Total Tayangan Halaman

Rabu, 25 September 2013

MENUJU NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS

Oleh : Prof. Dr Jimly Asshiddiqie, S.H.

Bab I
Konstitusi dan Pembangunan Hukum Nasional
Negara Indonesia adalah Negara hukum, namun penjabaran hukumnya selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Dalam hukum yang merupakan suatu kesatuan system terdapat (1) elemen kaidah aturan (elemen institusional); dan (2) elemen kaidah aturan (elemen instrumental); dan (3) elemen perilaku para subjek hukum (elemen subjektif dan cultural).
Pengertian sisitem hukum yang harus dikembangkan dalam rangka Negara Hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hierarki, dan komponen tersebut tidak berkerja secaera seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan system juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya.
Bangsa kita mewarisi tradisi hukum Benua Eropa (civil law) yaitu cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya pada kegiatan penegakkan hukum (law enforcing). Bahkan kita menganut paradigma dan doktin berpikir yang lazim dalam system civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setipa orang dianggap tahu hukum. Teori fiktie sifatnya hayalan saja karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya.
Penegakan Hukum
Penegakkan Hukum adalah segala aktivitas yang dimaksudkan agar hokum sebagai perangkat kaidah normative yang mengatur dan mengikat para subjek hokum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestiknya. Penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.
Para penegak hokum dapat dilihat sebagai Pertama, orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Kedua, penegak hokum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Untuk itu diperlukan system sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan system kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus-menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan professional aparat hokum tersebut.
Agenda penegakan hukum memerlukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang memenuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan penegakan hukum yang pasti; kedua kepemimpinan diharapkan dapat menjadi teladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai intergritas kepribadian orang yang taat aturan.
Infrastruktur Sistem Kode Etika Positif
Sistem etika untuk menunjang berfungsinya system hukum di sektor publik. Di setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Namun, baru sedikit di antara organisasi atau lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat kode etika yang disertai oleh infrastruktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Dalam kultur keorganisasian atau kultur berorganisasi di berbagai kalangan masyarakat kita, kebiasaan untuk menaati aturan (rule of the game) belumlah menjadi tradisi yang kuat. Untuk itu diperlukan proses pelembagaan tradisi normatif yang bertingkat-tingkat, baik berkenaan dengan norma hukun, norma etika dan moral, serta norma hukum.
Perubahan konstitusional merupakan satu keberhasilan yang dicapai bangsa Indonesia. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu hubungan antara pemerintahan dengan warga Negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Isi konstitusi untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ Negara; mengatur hubungan antara Negara yang satu dengan yang lain, serta mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga Negara dengan warga Negara.
Perubahan UUD 1945 mengakibatnya banyak perubahan, yaitu penambahan butir-butir ketentuan dan juga perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga Negara, penghapusan lembaga Negara tertentu serta pembentukan lembaga-lembaga Negara baru. Dalam setiap pembicaraan mengenai lembaga Negara, ada dua unsure pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Organ adalah status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya.  Berdasarkan hal tersebut dalam UUD 1945 terdapat lebih dari 34 organ, jabatan atau lembaga.
Dengan demikian, di samping lembaga-lembaga Negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, adapula lembaga-lembaga Negara yang memiliki constitutional importance yang sama dengan lembaga Negara yang disebut dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam undang-undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang hanya diatur dengan atau dalam undang-undang, asalkan sama-sama memiliki constitutional importance, dapat dikategorikan sebagai lembaga Negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Pergumulan Falsafah Bangsa dalam Era Global
Sejak era reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1988, kata Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan dan kebangsaan serta kemasyarakatan maupun dalam dunia akademik. Pancasila seperti telah tenggelam di bawah permukaan kehidupan bangsa Indonesia, menjadi sesuatu hal yang tidak perlu dimunculkan ke ruang public. Ada kesan bahwa Pancasila terpinggirkan dari dinamika kehidupan nasional. Kondisi ini berbanding terbalik dengan posisi dan peranan Pancasila di era pemerintahan Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Pancasila menjadi kata yang paling sering diucapkan dan dibahas, baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan.
Pancasila adalah dasar Negara yang menjadi sumber rujukan dan landasan utama dalam penyelenggaraan Negara, yang tercermin dalam bentuk visi, misi, kebijakan, program, dan peraturan. Di sisi lain juga merupakan falsafah bangsa dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila telah berfungsi sebagai pemrsatu dan pengikat Negara dan bangsa. Sehingga ketika ia tidak berfungsi secara memadai dan baik, maka persatuan dan ikatan dalam Negara dan bangsa Indonesia ini menjadi lemah dan mengendor, sehingga mengakibatkan goyahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dapat dikatakan sebagian warga bangsa ini telah mengalaim krisis falsafah bangsa karena tidak lagi menganut dan menjalankan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila.
Keengganan dan penolakan terhadap Pancasila tersebut disebabkan masih besarnya kekhawatiran sebagian kalangan masyarakan bahwa jika Pancasila kembali berperan di pentas nasional, maka Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru yang otoriter dan represif. Pancasila telah diidentikan sebagai bagian dari rezim dan menjadi ideology penguasa belaka. Padahal itu tidak tepat dan sebaiknya semua komponen bangsa, baik penyelenggara Negara maupun kalangan masyarakat kembali memberikan perhatian kepada Pancasila, baik sebagai dasar Negara maupun falsafah bangsa.
Pembangunan Manusia Dan Tujuan Nasional
Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk; (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Wujud nyata dari perlindungan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia adalah terjaminnya rasa aman bagi seluruh warga Negara dan bagi seluruh bangsa Indonesia. Peningkatan kesejahteraan umum dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan dasar warga Negara, seperti gizi yang baik, perumahan sehat, pakaian, serta kesehatan yang berkualitas. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti setiap warga Negara menjadi manusia yang cerdas di mana jalan uatama yang harus dipenuhi adalah penyediaan fasilitas pendidikan. Melaksanakan ketertiban dunia dapat diwujudkan dengan pemerintah yang tidak hanya berperan secara internal tapi juga harus dan pasti bersentuhan dengan Negara-negara lain berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sasaran tujuan nasional tersebut adalah manusia sekaligus masyarakat Indonesia, warga Negara, dan Negara. Sasaran tujuan tersebut pada masa Orba diwujudkan dalam jargon pembangunan nasional, yang bunyinya “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan rakyat Indonesia seluruhnya.” Itulah esensi dari konsep Negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut dalam UUD 1945.
Perubahan UUD 1945
Gagasan perubahan UUD 1945 baru menjadi kenyataan setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya selalu melakukan upaya sakralisasi terhadap UUD 1945. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh faksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu : (1) Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) Sepakat untum mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Sepakat untuk mempertahankan system presidensial (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensial); (4) Sepakat untuk memindahkan hal-hal normative yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; (5) Sepakat untuk menempuh cara addendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Selanjutnya perubahan UUD 1945 itu dilakukan secara bertahap dalam Sidang Tahunan MPR dari Tahun 1999 hingga perubahan Sidang Tahunan MPR keempat pada tahun 2002.
BAB II
Perubahan UUD 1945 Menuju Negara Hukum Demokratis
Negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai saat ini dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar, meskipun begitu kinstitusi alam pengalaman praktik ketatanegaraan telah tumbuh di kedua Negara itu. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu Negara. Negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyag. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi adalah raja. Hal ini disebut para ahli sebagai constituent power.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik penyelenggaraan Negara turut memengaruhi suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari karena setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan memengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda-beda.
Konstitusi memiliki fungsi yang sangat penting baik secara akademis maupun dalam praktik. Konstitusi di satu pihak menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah. Konstitusi juga berfungsi sebagai instrument untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal kepada organ-organ kekuasaan Negara, serta sebagai kepala Negara simbolik. Istilah kepala Negara simbolik dipakai sejalah dengan pengertian The Rule of Law yang menegaskan bahwa yang sesungguhnya memimpin dalam suatu Negara bukanlah orang, melainkan hukum itu sendiri.
Dalam kajian hukum tata Negara, dikenal adanya dua cara perubahan Undang-undang Dasar (UUD) sebagai konstitusi yang tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur sendiri oleh UUD itu atau dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD. Cara ini disebut cara konstitusional, sedangkan yang kedua adalah cara yang bersifat revolusioner. Dalam sifatnya yang revolusioner itu, berlaku tidaknya UUD tergantung pada kekuatan politik yang mendukung atau yang memberlakukannya secara terus-menerus, sehingga dalam faktisitasnya UUD itu memang nyata-nyata berlaku dan diberlakukan secara efektif sebagai konstitusi Negara yang bersangkutan.
Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan berdasar pandangan berbagai kalangan bahwa UUD 1945 tidak lagi cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan Negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Buruknya penyelenggaraan Negara pada beberapa tahun pemerintahan Presiden Soeharto ditandai dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hukum dalam arti sempit merupakan perangkat peraturan yang biasanya dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut peraturan perundang-undangan. Dan dalam arti luar, hukum mencakup pengertian norma-norma aturan yang hidup dalam praktik yang tidak tertulis. Dalam arti yang lebih luas lagi, hukum juga mencakup pengertian lembaga atau institusi yang berkaitan dengan proses pembuatan, pelaksanaan, dan penerapan serta penghakiman terhadap pembuatan melanggar aturan. Karena itu, pengertian tentang pembangunan hukum dan penegakan hukum juga dapat dilihat dalam arti sempit maupun arti luas. Pada intinya, hukum itu berisi seperangkat nilai yang bertujuan menciptakan keadailan dan kedamaian dalam kehidupan bersama.
Pandangan mengenai pembangunan dan penegakan hukum itu dapat utuh dan integral jika kita melihatnya dari sudut pandang yang komprehensif, yaitu dengan melengkapi pemahaman kita dengan menggunakan perspektif produsen dan juga konsumen. Dalam perspektif demikian, proses pembangunan hukum dan penegakan hukum itu hendaklah dipahami sebagai wujud keadilan dan ketertiban dalam rangka menjamin, memelihara ataupun memulihkan kedamaian dalam perikehidupan bersama yang tertib, tentram, kerta raharja di mana system hukum sungguh-sungguh bekerja atau berfungsi dalam kenyataan praktik sehari-hari yang ditandai oleh adanya keteraturan yang adil dalam kehidupan bersama, yang diiringi oleh penghormatan, ketundukan dan ketaatan yang bersifat sukarela setiap warga atau subjek hukum terhadap norma aturan yang disepakati bersama itu.
UUD 1945 dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formal (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan secara material (material separation of power). UUD 1945 menganut system supremasi parlemen, yaitu system kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi Negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sehubungan dengan perubahan UUD 1945 sebagaimana tercermin dalam naskah perubahan pertama, kedua, dan perubahan ketiga, keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi Negara itu memang mengalami perubahan yang sangat mendasar. Pertama, perubahan structural berkenaan dengan bentuk organisasinya, sehingga MPR tidak lagi memerlukan pimpinan tersendiri, karena pimpinan hanya dibutuhkan apabila ada persidangan yang dalam hal itu bertindak sebagai pemimpin sidang yang pemilihnnya dapat diatur tersendiri dalam peraturan tata tertib atau dalam undang-undang. Kedua, susunan keanggotaan MPR juga berubah secara structural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representation). Ketiga, bersamaan dengan perubahan yang bersifat structural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). MPR tidak lagi berfungsi sebagai supreme body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa control, dan karean itu kewenangannya mengalami perubahan-perubahan mendasar. Keempat, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislative dan eksekutif dalam perubahan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan Pasal 20 ayat (5) tentang kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Kelima, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan Pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang dimaksudkan untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945.
System pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada di tangan rakyat itu, sepangjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksklusif yang dipilih langsung oleh rakyat.
Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman Negara kita mengenal tambahan satu jenis Mahkamah lain yang berada di luar Mahkamah Agung dan kedudukannya setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
Mahkamah Konstitusi beranggotan 9 orang yang memiliki integritas, dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua Mahkamah dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari 3 orang yang dipilih oleh DPR, 3 orang yang ditentukan oleh Mahkamah agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Dengan demikian, diharapkan Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga Negara tersebut.
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Konsep Negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara adalah hukum. Dalam suatu Negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum. Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan Negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi social. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik.
Salah satu elemen dalam system hukum nasional adalah kaidah aturan. Kaidah-kaidah peraturan tersebut berupa peraturan perundang-undangan yang hanya dapat dikatakan sebagai suatu tata hukum dalam sebuah system hukum nasional jika validitasnya dapat dilacak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada konstitusi. Tata hukum, sebagai personifikasi Negara merupakan hierarki peraturan perundang-undangan yang memiliki level berbeda. Kesatuan peraturan perundang-undangan ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sejak era reformasi bergulir, kata Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas, sehingga menimbulkan kesan bahwa Pancasila terpinggirkan dari dinamika kehidupan nasional, padaha Pancasila adalah falsafah Negara. Maka dapat dikatakan sebagian bangsa Indonesia telah mengalami krisis falsafah bangsa karena tidak lagi menganut dan menjalankan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila tidak selayaknya menjadi tertuduh dan dicap buruk oleh sebagian orang karana identik dengan rezim Orde Baru, tetapi sikap dan perilaku penguasa  yang buruk yang menjadikan Pancasila sebagai “korban sejarah”.
Penataan system aturan dan system kelembagaan secara konstitutional dalam hal ini diartika secara sempit sebagai mekanisme berdasarkan suatu tata aturan. Antara tata aturan dengan kelembagaan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan, karena kelembagaan dapat didefinisikan sebagai suatu struktur aturan yang diformalisasikan dalam seperangkat produk hukum. Upaya membangun system dan kelembagaan tidak akan berhasil jika setiap lembaga dan warga Negara tidak memahami dan melaksanakan konstitusi dalam kehidupan sehari-hari.
Pertahanan dan keamanan Negara pasca perubahan UUD 1945 sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 30 UUD 1945 Bab XII. Secara substansial, rumusan Pasal 30 UUD 1945 tersebut membedakan antara pertahanan dan keamanan Negara. Ketentuan Pasal 30 UUD 1945 mengatur tiga hal utama, yaitu tentang hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara, sistem pertahanan dan keamanan Negara, serta kelembagaan yang menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan Negara. Pengaturan tersebut harus memperhatikan perkembangan hukum dan masyarakat. Indonesia sudah menandatangani Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Denhag yang dalam kaitannya dengan pertahanan Negara menganut prinsip pembedaan antara combatan dan non-combatan. Warga Negara sipil yang berperan sebagai combatan tidak mendapatkan perlindungan dalam situasi perang. Menurut Pasal 30 UUD 1945 khususnya ayat (3) dan (4) ditegaskan bahwa tugas TNI adalah sebagai alat Negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara, sedangkan Polri sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
BAB III
Mahkamah Konstitusi Dalam Berbagai Persepektif
Pengalihan paham “Supremasi MPR” ke “Supremasi Konstitusi”. Sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia mengatur paham “Supremasi MPR” dikarenakan konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum diubah. Kedudukan demikian membawa konsekuensi besar yakni terbangunnya kedudukan yang sangat tinggi di tangan MPR dengan kekuasaannya yang sangat besar sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Perubahan UUD 1945 merubahnya menjadi paham “Supremasi Konstitusi”, yakni konstitusilah yang menempati kedudukan tertinggi di dalam Negara Indonesia dan konstitusilah yang mengatur berbagai aspek ketatanegaraan dan penyelenggaraan Negara, termasuk pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar Negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi MK seperti Judicial review dalam rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formal maupun dalam arti pengujian material.
Setelah vakum selama beberapa waktu, ide MK muncul kembali pada era reformasi pada saat perubahan UUD 1945 terjadi dan menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi kontitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga Negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga Negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
Dalam rangka mendukung tercapainya visi dan misi MK, lembaga Negara ini juga menjalankan program publikasi dan informasi, antara lain operasionalisasi situs MK: www.mahkamahkonstitusi.go.id, majalah dwi bulanan Berita Mahkamah Konstitusi (BMK) dan  jurnal ilmiah dwibulanan Jurnal Konstitusi. Juga digelar diskusi interaktif di TVRI dalam acara “Forum Konstitusi” (setiap Kamis pukul 23.00 – 23.30 WIB) yang membahas berbagai isu dan topic berkaitan dengan konstitusi dan hukum serta MK.
Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara hukum itu. untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu “blue print”, suatu desain makro tentang Negara hukum dan sistem hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.
Dalam system hukum yang dianut di berbagai Negara, terdapat kekuasaan yudikatif yang antara lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsirkan konstitusi. Kekuasaan ini dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri sendiri terpisah dari MA atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi MA. Jika berdiri sendiri, lembaga itu sering disebut Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah melaksanakan tiga wewenang dari empat wewenang yang ada pada dirinya, yaitu menguji UU terhadap UUD (judicial review), memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur oleh UUD. Sedangkan satu wewenangn MK belum dilaksanakan karena memang sampai saat ini belum ada permohonan mengenai hal itu yang masuk ke MK, yaitu memutus pembubaran partai politik.
Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Akhirnya, UUD 1945 diubah secara bertahap dalam empat kali perubahan, yaitu perubahan pertaman pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.
Sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan DPR membahas pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Tanggal ini disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya MK dan sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) MK.
Dalam tinjauan ilmu hukum tata Negara, lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan lembaga penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Ide pembentukan MK terkait erat dengan ikhtiar mewujudkan hubungan yang saling mengendalikan antarcabang kekuasaan Negara.
Secara kronologi, sejarah MK telah melalui medio-temporal yang cukup panjang. Setidaknya, ada empat momen penting bagi MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertama, setelah teradopsi idenya dalam perubahan ketiga UUD 1945 yang dilakukan MPR pada tanggal 9 November 2001, maka secara faktual MK telah memiliki pengakuan eksistensional. Kedua, ketika tanggal 10 Agustus 2002 yang menjadi saat disahkannya perubahan keempat UUD Negara RI Tahun 1945 dan menentukan bahwa sejak tanggal tersebut, kewenangan MK secara hukum sudah ada, namun untuk sementara waktu dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak sebagai pelaksana sementara MK. Ketiga, ketika landasan yuridis-fungsionalnya diletakkan melalui pembentukan dan pengundangan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK pada tanggal 13 Agustus 2003. Tanggal tersebut juga menandai berlakunya ketentuan operasional penyelenggaraan tugas konstitusional MK. Keempat, pengesahan UU ini membuka peluang untuk pengangkatan sembilan orang hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan kita.
UUD 1945 pasca-perubahan telah memberikan dasar-dasar penyelenggaraan Negara dan penataan kehidupan berbangsa yang demokratis. Prinsip dasar Negara hukum yang demokratis tersebut diwujudkan dalam bentuk pengakuan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang esensial dalam proses demokrasi, pengaturan mekanisme pemilihan wakil rakyat dan jabatan-jabatan public sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, serta penataan lembaga-lembaga Negara.
Dari sisi pelaksanaan kehidupan demokrasi, bangsa Indonesia telah berhasil membentuk lembaga-lembaga demokrasi dan membuat mekanisme pelaksanaan demokrasi. Tahap selanjutnya adalah meningkatkan kualitas demokrasi sehingga praktik demokrasi tidak hanya bersifat mekanis, tetapi secara substantive benar-benar mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat.
System pemilu dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu antara sistem pemilihan mekanis, dan sistem pemilihan organis. Sistem pemelihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai individu-individu yang salam. Sementara dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekututan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga social (universitas).
Dalam setiap sistem demokrasi, partai politik memegang posisi (status) dan peranana (role) yang sangat penting. Banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Namun, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik, yaitu pandangan bahwa partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntukng yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general will atau kepentingan umum.
Salah satu unsur yang menentukan keberhasilan dan kualitas pelaksanaan pemilu adalah penyelenggaraan pemilu. Di Indonesia ada KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum, baik pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif (anggota DPR, DPD, atau DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah (pilkada).
Konstitusi juga sebagai dasar pengaturan dunia usaha, hal ini diatur dalam dasar-dasar penataan mengenai kekuasaan Negara baik atas orang ataupun atas benda. Di Indonesia hal itu telah dituangkan dalam UUD 1945. UUD 1945 menganut paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik maupun aspek demokrasi ekonomi. Dari kedua doktrin demokrasi tersebut, sistem social di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh.
BAB IV
HUKUM, DEMOKRASI, DAN HAK ASASI MANUSIA
Dalam paham demokrasi sosial (social democracy), Negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalism dan kapitalisme terus berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia, tetapi juga terjadi penyesuaian dengan elemen-elemen konstruktif dari sosialisme dalam bentuk paham “market socialism”.
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan dasar demokrasi ekonomi yang membedakan sistem perekonomian nasional dengan sistem kapitalisme liberal maupun sistem etatisme. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, Negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga Negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga Negara lainnya.
Pemahaman terhadap sistem perekonomian nasional terkait dengan hak penguasaan Negara sangat penting dipahami terkait dengan semakin kuatnya gelombang liberalisasi ekonomi di satu sisi, dan disisi lain masih banyaknya penduduk miskin yang menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi tidak serta merta dapat memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada negra untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidaklah dimaksudkan demi kekuasaan semata, tetapi agar Negara dapat memenuhi kewajibannya terhadap seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi penguasaan oleh Negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi) demokrasi ekonomi. Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara.

Fungsi pengurusan oleh Negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsepsi (concessive). Fungsi pengaturan oleh Negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan Negara mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengawasan oleh Negara dilakukan oleh pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar