Oleh : Prof. Dr Jimly Asshiddiqie, S.H.
Bab
I
Konstitusi
dan Pembangunan Hukum Nasional
Negara Indonesia
adalah Negara hukum, namun penjabaran hukumnya selama ini belum pernah
dirumuskan secara komprehensif. Dalam hukum yang merupakan suatu kesatuan
system terdapat (1) elemen kaidah aturan (elemen institusional); dan (2) elemen
kaidah aturan (elemen instrumental); dan (3) elemen perilaku para subjek hukum
(elemen subjektif dan cultural).
Pengertian
sisitem hukum yang harus dikembangkan dalam rangka Negara Hukum yang harus
dikembangkan dalam kerangka Negara hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika
dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hierarki, dan
komponen tersebut tidak berkerja secaera seimbang dan sinergis, maka hukum
sebagai satu kesatuan system juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana
mestinya.
Bangsa kita
mewarisi tradisi hukum Benua Eropa (civil law) yaitu cenderung menumpahkan
begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi
kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya pada kegiatan penegakkan hukum
(law enforcing). Bahkan kita menganut paradigma dan doktin berpikir yang lazim
dalam system civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu
suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setipa orang dianggap tahu
hukum. Teori fiktie sifatnya hayalan saja karena tidak mencerminkan realitas
yang sebenarnya.
Penegakan
Hukum
Penegakkan Hukum
adalah segala aktivitas yang dimaksudkan agar hokum sebagai perangkat kaidah
normative yang mengatur dan mengikat para subjek hokum dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh
dijalankan sebagaimana mestiknya. Penegakan hukum itu menyangkut kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan.
Para penegak
hokum dapat dilihat sebagai Pertama, orang atau unsur manusia dengan kualitas,
kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Kedua, penegak hokum dapat pula
dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya
sendiri-sendiri. Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan
kesejahteraannya. Untuk itu diperlukan system sertifikasi nasional dan
standarisasi, termasuk berkenaan dengan system kesejahteraannya. Di samping itu
juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat
terus-menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
professional aparat hokum tersebut.
Agenda penegakan
hukum memerlukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang memenuhi dua syarat.
Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk
tindakan penegakan hukum yang pasti; kedua kepemimpinan diharapkan dapat
menjadi teladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai
intergritas kepribadian orang yang taat aturan.
Infrastruktur
Sistem Kode Etika Positif
Sistem etika
untuk menunjang berfungsinya system hukum di sektor publik. Di setiap sektor
kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib serta pedoman
organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Namun, baru sedikit di antara
organisasi atau lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat kode etika yang
disertai oleh infrastruktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika
yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Dalam kultur keorganisasian atau
kultur berorganisasi di berbagai kalangan masyarakat kita, kebiasaan untuk menaati
aturan (rule of the game) belumlah
menjadi tradisi yang kuat. Untuk itu diperlukan proses pelembagaan tradisi
normatif yang bertingkat-tingkat, baik berkenaan dengan norma hukun, norma
etika dan moral, serta norma hukum.
Perubahan
konstitusional merupakan satu keberhasilan yang dicapai bangsa Indonesia.
Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain,
yaitu hubungan antara pemerintahan dengan warga Negara dan hubungan antara
lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Isi
konstitusi untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan
kekuasaan organ-organ Negara; mengatur hubungan antara Negara yang satu dengan
yang lain, serta mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga Negara
dengan warga Negara.
Perubahan UUD
1945 mengakibatnya banyak perubahan, yaitu penambahan butir-butir ketentuan dan
juga perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga Negara, penghapusan
lembaga Negara tertentu serta pembentukan lembaga-lembaga Negara baru. Dalam
setiap pembicaraan mengenai lembaga Negara, ada dua unsure pokok yang saling
berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Organ
adalah status bentuknya, sedangkan functie
adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Berdasarkan hal tersebut dalam UUD 1945
terdapat lebih dari 34 organ, jabatan atau lembaga.
Dengan demikian,
di samping lembaga-lembaga Negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945,
adapula lembaga-lembaga Negara yang memiliki constitutional importance yang
sama dengan lembaga Negara yang disebut dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya
hanya diatur dengan atau dalam undang-undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun
yang hanya diatur dengan atau dalam undang-undang, asalkan sama-sama memiliki constitutional importance, dapat
dikategorikan sebagai lembaga Negara yang memiliki derajat konstitusional yang
serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Pergumulan
Falsafah Bangsa dalam Era Global
Sejak era
reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1988, kata Pancasila semakin jarang
diucapkan, dikutip, dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan
dan kebangsaan serta kemasyarakatan maupun dalam dunia akademik. Pancasila
seperti telah tenggelam di bawah permukaan kehidupan bangsa Indonesia, menjadi
sesuatu hal yang tidak perlu dimunculkan ke ruang public. Ada kesan bahwa
Pancasila terpinggirkan dari dinamika kehidupan nasional. Kondisi ini berbanding
terbalik dengan posisi dan peranan Pancasila di era pemerintahan Orde Baru. Di
bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Pancasila menjadi kata yang paling sering
diucapkan dan dibahas, baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan.
Pancasila adalah
dasar Negara yang menjadi sumber rujukan dan landasan utama dalam
penyelenggaraan Negara, yang tercermin dalam bentuk visi, misi, kebijakan,
program, dan peraturan. Di sisi lain juga merupakan falsafah bangsa dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila telah berfungsi sebagai pemrsatu
dan pengikat Negara dan bangsa. Sehingga ketika ia tidak berfungsi secara
memadai dan baik, maka persatuan dan ikatan dalam Negara dan bangsa Indonesia
ini menjadi lemah dan mengendor, sehingga mengakibatkan goyahnya persatuan dan
kesatuan bangsa. Dapat dikatakan sebagian warga bangsa ini telah mengalaim
krisis falsafah bangsa karena tidak lagi menganut dan menjalankan nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Pancasila.
Keengganan dan
penolakan terhadap Pancasila tersebut disebabkan masih besarnya kekhawatiran
sebagian kalangan masyarakan bahwa jika Pancasila kembali berperan di pentas
nasional, maka Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru yang otoriter dan
represif. Pancasila telah diidentikan sebagai bagian dari rezim dan menjadi
ideology penguasa belaka. Padahal itu tidak tepat dan sebaiknya semua komponen
bangsa, baik penyelenggara Negara maupun kalangan masyarakat kembali memberikan
perhatian kepada Pancasila, baik sebagai dasar Negara maupun falsafah bangsa.
Pembangunan
Manusia Dan Tujuan Nasional
Pembukaan UUD
1945 menegaskan bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk; (i)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii)
memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv)
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi, dan keadilan sosial. Wujud nyata dari perlindungan segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia adalah terjaminnya rasa aman bagi
seluruh warga Negara dan bagi seluruh bangsa Indonesia. Peningkatan
kesejahteraan umum dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan dasar warga
Negara, seperti gizi yang baik, perumahan sehat, pakaian, serta kesehatan yang
berkualitas. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti setiap warga Negara menjadi
manusia yang cerdas di mana jalan uatama yang harus dipenuhi adalah penyediaan
fasilitas pendidikan. Melaksanakan ketertiban dunia dapat diwujudkan dengan
pemerintah yang tidak hanya berperan secara internal tapi juga harus dan pasti
bersentuhan dengan Negara-negara lain berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Sasaran tujuan nasional tersebut adalah manusia
sekaligus masyarakat Indonesia, warga Negara, dan Negara. Sasaran tujuan
tersebut pada masa Orba diwujudkan dalam jargon pembangunan nasional, yang
bunyinya “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan rakyat Indonesia
seluruhnya.” Itulah esensi dari konsep Negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut dalam UUD
1945.
Perubahan
UUD 1945
Gagasan
perubahan UUD 1945 baru menjadi kenyataan setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru
yang sebelumnya selalu melakukan upaya sakralisasi terhadap UUD 1945. Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh faksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945, yaitu : (1) Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD
1945; (2) Sepakat untum mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (3) Sepakat untuk mempertahankan system presidensial (dalam
pengertian sekaligus menyempurnakan
agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensial); (4) Sepakat
untuk memindahkan hal-hal normative yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; (5) Sepakat untuk menempuh cara addendum dalam melakukan
amandemen terhadap UUD 1945. Selanjutnya perubahan UUD 1945 itu dilakukan
secara bertahap dalam Sidang Tahunan MPR dari Tahun 1999 hingga perubahan
Sidang Tahunan MPR keempat pada tahun 2002.
BAB
II
Perubahan
UUD 1945 Menuju Negara Hukum Demokratis
Negara, pada
umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau
Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai saat ini dikenal
tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar, meskipun
begitu kinstitusi alam pengalaman praktik ketatanegaraan telah tumbuh di kedua
Negara itu. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam
suatu Negara. Negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber
legitimasi konstitusi itu adalah rakyag. Jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi adalah
raja. Hal ini disebut para ahli sebagai constituent
power.
Constituent
power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang
diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi adalah hukum dasar yang
dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Dalam penyusunan suatu
konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat
dan dalam praktik penyelenggaraan Negara turut memengaruhi suatu norma ke dalam
naskah Undang-Undang Dasar. Pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang
Dasar dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari karena setiap kurun
waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk
dan memengaruhi kerangka pemikiran (frame
of reference) dan medan pengalaman (field
of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda-beda.
Konstitusi
memiliki fungsi yang sangat penting baik secara akademis maupun dalam praktik.
Konstitusi di satu pihak menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu
fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain memberikan legitimasi terhadap
kekuasaan pemerintah. Konstitusi juga berfungsi sebagai instrument untuk
mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal kepada organ-organ
kekuasaan Negara, serta sebagai kepala Negara simbolik. Istilah kepala Negara
simbolik dipakai sejalah dengan pengertian The
Rule of Law yang menegaskan bahwa yang sesungguhnya memimpin dalam suatu
Negara bukanlah orang, melainkan hukum itu sendiri.
Dalam kajian
hukum tata Negara, dikenal adanya dua cara perubahan Undang-undang Dasar (UUD)
sebagai konstitusi yang tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan tidak
berdasarkan ketentuan yang diatur sendiri oleh UUD itu atau dilakukan tidak
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD. Cara ini disebut cara
konstitusional, sedangkan yang kedua adalah cara yang bersifat revolusioner.
Dalam sifatnya yang revolusioner itu, berlaku tidaknya UUD tergantung pada
kekuatan politik yang mendukung atau yang memberlakukannya secara
terus-menerus, sehingga dalam faktisitasnya UUD itu memang nyata-nyata berlaku
dan diberlakukan secara efektif sebagai konstitusi Negara yang bersangkutan.
Reformasi
konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan berdasar
pandangan berbagai kalangan bahwa UUD 1945 tidak lagi cukup untuk mengatur dan
mengarahkan penyelenggaraan Negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung
penegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Buruknya penyelenggaraan Negara
pada beberapa tahun pemerintahan Presiden Soeharto ditandai dengan maraknya
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hukum dalam arti
sempit merupakan perangkat peraturan yang biasanya dituangkan dalam dokumen
tertulis yang disebut peraturan perundang-undangan. Dan dalam arti luar, hukum
mencakup pengertian norma-norma aturan yang hidup dalam praktik yang tidak
tertulis. Dalam arti yang lebih luas lagi, hukum juga mencakup pengertian
lembaga atau institusi yang berkaitan dengan proses pembuatan, pelaksanaan, dan
penerapan serta penghakiman terhadap pembuatan melanggar aturan. Karena itu,
pengertian tentang pembangunan hukum dan penegakan hukum juga dapat dilihat
dalam arti sempit maupun arti luas. Pada intinya, hukum itu berisi seperangkat
nilai yang bertujuan menciptakan keadailan dan kedamaian dalam kehidupan
bersama.
Pandangan
mengenai pembangunan dan penegakan hukum itu dapat utuh dan integral jika kita
melihatnya dari sudut pandang yang komprehensif, yaitu dengan melengkapi
pemahaman kita dengan menggunakan perspektif produsen dan juga konsumen. Dalam
perspektif demikian, proses pembangunan hukum dan penegakan hukum itu hendaklah
dipahami sebagai wujud keadilan dan ketertiban dalam rangka menjamin,
memelihara ataupun memulihkan kedamaian dalam perikehidupan bersama yang
tertib, tentram, kerta raharja di mana system hukum sungguh-sungguh bekerja
atau berfungsi dalam kenyataan praktik sehari-hari yang ditandai oleh adanya
keteraturan yang adil dalam kehidupan bersama, yang diiringi oleh penghormatan,
ketundukan dan ketaatan yang bersifat sukarela setiap warga atau subjek hukum
terhadap norma aturan yang disepakati bersama itu.
UUD 1945 dikenal
sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti
formal (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip
pembagian kekuasaan (distribution of
power) atau pemisahan kekuasaan secara material (material separation of power). UUD 1945 menganut system supremasi
parlemen, yaitu system kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi
Negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sehubungan
dengan perubahan UUD 1945 sebagaimana tercermin dalam naskah perubahan pertama,
kedua, dan perubahan ketiga, keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi Negara itu memang mengalami
perubahan yang sangat mendasar. Pertama, perubahan structural berkenaan dengan
bentuk organisasinya, sehingga MPR tidak lagi memerlukan pimpinan tersendiri,
karena pimpinan hanya dibutuhkan apabila ada persidangan yang dalam hal itu
bertindak sebagai pemimpin sidang yang pemilihnnya dapat diatur tersendiri
dalam peraturan tata tertib atau dalam undang-undang. Kedua, susunan
keanggotaan MPR juga berubah secara structural karena dihapuskannya keberadaan
Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur
keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota
Dewan perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representation). Ketiga, bersamaan dengan perubahan yang bersifat
structural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan
fungsional). MPR tidak lagi berfungsi sebagai supreme body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa control,
dan karean itu kewenangannya mengalami perubahan-perubahan mendasar. Keempat,
diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation
of power) secara tegas antara fungsi legislative dan eksekutif dalam
perubahan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD
1945 yang dipertegas lagi dengan Pasal 20 ayat (5) tentang kekuasaan membentuk
undang-undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala
pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan rancangan
undang-undang. Kelima, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan Pasal 6A
ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang dimaksudkan untuk memperkuat dan
mempertegas anutan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945.
System pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat maka konsep dan sistem
pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang
ada di tangan rakyat itu, sepangjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan
oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif
dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan
eksklusif yang dipilih langsung oleh rakyat.
Sebelum adanya
Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak
pada Mahkamah Agung. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan,
kekuasaan kehakiman Negara kita mengenal tambahan satu jenis Mahkamah lain yang
berada di luar Mahkamah Agung dan kedudukannya setingkat atau sederajat dengan
Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court).
Mahkamah
Konstitusi beranggotan 9 orang yang memiliki integritas, dan memenuhi
persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang mendalam
mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua Mahkamah dipilih dari dan oleh
anggotanya sendiri yang berasal dari 3 orang yang dipilih oleh DPR, 3 orang
yang ditentukan oleh Mahkamah agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden.
Dengan demikian, diharapkan Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar
bersifat netral dan independen dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari
ketiga lembaga Negara tersebut.
Salah satu prinsip
dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip Negara
hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Konsep Negara hukum juga terkait
dengan istilah nomokrasi (nomocratie)
yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara adalah hukum.
Dalam suatu Negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empiris
terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan
hukum sebagai pedoman tertinggi.
Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak pada
supremasi konstitusi. Sedangkan secara
empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan
diri pada aturan hukum. Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan
harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
UUD 1945 sebagai
konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat
cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan Negara
berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur
kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi social. Hal ini karena para
pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan
hanya kedaulatan politik.
Salah satu
elemen dalam system hukum nasional adalah kaidah aturan. Kaidah-kaidah
peraturan tersebut berupa peraturan perundang-undangan yang hanya dapat
dikatakan sebagai suatu tata hukum dalam sebuah system hukum nasional jika
validitasnya dapat dilacak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
konstitusi. Tata hukum, sebagai personifikasi Negara merupakan hierarki
peraturan perundang-undangan yang memiliki level berbeda. Kesatuan peraturan
perundang-undangan ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Sejak era
reformasi bergulir, kata Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas, sehingga menimbulkan kesan bahwa Pancasila terpinggirkan dari dinamika
kehidupan nasional, padaha Pancasila adalah falsafah Negara. Maka dapat
dikatakan sebagian bangsa Indonesia telah mengalami krisis falsafah bangsa
karena tidak lagi menganut dan menjalankan nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam Pancasila. Pancasila tidak selayaknya menjadi tertuduh dan dicap buruk
oleh sebagian orang karana identik dengan rezim Orde Baru, tetapi sikap dan
perilaku penguasa yang buruk yang
menjadikan Pancasila sebagai “korban sejarah”.
Penataan system
aturan dan system kelembagaan secara konstitutional dalam hal ini diartika
secara sempit sebagai mekanisme berdasarkan suatu tata aturan. Antara tata
aturan dengan kelembagaan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan, karena
kelembagaan dapat didefinisikan sebagai suatu struktur aturan yang diformalisasikan
dalam seperangkat produk hukum. Upaya membangun system dan kelembagaan tidak
akan berhasil jika setiap lembaga dan warga Negara tidak memahami dan
melaksanakan konstitusi dalam kehidupan sehari-hari.
Pertahanan dan
keamanan Negara pasca perubahan UUD 1945 sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 30 UUD 1945 Bab XII. Secara substansial,
rumusan Pasal 30 UUD 1945 tersebut membedakan antara pertahanan dan
keamanan Negara. Ketentuan Pasal 30 UUD 1945 mengatur tiga hal utama, yaitu
tentang hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
Negara, sistem pertahanan dan keamanan Negara, serta kelembagaan yang
menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan Negara. Pengaturan tersebut harus
memperhatikan perkembangan hukum dan masyarakat. Indonesia sudah menandatangani
Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Denhag yang dalam kaitannya dengan pertahanan
Negara menganut prinsip pembedaan antara combatan
dan non-combatan. Warga Negara sipil yang berperan sebagai combatan tidak mendapatkan perlindungan
dalam situasi perang. Menurut Pasal 30 UUD 1945 khususnya ayat (3) dan (4)
ditegaskan bahwa tugas TNI adalah sebagai alat Negara yang bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara,
sedangkan Polri sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.
BAB
III
Mahkamah
Konstitusi Dalam Berbagai Persepektif
Pengalihan paham
“Supremasi MPR” ke “Supremasi Konstitusi”. Sebelum perubahan UUD 1945,
Indonesia mengatur paham “Supremasi MPR” dikarenakan konstitusi menegaskan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum diubah. Kedudukan
demikian membawa konsekuensi besar yakni terbangunnya kedudukan yang sangat
tinggi di tangan MPR dengan kekuasaannya yang sangat besar sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Perubahan UUD 1945 merubahnya menjadi paham
“Supremasi Konstitusi”, yakni konstitusilah yang menempati kedudukan tertinggi
di dalam Negara Indonesia dan konstitusilah yang mengatur berbagai aspek
ketatanegaraan dan penyelenggaraan Negara, termasuk pelaksanaan kedaulatan
rakyat.
Keberadaan
lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan fenomena baru dalam dunia
ketatanegaraan. Sebagian besar Negara demokrasi yang sudah mapan, tidak
mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan
sebagai fungsi MK seperti Judicial review dalam rangka menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formal maupun dalam
arti pengujian material.
Setelah vakum
selama beberapa waktu, ide MK muncul kembali pada era reformasi pada saat
perubahan UUD 1945 terjadi dan menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi Negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada
supremasi kontitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan
mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga Negara yang
mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga Negara yang kini telah menjadi
sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
Dalam rangka
mendukung tercapainya visi dan misi MK, lembaga Negara ini juga menjalankan
program publikasi dan informasi, antara lain operasionalisasi situs MK: www.mahkamahkonstitusi.go.id, majalah dwi bulanan Berita Mahkamah Konstitusi (BMK) dan jurnal ilmiah dwibulanan Jurnal Konstitusi. Juga
digelar diskusi interaktif di TVRI dalam acara “Forum Konstitusi” (setiap Kamis
pukul 23.00 – 23.30 WIB) yang membahas berbagai isu dan topic berkaitan dengan
konstitusi dan hukum serta MK.
Semua lembaga
atau institusi hukum yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan
sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara hukum itu. untuk
itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu “blue
print”, suatu desain makro tentang
Negara hukum dan sistem hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di
masa depan.
Dalam system
hukum yang dianut di berbagai Negara, terdapat kekuasaan yudikatif yang antara
lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsirkan konstitusi. Kekuasaan ini
dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri
sendiri terpisah dari MA atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi MA. Jika
berdiri sendiri, lembaga itu sering disebut Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah
Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah melaksanakan tiga wewenang dari empat
wewenang yang ada pada dirinya, yaitu menguji UU terhadap UUD (judicial review), memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara yang diatur oleh UUD. Sedangkan satu wewenangn MK
belum dilaksanakan karena memang sampai saat ini belum ada permohonan mengenai
hal itu yang masuk ke MK, yaitu memutus pembubaran partai politik.
Pada awal masa
reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani
yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan.
Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu
dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945 sebelum
perubahan. Akhirnya, UUD 1945 diubah secara bertahap dalam empat kali
perubahan, yaitu perubahan pertaman pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun
2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002.
Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami
perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat
mendasar.
Sebagai tindak
lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan DPR membahas
pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13
Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Tanggal ini disepakati
oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya MK dan sebagai Hari Ulang Tahun
(HUT) MK.
Dalam tinjauan
ilmu hukum tata Negara, lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pengawal
konstitusi (the guardian of constitution)
dan lembaga penafsir konstitusi (the
interpreter of the constitution). Ide pembentukan MK terkait erat dengan
ikhtiar mewujudkan hubungan yang saling mengendalikan antarcabang kekuasaan
Negara.
Secara
kronologi, sejarah MK telah melalui medio-temporal yang cukup panjang. Setidaknya, ada empat momen penting bagi
MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertama, setelah teradopsi
idenya dalam perubahan ketiga UUD 1945 yang dilakukan MPR pada tanggal 9
November 2001, maka secara faktual MK telah memiliki pengakuan eksistensional.
Kedua, ketika tanggal 10 Agustus 2002 yang menjadi saat disahkannya perubahan
keempat UUD Negara RI Tahun 1945 dan menentukan bahwa sejak tanggal tersebut,
kewenangan MK secara hukum sudah ada, namun untuk sementara waktu dijalankan
oleh Mahkamah Agung yang bertindak sebagai pelaksana sementara MK. Ketiga,
ketika landasan yuridis-fungsionalnya diletakkan melalui pembentukan dan
pengundangan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK pada tanggal 13 Agustus 2003.
Tanggal tersebut juga menandai berlakunya ketentuan operasional penyelenggaraan
tugas konstitusional MK. Keempat, pengesahan UU ini membuka peluang untuk
pengangkatan sembilan orang hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah
ketatanegaraan kita.
UUD 1945
pasca-perubahan telah memberikan dasar-dasar penyelenggaraan Negara dan
penataan kehidupan berbangsa yang demokratis. Prinsip dasar Negara hukum yang
demokratis tersebut diwujudkan dalam bentuk pengakuan dan jaminan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) yang esensial dalam proses demokrasi, pengaturan mekanisme
pemilihan wakil rakyat dan jabatan-jabatan public sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat, serta penataan lembaga-lembaga Negara.
Dari sisi
pelaksanaan kehidupan demokrasi, bangsa Indonesia telah berhasil membentuk
lembaga-lembaga demokrasi dan membuat mekanisme pelaksanaan demokrasi. Tahap
selanjutnya adalah meningkatkan kualitas demokrasi sehingga praktik demokrasi
tidak hanya bersifat mekanis, tetapi secara substantive benar-benar mewujudkan
prinsip kedaulatan rakyat.
System pemilu
dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu antara sistem pemilihan mekanis, dan
sistem pemilihan organis. Sistem pemelihan mekanis mencerminkan pandangan yang
bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai individu-individu yang salam.
Sementara dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis
menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam
berbagai macam persekututan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga,
keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh,
tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga social (universitas).
Dalam setiap
sistem demokrasi, partai politik memegang posisi (status) dan peranana (role)
yang sangat penting. Banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang
sebetulnya menentukan demokrasi. Namun, banyak juga pandangan kritis dan bahkan
skeptis terhadap partai politik, yaitu pandangan bahwa partai politik hanya
berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntukng yang
berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan
berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general will atau kepentingan umum.
Salah satu unsur
yang menentukan keberhasilan dan kualitas pelaksanaan pemilu adalah penyelenggaraan pemilu. Di Indonesia ada KPU sebagai
penyelenggara pemilihan umum, baik pemilihan umum, baik pemilihan anggota
legislatif (anggota DPR, DPD, atau DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil
presiden, serta pemilihan kepala daerah (pilkada).
Konstitusi juga
sebagai dasar pengaturan dunia usaha, hal ini diatur dalam dasar-dasar penataan
mengenai kekuasaan Negara baik atas orang ataupun atas benda. Di Indonesia hal
itu telah dituangkan dalam UUD 1945. UUD 1945 menganut paham kedaulatan rakyat
Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik maupun aspek demokrasi
ekonomi. Dari kedua doktrin demokrasi tersebut, sistem social di Indonesia
dapat dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga
menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh.
BAB
IV
HUKUM,
DEMOKRASI, DAN HAK ASASI MANUSIA
Dalam paham
demokrasi sosial (social democracy), Negara berfungsi sebagai
alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalism
dan kapitalisme terus berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kehidupan
manusia, tetapi juga terjadi penyesuaian dengan elemen-elemen konstruktif dari
sosialisme dalam bentuk paham “market
socialism”.
Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945 merupakan dasar demokrasi ekonomi yang membedakan sistem perekonomian
nasional dengan sistem kapitalisme liberal maupun sistem etatisme. Dalam sistem
kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan
usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, Negara
yang mendominasi perekonomian, bukan warga Negara baik sebagai individu
maupun bersama-sama dengan warga Negara lainnya.
Pemahaman
terhadap sistem perekonomian nasional terkait dengan hak penguasaan Negara
sangat penting dipahami terkait dengan semakin kuatnya gelombang liberalisasi
ekonomi di satu sisi, dan disisi lain masih banyaknya penduduk miskin yang
menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi tidak serta merta dapat memajukan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketentuan UUD
1945 yang memberikan kewenangan kepada negra untuk menguasai cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
tidaklah dimaksudkan demi kekuasaan semata, tetapi agar Negara dapat memenuhi
kewajibannya terhadap seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi penguasaan oleh Negara
merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat
yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun
ekonomi) demokrasi ekonomi. Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang
diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi
dalam kehidupan bernegara.
Fungsi pengurusan oleh Negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya
untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie),
dan konsepsi (concessive). Fungsi
pengaturan oleh Negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama
dengan pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui
keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan Negara mendayagunakan penguasaannya
atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Fungsi pengawasan oleh Negara dilakukan oleh pemerintah
untuk mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan atas cabang
produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak
benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.