan dengan telah mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis.

Terkait dengan status hukum seorang tersangka yang perkaranya dikeluarkan ketetapan Jaksa Agung RI berupa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut, yang selalu menjadi perdebatan atau perbedaan pandangan adalah mengenai kriteria Kepentingan Umum. Di sini kepentingan umum dimaknai sebagai kepentingan yang lebih besar dan lebih strategis jika dibandingkan apabila Jaksa Agung RI mengambil keputusan lain selain pengesampingan perkara seperti yang dimaksud, yaitu dengan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan. J J J

Sabtu, 25 Januari 2014

RESUME BUKU FILSAFAT HUKUM



FILSAFAT HUKUM
Dimensi Tematik dan Historis
Karya : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH., MS.


BAB I  PENDAHULUAN
Filsafat Hukum adalah filsafat yang merenungkan aspek filosofis dari eksistensi hukum dan praktik hukum. Hal ini relevan dengan dalil pertama dari lima dalil filsafat hukum yang dikemukakan oleh Meuwissen bahwa Filsafat Hukum adalah filsafat, karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan marginal berkaitan dengan gejala hukum.
Tema utama kajian filsafat hukum meliputi tiga pilar yakni ontologi, aksiologi dan epistemologi hukum ditambah moralitas hukum.
Ada dua pendapat mengenai penempatan filsafat hukum, yakni pendapat bahwa filsafat hukum berdiri sendiri dan tidak dapat diklasifikasi ke dalam ilmu hukum. Pendapat lain menyatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian dari ilmu hukum.
Pendapat pertama senada dengan apa yang dikemukakan Bellefroid dalam Inleiding tot de Rechtsweettenschap in Nederland, yaitu : Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum tidak dapat diperhitungkan sebagai ilmu-ilmu hukum melainkan ilmu-ilmu pembantu bagi ilmu hukum. (O. Notohamidjojo, 1994:41). Masih menurut Bellefroid, ada lima bidang hukum yang mencakup :
1.        Rechtsdogmatiek (Ilmu Hukum Dogmatik), obyeknya “hukum positif”, hukum yang ditetapkan oleh otoritas negara.
2.        Rechtsgeschiedemos (Sejarah Hukum), obyeknya “sistem hukum masa lampau”. Sejarah hukum sangat penting karena menganalisis perkembangan lembaga- lembaga hukum, figur hukum masa lampau yang mempengaruhi sistem hukum masa kini.
3.        Rechtsvergelijking (Ilmu Hukum Perbandingan), obyeknya “dua atau lebih sistem hukum”. Ilmu ini mengkaji persamaan dan perbedaan berbagai sistem hukum dari berbagai negara.
4.        Rechtspolitiek (Politik Hukum), obyeknya “kebijakan hukum”. Menurut paham Bellefroid politik hukum mengembangkan ius constitutum (hukum yang berlaku) ke dalam ius constitendum (hukum yang dicita-citakan).
5.        Algemene Reschtsleer (Ajaran Hukum Umum), obyeknya “pengertian- pengertian dasar hukum”. Fokus kajiannya mengenai subyek hukum, obyek hukum, hak dan kewajiban hukum, kecakapan bertindak dalam hukum (dewasa dan di bawah umur) dan asas-asas hukum umum.
Pandangan kedua, ditinjau dari pandangan O. Notohamidjojo. Ia berpendapat bahwa ‘kesenian hukum’ mencakup :
1.        Perundang-undangan mengkaji disatu pihak “politik perundang-undangan” yakni penentuan tujuan dan isi perundang-undangan. Di lain pihak “teknik perundang-undangan” mengkaji cara merumuskan norma, sehingga tujuan dan isi peraturan perundang-undangan yang dimaksud pembentuk hukum itu dapat diekspresikan dengan jelas dan tepat serta tidak multi-tafsir.
2.        Peradilan, kesenian hukum yang berkaitan dengan fungsi hakim dalam menerapkan hukum, menemukan hukum, dan bahkan menciptakan hukum.
Dalam literatur filsafat, termasuk filsafat hukum yang metode penulisannya lebih didominasi oleh metode sejarah daripada metode tematik. Metode sejarah membahas secara mendalam dan secara radikal ide-ide tentang hukum dari abad ke abad yang dikaji dari aliran-aliran filsafat hukum dalam dimensi historis-kronologis. Penulis lebih cenderung untuk mengikuti pandangan bahwa filsafat hukum menempati kedudukan ilmu hukum dalam arti luas, dengan alasan begitu luasnya cakupan kajian ilmu hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum sebagai bagian dari filsafat juga dapat dimasukkan ke dalam daftar disiplin ilmu yang mempelajari hukum. 
BAB II  ASPEK FILOSOFIS EKSISTENSI HUKUM
Segi filosofis eksistensi hukum mencakup :
a.       Ontologi Hukum, penelitian tentang hakekat dari hukum;
b.      Aksiologi Hukum, penentuan nilai-nilai dalam hukum;
c.       Epistemologi Hukum, analisis tentang hakekat pengetahuan hukum, sehingga merupakan penentu dari metodologi hukum;
d.      Ideologi Hukum, penentu wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang berfungsi sebagai legitimasi institusi hukum.
e.       Teleologi Hukum, penentu makna dan tujuan dari hukum dan fungsi hukum;
f.       Teori Ilmu dari Hukum, penentu meta-teori dari ilmu hukum, analisis mengenai keilmiahan ilmu hukum;
g.      Logika Hukum, penelitian cara berfikir dan beragumentasi yuridis serta bangunan logika struktur sistem hukum.
Analisis lebih dalam diuraikan dengan membaginya dalam tiga sub, yaitu ontologi, aksiologi, dan epistemologi hukum yang dalam filsafat dikenal sebagai aras dari ilmu hukum. Kedua komponen kajian filosofis ini saling terkait, karena teori ilmu hukum penentu kriteria keilmiahan ilmu hukum erat kaitannya dengan cara berfikir, beragumentasi yuridikal dalam banguanan logika dari struktur sistem hukum.
Aspek Ontologi Hukum
Ada enam pemaknaan ontologi hukum sebagai hakekat hukum sesuai dengan aliran filsafat hukum, yaitu :
± Aliran Hukum Alam/Kodrat memaknai “hakekat hukum” itu sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan atau asas-asas moral yang bersifat kodrati dan berlaku universal. Dengan demikian dimana pun berlaku prinsip bahwa tindakan yang im-moral merupakan tindakan yang tidak benar, tidak adil dan melanggar hukum.
± Aliran Positivisme Hukum, memaknai “hakekat hukum” adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara. Dengan demikian dengan aliran ini peraturan perundang-undangan merupakan aturan hukum positif.
± Aliran Utilitarianisme, memandang “hakekat hukum” adalah norma-norma positif yang diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan sehingga sudut pandang ontologi dari pandangan positivisme hukum sama dengan aliran utilitarianisme hukum.
± Aliran Sociological Jurisprudence, manganut paham bahwa “hakekat hukum” itu adalah putusan-putusan hakim inconcreto, yang tersistematisasi sebagai judge made law (hukum yang diputus oleh hakim).
± Aliran/Mashab Sejarah, memaknai “hakekat hukum” adalah perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial-empirik. Frederich Karl Von Savigny (pelopor Mashab Sejarah) menyatakan, “hukum tidak ditetapkan/dibuat oleh pemerintah tetapi tumbuh sesuai dengan sejarah perkembangan masyarakat yang analog dengan perkembangan kebudayaan, bahasa dan adat istiadat masyarakat”.
± Aliran Realisme Hukum, memaknai “hakekat hukum” adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi mereka. Pemaknaan hukum kaum realis ini menunjukkan orientasinya lebih dekat pada berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan ekonomi daripada nuansa ilmu filsafat. Menurut penganut realisme hukum bahwa hakekat hukum berlangsung dalam dinamika hukum yang marupakan kreasi dari hakim. Jadi hukum itu apa yang akan diputuskan oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa.
Aksiologi Hukum
Menurut Sidharta, Aksiologi Hukum (ajaran tentang nilai hukum) dikaitkan dengan tujuan hukum, yaitu sebagai berikut :
± Aliran Hukum Alam / Kodrat, karena senantiasa membebaskan diri dari keterikatan waktu (kekinian), ruang (ke), dalam mana hukum dipandang berlaku universal dan abadi. Maka bisa dikatakan “aksiologi hukum” sebagai nilai abadi dari hukum adalah “keadilan” yang juga bersifat abadi (eterna justice).
± Aliran Positivisme Hukum, aspek aksiologis diperjuangkan nilai “kepastian hukum”, dengan sumber hukum formal berupa Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dapat diwujudkan melalui asas legalitas yang merupakan rokh (spirit) dari Positivisme Hukum.
± Aliran Utilitarianisme, bahwa aksiologi yang dianut nilai kepastian hukum diikuti kemanfaatan (doelmatigheid), sedangkan nilai-nilai keadilan diabaikan.
± Mashab Sejarah Hukum mengadopsi secara simultan atau bersamaan aspek aksiologi hukum yakni kemanfaatan dan keadilan.
± Aliran Sociological Jurisprudence secara singkat dapat dikatakan aspek aksiologi hukumnya juga secara bersamaan mengadopsi “kemanfaatan” dan “kepastian hukum”. Nilai kemanfaatan diperoleh dari metode penalaran atas fakta-fakta empiris, sedangkan kepastian hukum diperoleh melalui sumber hukum otoritatif, baik berupa Yurisprudensi maupun Peraturan Perundang-undangan.
± Aliran Realisme Hukum, aspek aksiologi hukumnya yang diadopsi adalah kemanfaatan, karena aliran ini menekankan kebebasan kreativitas para hakim untuk menentukan hukum dalam memutus perkara, maka pandangan ini mengedepankan nilai-nilai pragmatisme. 
Sementara, W. Friedmann (1949 : 435) mengemukakan dari segi nilai hukum (aspek aksiologi) demokrasi modern dapat dikelompokkan ke dalam empat unsur, yaitu :
1.      Hak hukum individu, intinya kebebasan individu.
2.      Persamaan di depan hukum, intinya kesetaraan individu di mata hukum.
3.      Kontrol oleh rakyat terhadap pemerintah, intinya pemerintahan oleh rakyat.
4.      Negara hukum.
Ini berarti konsepsi nilai demokrasi dari tema ‘Negara Hukum’ mengadung pilar bahwa ada keseimbangan antara hak-hak hukum individual dan pertanggung- jawaban hukum perseorangan (individu). Pilar ini melahirkan prinsip Pertanggung- jawaban atau tanggung-gugat pejabat (negara) atas tindakannya yang merugikan warga negara perseorangan, prinsip tanggung gugat pidana (criminal liability) oleh seseorang karena kesalahan atas perbuatan pidana yang dilakukannya.
Epistemologi Hukum
Menyimak pendapat Sidharta, Epistemologi Hukum yaitu Metode penelitian hukum doktrinal-deduktif (legal research) disebut juga penelitan hukum normatif, merupakan Epistemologi Hukum dari Aliran Hukum Alam/Kodrat dan Aliran Positivisme Hukum. Perbedaan pada landasan epistemologinya, disatu pihak Hukum Alam/Kodrat memandang dunia hukum adalah kodrat, sehingga manusia diatur oleh norma-norma obyektif di luar dunia manusia. Norma-norma itu dapat bersifat teologis, metafisika, dan rational tergantung konteks keberadaannya. Sedangkan, Aliran Positivisme Hukum landasan epistemologinya pada validasi norma-norma hukum positif.
Notohamidjojo mengemukakan metode hukum (aspek epistemologi hukum), dimaksudkan untuk menemukan makna hukum yaitu melalui interprestasi hukum dan konstruksi hukum.
Ada beberapa jenis inter-prestasi hukum, antara lain :
a.       Interprestasi gramatikal, yaitu penafsiran arti kata undang-undang menurut kebiasaan umum/sehari-hari dan menurut kebiasaan teknis yuridis.
b.      Interprestasi sistematis, yaitu penafsiran dalam rangkaian (konteks) dengan ketentuan undang-undang lain.
c.       Interprestasi historis, yaitu dengan memperhatikan sejarah pembentukan undang-undang dengan menyimak risalah pembentukan undang-undang yang bersangkutan, atau dengan meneliti sejarah dari seluruh lembaga hukum yang bersangkutan.
d.      Interprestasi teleologis disebut juga penafsiran sosiologis adalah penafsiran ketentuan undang-undang sesuai dengan tujuan menurut keadaan dalam masyarakat.
e.       Interprestasi otentik, yaitu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembentuk undang-undang sendiri. Misalnya pada Bab IX KUHP, dirumuskan penafsiran otentik tentang kejahatan makar.
Kontruksi hukum, antara lain :
a.       Analogische wetstoepassing, yaitu dengan memperluas penerapan suatu pasal undang-undang.
b.      Argumentum a contrario, yakni konstruksi hukum bahwa terhadap kasus yang tidak ditentukan secara tegas dalam ketentuan pasal suatu undang-undang tidak boleh diberlakukan atau diterapkan.
c.       Rechtsverfijning (Penghalusan Hukum), yaitu konstruksi hukum bahwa pihak korban yang melakukan kesalahan turut menanggung resiko atas perbuatannya.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Hukum dari enam Aliran Filsafat Hukum, yaitu sebagai berikut :
1.      Aliran Hukum Alam/Hukum Kodrat
-         Ontologi          :    asas-asas kebenaran dan keadilan
-         Epistemologi   :    doktrinal deduktif
-         Aksiologi        :    keadilan
2.      Aliran Positivisme Hukum
-         Ontologi          :    norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan
-         Epistemologi   :    doktrinal deduktif
-         Aksiologi        :    kepastian hukum
3.      Aliran Utilitarianisme
-         Ontologi          :    norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan
-         Epistemologi   :    doktrinal deduktif, diikuti non-doktinal induktif
-         Aksiologi        :    kepastian hukum diikuti kemanfaatan
4.      Mashab Sejarah
-         Ontologi          :    pola perilaku yang terlembagakan
-         Epistemologi   :    non-doktrinal induktif
-         Aksiologi        :    kemanfaatan dan keadilan (simultan)
5.      Aliran Sociological Jurisprudence (Amerika)
-         Ontologi          :    putusan hakim in concreto
-         Epistemologi   :    non-doktinal induktif dan doktrinal deduktif
-         Aksiologi        :    kemanfaatan dan kepastian hukum (simultan)
6.      Aliran Realisme Hukum
-       Ontologi          :    manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial, representasinya perilaku hakim dalam memutus perkara.  
-         Epistemologi   :    non-doktinal induktif (pendekatan interaksional/mikro).
-         Aksiologi        :    kemanfaatan
Asal Muasal Hukum
Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya untuk bekerja sama dalam memuaskan kebutuhan fisik, biologis dan kebutuhan sosial. Perkembangan masyarakat ini dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode primitif dan modern. Pada periode primitif, hukum lahir dari adat-istiadat menjadi matang muncullah bentuk hukum kebiasaan (customary law), cirinya tidak rasional. Di samping itu, pada masa modern, hukum berasal dari kesepakatan legislator, melahirkan statutary law atau state law (hukum negara) yang berciri rasional dan normatif.
Dalam menjalankan hukum, harus dibedakan antara Hukum Tidak Tertulis (Hukum Adat) dan Hukum Tertulis (Peraturan Perundang-Undangan). Hukum adat memiliki basis sosial yang kuat bertumpu pada struktur masyarakat atau lembaga sosial yang menempatkan cita-cita ideal dalam kehidupan masyarakat sebagai nilai luhur yang dijadikan norma dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan Hukum Tertulis yang menjadi otoritas pejabat, tahapan pembentukannya diatur secara formal dan hubungan antara norma hukum dengan Cita Hukum bergantung pada kesadaran dan penghayatan para pejabat terhadap dasar hukum dalam kerangka sistem hukum.
BAB III ASPEK FILOSOFIS PRAKTIK HUKUM
Validitas hukum berarti bahwa aturan hukum itu berlaku untuk warga negara maupun pejabat dan juga penegak hukum. Validitas dipadankan dengan gelding theorie (bahasa Jerman) yang berarti kesempurnaan landasan berlakunya aturan hukum. Validitas hukum ditentukan oleh tiga doktrin :
1.      Doktrin filosofis yakni nilai-nilai filsafat yang mengidentifikasi hukum yang benar. Validitas bukan karena berlaku secara efektif tetapi karena mampu memenuhi kepastian hukum.
2.      Doktrin yuridis dari validitas, yakni isi aturan hukum yang normanya imperatif berisi keharusan, kewajiban, serta tersusun dalam satu tata hukum yang validitasnya ditentukan dalam hubungan hierarkis (hukum tertinggi).
3.      Doktrin sosiologis dari validitas yakni berupa tindakan paksaan oleh penegak hukum maupun pengakuan dan penerimaan masyarakat atas norma hukum berlaku secara faktual efektif.
Efikasi Hukum menurut Hans Kelsen yaitu perilaku seseorang yang sesuai dengan norma hukum. Oleh karena itu efikasi sebagai kesesuaian perilaku dengan norma, efikasi terletak di alam realita (faktual), sementara validitas diartikan keabsahan dan mengikatnya norma hukum, sehingga harusnya diberlakukan.
BAB IV RANGKUMAN PEMIKIRAN BERBAGAI ALIRAN FILSAFAT HUKUM
Hukum Alam
Lintasan sejarah Hukum Alam pada era klasik didominasi pemikiran ahli-ahli pemikir besar tentang Negara dan hukum filsof Yunani Kuno (Kelompok Stoic, Socrates, Plato dan Aristoteles), serta filsof Romawi Kuno (Cicero). Pemikiran itu dapat dirangkum sebagai berikut :
1.      Kelompok Stoics, bentuk dan materi Hukum Alam ditentukan oleh alam-fisik, sehingga menurut akal-budi manusia harus hidup secara alamiah mengikuti hukum kodrat.
2.      Socrates (470-399 SM), Hukum Alam memandang hukum menurut prinsip moralitas yang merupakan produk alat budi yang benar.
3.      Plato (428-348 SM), murid Socrates, Plato mengidolakan ide keadilan absolut dalam arti hukum yang memiliki kualitas kebenaran. Ide keadilan absolut bisa terealisasi jika Negara diperintah oleh ahli filsafat (filsuf).
4.      Aristoteles (348-322 SM), mengakui eksistensi Hukum Alam pada dirinya mampu mengembangkan tujuan-tujuan spesifik baik mengenai fenomena alam fisik maupun fenomena moral. Ia membedakan dua jenis keadilan yakni keadilan alam (nature justice) dan keadilan konvensional.
5.      Cicero (106-43 SM), memandang alam dalam arti akal-budi manusia yang menentukan aturan hukum bagaimana seharusnya manusia berprilaku dalam hidupnya. Akal budi manusia menjadi dasar dari hukum yang berlaku universal. Cicero juga berpendapat bagi Hukum Alam, jika ada hukum yang tidak adil bukanlah hukum, dan untuk mencoba tolak ukur hukum yang baik adalah apabila sesuai dengan Alam (nature).
Peta aliran Hukum Alam pemikirannya mengenai hukum telah dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1.      Para Rasional dipelopori Thomas Aquinas (1226-1274)
Inti teorinya, Hukum Alam lebih tinggi daripada hukum manusia karena hukum alam mengandung asas kebenaran yang berlaku umum, abadi dan tak berubah melalui akal budi sehingga dapat dipahami secara manusiawi. Hukum positif yang bertentangkan dengan Hukum Alam bukanlah hukum melainkan penyimpangan hukum (legis corrupty) karena itu tidak pantas ditaati.
2.      Para Voluntaris dipelopori Thomas Hobbes (1588-1679)
Inti teorinya, Hukum Alam terdiri atas kepatutan, keadilan, berterima kasih dan kebijakan susila lainnya merupakan asas-asas moral yang dalam keadaan alamiah (status naturlis) hanyalah bernilai manusiawi dan baru sesudah terbentuk Negara melalui perjanjian masyarakat/rakyat menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Negara, maka atas perintah Negara barulah hukum terbentuk (status-yuridis). 
3.      Para Teknologi dipelopori Lon Fuller (abad ke-20)
Lon Fuller mewakili pandangan aliran Hukum Alam abad ke-20. Fuller memandang Hukum Alam sebagai metode mengandung prinsip-prinsip moral yang disebutnya dengan istilah “the inner morality of law”. Ia memandang Hukum Alam sebagai metode, karena tema utama dari The Morality of Law berurusan dengan bagaimana cara membuat aturan yang memiliki legalitas sesuai dengan bagaimana cara membuat aturan yang memiliki legalitas sesuai dengan prinsip-prinsip perundang-undang yang baik (notion rules). Isu penting yang diangkatnya adalah mengenai konsepsi hukum dalam kegiatan memandu cara membuat peraturan yang legal. Bagi Fuller, hukum itu bukan hanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, akan tetapi pengertiannya lebih luas termasuk juga peraturan yang dibuat oleh perguruan tinggi, peraturan dari perkumpulan, ketentuan perjanjian perburuhan secara kolektif.
Hukum Aliran Positivisme
Positivisme hukum diawali oleh “positivisme naif” atau legisme yang memandang hanya aturan hukum yang dibuat berdasarkan kekuasaan negara diakui sebagai sumber dan berlakunya hukum positif. Oleh karena itu disebut juga positivisme undang-undang, atau lebih terkenal dengan sebutan ajaran legisme atau legalisme.
Beberapa analisis pemikiran hukum Aliran Positivisme Hukum dari berbagai paham, antara lain :
1.      Positivisme imperative dikenal sebagai aliran Analytical Jurisprudence dipelopori Jonh Austin dalam bukunya “The Province of jurisprudence Determined”. Ia mendefinisikan hukum adalah perintah, diwajibkan melakukan perilaku menurut hukum dan jika tidak menaatinya diancam sanksi. Inti dari pemikiran positivisme imperatif, yaitu :
-          Unsur-unsur hukum terdiri atas perintah yang berkuasa, kewajiban, dan sanksi.
-          Hukum positif bebas dari moral, bebas pula dari keadilan.
-          Hukum positif tidak mengikat yang berdaulat/berkuasa, karena hukum positif dibuat dan dipaksakan oleh pihak berkuasa yang memiliki suprioritas politik.
-          Penelitian hukum positif harus dibedakan dari penyelidikan sejarah dan kebijakan-kebijakan sosial.
-          Hukum positif yang dibuat penguasa serta hukum perwalian yang dibuat oleh rakyat secara individual sebagai hukum yang sebenarnya dibedakan dengan hukum Tuhan dan hukum yang tidak sebenarnya seperti peraturan yang dibuat oleh perkumpulan.
2.      Pemikiran Begriffen Jurisprudence atau Konstruktions Jurisprudenz dipelopori Von Jhering. Corak pemikirannnya bersifat fasionalistis-utilaristis, berpusat pada pengertian hukum. Metode atau teknik hukum yang digunakan meliputi : metode simplifikasi (penyederhanaan) kuantitatif dan metode simplifikasi kualitatif. Simplifikasi kuantitatif dilakukan melalui analisis yuridis yakni membedakan norma-norma abstrak umum dan norma-norma konkret-khusus, dan cara konsentrasi logis, yakni meringkas dari sekian banyak peraturan menjadi asas-asas pokok, sistematisasi serta pembakuan terminologi hukum. Yang menarik adalah pemikiran Von Jhering berubah dari Begriffsjurisprudenz yang terpusat pada segi logis-pengertian hukum, masuk ke aliran positivisme dengan pemikiran Interssensjurisprudence, yang penekanannya pada pemikiran segi kegunaan kemasyarakatan.
3.      Ajaran Hukum Umum (Algemeine Rechtlehre), dipelopori Adolf Merkel (1836-1896). Inti pemikirannya bahwa ilmu hukum menggunakan metoda empiris-induktif, karena itu menafikan Filsafat Hukum. Ajaran hukum umum fokus pada pengkajian landasan-landasan dasar dan pengetian-pengertian dasar hukum positif. Isi atau substansi hukum berkaitan dengan faktor-faktor non-hukum (seperti etika-moral), sedangkan cita hukum mengenai keadilan tolok ukurnya berkembang dari pedoman-pedoman yang harus dicari dalam hukum positif itu sendiri dan mengenai bentuk hukum ditentukan oleh Negara. Jadi, dapat dimaklumi jika kedudukan Ajaran Hukum Umum dalam ranah ilmu hukum, ada yang berpendapat masuk ke dalam ranah Filsafat Hukum, dan adapula yang menempatkan dalam bidang teknis yuridis atau ranah dogmatika hukum.
4.      Pemikiran Neo-Kantin, dikemukakan oleh tiga tokoh, yaitu :
-          Rudof Stemler (1856-1938) dalam bukunya Lehrbuch der Rechtsphilofophie yang berkenaan dengan definisi formal tentang hukum dan ideal law (cita hukum) yang membedakan sistem hukum nasional dari satu negera dengan negara lain.
-          Hans Kelsen (1881-1973), bahwa Hukum itu selalu hukum positif, kepositifannya terletak pada fakta bahwa hukum dibentuk dan dibatalkan oleh tindakan manusia yang bebas dari pertimbangan moralitas dan sistem norma-norma itu sendiri.
-          Gustav Radbruch (1878-1949), politikus dan yuris Jerman. Pemikirannya didasarkan pada logis transendental dan pandangan hukum sebagai unsur kebudayaan. Menurutnya hukum berada dalam dunia baik dunia Sollen (kehidupan abstrak) maupun dunia Sein (kehidupan konkret). Oleh karena itu, hukum yang ideal adalah hukum yang individual, yang menjamin kebebasan dan kebahagiaan individual (HAM).
Hukum Mashab Sejarah
Pelopor mashab sejarah adalah Gustav Hugo (1768-1844) yang inti pemikirannya adalah menyerang pandangan yang berkembang di abad ke-19 bahwa hukum itu hanyalah produk yang berasal dari legislator berupa legislasi yaitu undang-undang, ia berpendapat bahwa hukum terbentuk di luar legislasi di semua negara khususnya di Inggris dan Romawi. Dengan kata lain, hukum positif terbentuk dengan sendirinya bebas dan tanpa intervensi dari para legislator atau pembentuk undang-undang.
Von Savigny (1779-1861), bukan murid Hugo tapi terpengaruh pada pandangan Hugo. Inti pemikirannya menolak pandangan aliran hukum alam yang mendasarkan pemikirannya tentang hukum pada prinsip-prinsip hukum berlaku abadi, universal dan tak dapat dilakukan perubahan serta hukum bernuansa keadilan abadi. Justru ia beranggapan bahwa hukum berkaitan erat dengan kurun waktu tertentu karena itu selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan perlahan dari bahasa ataupun adat-kebiasaan.
Henry Maine (1822-1888), tokoh Mashab Sejarah dari Inggris. Ajarannya mengenai kondisi atau kedudukan hukum individu di dalam masyarakat. Kedudukan hukum individu tergantung dari statusnya, jika individu statusnya inferior atau sebagai rakyat jelata diberlakukan hukum yang kejam, bahkan tidak memiliki hak tetapi hanya memikul kewajiban seperti zaman perbudakan, sedangkan bagi penguasa terjadi sebaliknya, mereka memperoleh hak-hak istimewa. Dalam perkembangan di masyarakat modern, status individu di hadapan hukum sama, setara bahwa setiap individu memiliki kebebasan dan memiliki hubungan timbal-balik sebagai dasar melakukan kontrak. Maine : hukum berlaku dari status ke kontrak.
Hukum Aliran Antropologi
Antropologi hukum meneliti komunitas masyarakat sederhana dan budayanya fokus pada cara masyarakat menjalankan hukum melalui penyelesaian sengketa. Kontribusi pemikiran hukum aliran antropologi dari sisi metode studi kasus adalah penyelesaian sengketa komunitas masyarakat dan budayanya telah menunjukkan berlaku hukum yang hidup dalam masyarakat, dan secara filosofis seperti halnya Mashab Sejarah menginspirasi studi perkembangan hukum dan pluralisme hukum.
Dalam konstelasi pluralisme hukum di negara-negara berkembang tumbuh bentuk-bentuk hukum baru yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum agama, sehingga dinamakan hybrid law atau banyak juga yang menyebutnya unnamed law, yaitu hukum masuknya hukum asing yang berinteraksi, berkorelasi serta beradaptasi dengan hukum nasional bahkan hukum lokal, mungkin saja hukum asing itu terlebur dan terserap dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam struktur hukum nasional, sehingga tidak dapat diidentifikasi karakternya sebagai hukum negara atau hukum adat dan hukum agama.
Hukum Aliran Sosiologis
Literatur mencatat aliran sosiologis melahirkan ilmu hukum empiris. Tahapan studinya mencakup :
1.      Sociologi of Law (Sosiologi Hukum), berinduk pada sosiologi karena itu hasil pemikiran hukumnya dari kalangan Sisiolog (sociologist). Fokus studinya ditekankan pada pengaruh perubahan sosial masyarakat terhadap hukum.
2.      Sociological Jurisprudence, berakar pada ilmu hukum yang dipelajari oleh para yuris tetapi lebih menekankan pada struktur, bekerjanya sistem hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat daripada fokus pada metafisika atau logika formal hukum.
3.      Legal Sociology, sebagai struktur pengetahuan yang mempelajari situasi masyarakat tertentu, dalam hal para pejabat hukum atau perilaku perseorangan merespon aturan-aturan hukum, utamanya berkenaan dengan problem khusus menurut pengamat.
Hukum Sociological Jurisprudence
Memandang hukum sebagai institusi sosial, dan eksistensi hukum diperlukan untuk memajukan kepentingan umum. Tokohnya yaitu Roscoe Pound (1870-1964). Pemikirannya antara lain :
1.      Tugas Sociological Jurisprudence ialah menentukan bahwa sumber hukum mencakup usage (adat istiadat); religion (agama); moral (moral); philosophical ideas (ide-ide filosofis); adjudication (ajudikasi); scientific discussion (diskusi ilmiah); legislation (legislagi). Sumber-sumber hukum itu untuk membantu yuris dalam mencatat dan menganalisis fakta-fakta sosial berkenaan dengan penguasaan merumuskan atau memformulasi, menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum.
2.      Pemikiran tentang evolusi hukum. Roscoe Pound dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme, dengan lima model tahap perkembangan hukum, yaitu hukum primitif / kuno; hukum yang sebenarnya atau hukum positif; equitas atau hukum alam; hukum yang mapan atau modern; dan hukum sosialisasi hukum.
3.      Ajaran social engineering (rekayasa sosial), bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah atau melakukan pembaharuan masyarakat. Hukum ditempatkan di depan perilaku manusia untuk mengarahkan perilaku masyarakat ke arah kemajuan.
4.      Teori kepentingan (interst theory), merupakan jantung dari pemikiran hukum aliran Sociological Jurisprudence. Di sini hukum berperan untuk mendamaikan konflik-konflik kepentingan. Hukum dimaknai suatu tatanan berperilaku yang tertib sehingga menjadikan semua benda dan alat yang tersedia untuk memenuhi tuntutan akan kepuasan dapat berjalan dengan kemubaziran yang sekecil mungkin.
Aliran Hukum Realis
Dibedakan antara aliran Realisme Hukum Amerika dan Realisme Hukum Skandinavia. Aliran ini secara filosofis berakar pada filsafat pragmatisme. Oleh karena itu aliran ini juga dinamakan aliran Pragmatic Legal Realism, juga merupakan kelanjutan dari aliran Sociological Jurisprudence. Penganut aliran ini menyakini bahwa ilmu hukum itu sejatinya tentang law in action, dalam makna studi hukum empiris fokus pada perilaku hakim dalam memutus perkara.
Tokoh utama pendiri aliran Realisme Hukum Amerika ialah Holmes (1841-1935), seorang Hakim Agung Amerika Serikat. Inti pemikiran hukumnya terkenal dengan adigium : the life of law has been not logic but experience. Makna adigium tersebut bahwa hukum itu tidak ditentukan oleh logika undang-undang tetapi hukum adalah prediksi apa yang akan diputus oleh pengadilan.
Pemikiran Realisme Hukum Skandinavia persamaannya dengan Realis Amerika ada pada sikap mereka yakni menolak pandangan bahwa studi hukum itu mengenai hukum yang seharusnya dan penolakannya terhadap filsafat metafisika yang dalam Amerika fokus pada perilaku pengadilan, sedangkan Realis Skandinavia penekanannya pada aspek psikologi yakni ekspresi verbal terhadap fakta dan keadaan.
Aliran Neopositivisme
Esensi pemikiran aliran ini berakar pada filsafat positivisme tetapi menolak pemikiran hukum yang dibangun oleh John Austin. Pemikiran Austin dipandang berat sebelah karena pandangannnya tentang hukum bersifat eksternal. Dikatakan bersifat eksternal karena Austin memandang hukum hanya perintah yang berkuasa (berdaulat), bersifat memaksa, dan harus ditaati pihak yang diperintah, dan tidak memperhatikan elemen-elemen Internal hukum, seperti moral, kebebasan dan fenomena sosial. Tokoh aliran Neopositivisme, yaitu :
1.      Herbert Lionel Adolphus Hart, inti pemikirannya :
-          Ada tiga isu hukum yang selalu muncul dalam Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, yakni isu paksaan merupakan elemen eksternal hukum, isu rules berkaitan dengan otoritas mencakup elemen eksternal dan internal hukum, terakhir isu moral merupakan elemen internal hukum yang melahirkan kewajiban moral.
-          Konsep aturan hukum dalam konsep elemen eksternal dan internal hukum.
-          Hukum sebagai aturan merupakan kesatuan antara norma primer dan norma sekunder. Norma primer : kebiasaan masyarakat yang menekankan pada kewajiban seseorang, yakni apa yang merupakan kewajiban untuk dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan di masyarakat. Norma sekunder : kebiasaan masyarakat yang dikatakan sebagai situasi pra-legal dapat menjadi norma hukum dalam network suatu sistem hukum yang terdiri dari tiga norma, yaitu norma yang memberikan pengangkutan terhadap suatu aturan; aturan hukum yang mengatur cara perubahan, pembentukan, pencabutan dan pembaharuan hukum; aturan hukum yang memberikan wewenang kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa atau menjatuhkan saksi jika terjadi pelanggaran terhadap norma primer.
2.      Julius Stone, inti pemikirannya :
-          Ilmu hukum karena tidak memiliki metoda penelitian sendiri, maka ilmu hukum mendapatkan pengetahuan berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, seperti logika, ilmu sejarah, psikologi, dan sosiologi.
-          Hukum memiliki hubungan yang erat dengan moral, bahkan dari segi isinya hukum itu dapat berasal dari norma-norma moral yang diterima oleh masyarakat untuk mengatur perilaku manusia secara pantas atau patut.
-          Rasa keadilan yang berasal dari interaksi antara orang dengan orang lain dalam masyarakat yang ditentukan oleh keadaan kejiwaan dari masyarakat.
-          Merumuskan tujuh sifat hukum, yaitu : (a) hukum merupakan suatu kesatuan kompleks yang terdiri atas bermacam-macam gejala atau fenomena; (b) diantara fenomena itu terdapat norma-norma yang mengatur perilaku manusia dan dijadikan pedoman untuk mengambil keputusan; (c) terdapat pula norma-norma sosial yang juga mengatur hubungan antar anggota masyarakat; (d) keseluruhan aturan-aturan hukum merupakan tertib hukum; (e) tertib hukum itu bersifat memaksa; (f) paksaan itu bersifat institusional, artinya pelaksanaannya harus didasarkan pada norma-norma dan prosedur; (g) norma-norma yang bersifat memaksa itu harus efektif supaya dapat bertahan.
Mashab Hukum Ekonomi (Economic Jurisprudence School)
Hukum ekonomi mempelajari pengaruh fenomena ekonomi kontemporer, seperti : mengenai hak milik pribadi dan monopoli berkaitan dengan putusan- putusan pengadilan. Achmad Ali (2009) membedakan kajian Hukum Ekonomi dengan kajian Hukum dan Ekonomi. Hukum Ekonomi adalah kajian ilmu hukum yang bersifat normatif terhadap bidang-bidang hukum bisnis. Sedangkan, Hukum dan Ekonomi adalah kajian yang bersifat empiris yang membahas fenomena hukum menurut pendekatan-pendekatan yang berakar pada Ilmu Ekonomi.
Tokoh-tokoh aliran Economic Jurisprudence School, antara lain :
1.      Karl Mark (1818-1883), inti pemikirannya :
-          Wujud atau karakter hukum seperti halnya juga politik sebagai “suprastruktur masyarakat” ditentukan oleh struktur ekonomi masyarakat sebagai terval basis.
-          Fungsi hukum menjadi alat politik suatu kelas yang menguasai struktur ekonomi untuk melenyapkan kelas lain.
-          Perkembangan hukum berdasarkan metoda dialektika dan pencerminan penguasaan ekonomi, yakni dari hukum feodal (tese) hukum kapitalis (antitese) dan akhirnya hukum sosialis/komunis (sintesa).
2.      Frederich Engels (1820-1895), inti pemikirannya yaitu bahwa dalam negara Komunis tidak ada lagi konflik atau pertentangan kelas dan terjadi negasi terhadap eksistensi hukum dalam peringkat suprastruktur dari organisasi sosial. Hasilnya hukum akan mati dan digantikan oleh “administration of things”.
3.      Max Weber (1954), kajiannya fokus pada kontrak, seperti kebebasan berkontrak dan batas-batasannya, status kontrak, kontrak purposive, dan instrumen negosiasi.
4.      Richard Posner, pemikirannya berkenaan dengan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kajian hubungan hukum dan ekonomi.
Fungsi hukum dalam pembangunan ekonomi memberikan makna yang bernilai tinggi bagi hukum dalam mensejahterakan masyarakat karena melalui hukum yang efektif dalam mendistribusikan sumber daya ekonomi kepada masyarakat akan dapat menjamin pembagian sandang pangan dan perumahan yang layak.
Mashab Political Jurisprudence
Political Jurisprudence merupakan kelanjutan dari elemen-elemen aliran Sociological Jurisprudence dan Judicial Realism dikombinasikan atau dilengkapi oleh pengetahuan substantif dan metodologi Ilmu Politik. Political Jurisprudence menerima pandangan aliran Judicial Realism bahwa hukum itu esensinya adalah putusan pengadilan (yurisprudensi) daripada kitab undang-undang. Mashab ini juga menambahkan argumen baru bahwa pertimbangan-pertimbangan putusan-putusan pengadilan itu bagian dari proses politik. Ditekankan pula pengadilan tidak memiliki satu bangunan hukum; bukan badan yang unik yang dipengaruhi oleh legal technician (ahli-ahli hukum), dan menjaga jarak dari political strunggel (perjuangan politik), pengadilan hanya suatu lembaga pemerintahan diantara lainnya.
Inti pemikiran hukum mashab Political Jurisprudence sebagai berikut :
1.      Putusan pengadilan berpengaruh pada realisasi dari nilai-nilai kemasyarakatan.
2.      Hakim dalam menafsirkan UU, presedence, dan menemukan dasar hukum baru mengkombinasikan pertimbangan politik, budaya, dan pertimbangan hukum.
3.      Hakim dalam memutus perkara berkewajiban mengembangkan, mengkonstruksikan teorinya secara mandiri bebas dari pengaruh hakim lainnya.
4.      Dalam mengadili kasus-kasus berat atau rumit, hakim dalam putusannya menggunakan pertimbangan-pertimbangan asas-asas, teori politik, dan norma-norma budaya.
5.      Dalam putusan-putusannya hakim melakukan diskresi untuk melindungi hak-hak individu dari kekuasaan negara.
Critical Leal Studies dan cabang-cabangnya
Prakash Surya Sinha (1983) menyebutkan empat cabang Critical Leal Studies (CLS) yaitu :
1.      Critical Race Theory (CRT), idenya berasal dari pemimpin Black Power movement (Gerakan Kekuatan Kulit Hitam) di Amerika (Martin Luther King). CRT melakukan pendekatan kritis terhadap isu-isu ras dan hukum berkenaan dengan diskriminasi hukum Kulit Putih terhadap Kulit Hitam.
2.      Feminist Jurisprudence, berakar dari gerakan wanita liberal di Amerika Serikat yang tumbuh akhir tahun 1960 dan aktivitas hukum feminist di mulai tahun 1973, puncaknya dalam kasus aborsi yang diputus oleh US Supreme Court (MA Amerika Serikat) dalam perkara Roe v. Wade. Pemikirannya yang paling berpengaruh kini adalah “the postmodernist feministm” yang metodologinya berdasarkan metode ilmiah positivisme yang bersifat empiris.
3.      Gerakan Critical Legal Study (Critical Legal Studies Movement). Akar filosofi Studi Hukum Kritis ini tumbuh dari pemikiran Teori Kritis Mashab Frankfrurt, Epitemologi Relativist dan pemikiran hukum aliran Realisme Hukum Amerika. Aliran Legal Realism yang merupakan akar filosofi Critical Legal Studies Movement bersikap menentang teori-teori hukum yang pada waktu itu diterima sebagaimana adanya. 
4.      Legal Polycentry, merupakan gerakan pemikiran hukum diperkenalkan pada tahun 1990 di Institute Legal Science, University of Copenhagen. Pemikiran Legal Polycentry memperjuangkan nilai-nilai lokal untuk memberdayakan hukum dapat memenuhi otonomi pembentukan hukum dalam memenuhi kebutuhan hukum yang beragam dari berbagai kelompok sosial untuk membangun hubungan yang harmonis sesuai nilai-nilai moral masyarakat pluralis.
BAB V PENUTUP
Ada enam aliran Filsafat Hukum yaitu Aliran Hukum Alam, Aliran Positivisme Hukum, Aliran Utilitarianisme Hukum, Aliran Mashab Sejarah, Aliran Sociological Jurisprudence dan Aliran Realisme Hukum.
Mengacu pada sudut pandang teori hukum yang berakar pada epistemologi, metafisis, ideal dan empiris, ditemukan empat pandangan eksistensi hukum, yaitu mencakup :
1.      Teori yang mengasumsikan bahwa hukum eksis secara universal, di dunia dan kelahiran hukum baik karena perintah Tuhan maupun bersumber dari akal budi atau rasio menusia terbentuk melalui perjanjian masyarakat (contact sosial). Diusung oleh aliran hukum Alam yang teori-teorinya bertumpu pada epistemologi metafisis-rasional.
2.      Teori yang mengasumsikan bahwa hukum eksis pada negara-negara barat yang memiliki peradaban tinggi sehingga hukum merupakan produk masyarakat manusia yang superior. Dibantu oleh Sir Henry Maine penganut mashab sejarah Inggris yang teorinya bertumpu pada epistemologi empiris.
3.      Teori yang mengasumsikan hukum eksis diawali lewat pernyataan ideologis dan argument pilihan filosofi yang mengusung kebenaran universal (conveying universal thruth). Dianut oleh filsuf Imanuel Kant dan Frederich Hegel yang teorinya bertumpu pada epistemologi ideal transendental (Imanuel Kant) dan epistemologi absolute (Hegel).

4.      Teori yang mengasumsikan hukum eksis terbatas pada ruang dan waktu, terutama pada masyarakat politik atau negara yang memiliki otoritas membentuk hukum yang disebut hukum positif, karena tidak bersumber pada agama dan moral tetapi bersumber pada wewenang legislator tertinggi yang keabsahannya secara hipotesis berdasar pada norma dasar (grund norm). Pandangan ini dianut oleh aliran Positivisme Hukum, teori norma hukum murni, karena itu karakternya normatif. ***