Total Tayangan Halaman

Rabu, 27 November 2013

Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia Budi Sampurna

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll.  Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1]
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
            IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
            Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
 MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
            Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
            Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1.      Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2.      Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
            Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
            Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5
            Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3]
            Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.
            Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)
Dari 99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan karena berbagai hal – sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara pengadu dengan teradu untuk menyelesaikan masalahnya di luar institusi. Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14 %), juga karena beberapa hal, seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi MKEK (bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah menjadi sengketa hukum sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian hanya 74 kasus (75 %) yang eligible sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta.

Dari 74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa pada 24 kasus diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 % dari seluruh kasus pengaduan) memang telah terjadi pelanggaran etik dan atau pelanggaran disiplin profesi. Namun perlu diingat bahwa pada kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat pula kasus-kasus pelanggaran etik, dan mungkin masih banyak pula kasus pelanggaran etik dan profesi yang tidak diadukan pasien (fenomena gunung es).

Dari 24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar diputus telah melanggar pasal 2 yang berbunyi “Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”.

Pasal lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi “Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”, pasal 7 yang berbunyi “Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”, dan pasal 12 yang berbunyi “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal”.

selengkapnya di : http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/

Sabtu, 23 November 2013

Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now. I always love you. I am the star that keeps watching over you







“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
daijoubu mou nakanaide watashi wa kaze anata wo tsundeiru yo
“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
arigatou zutto daisuki watashi wa hoshi anata wo mimamori tsuzukeru

anata ni deaete yokatta hontou ni hontou ni yokatta

koko ni mou irenakunacchatta mou ikanakucha HONTO GOMEN ne
watashi mou hitori de tooi tokoro ni ikanakucha
“doko e?” tte kikanaide “nande?” tte kikanaide HONTO GOMEN ne
watashi wa mou anata no soba ni irarenakunatta no

itsumo no sampo michi Zaskia namiki wo nukete yuki
yoku asonda kawamo no ue no sora no hikaru hou e to
mou aenaku naru kedo sabishii kedo heiki dayo
umarete yokatta HONTO yokatta anata ni deaette yokatta

“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
daijoubu mou nakanaide watashi wa kaze anata wo tsundeiru yo
“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
arigatou zutto daisuki watashi wa hoshi anata wo mimamori tsuzukeru

anata ni deaete yokatta hontou ni hontou ni yokatta

anata no kaeri wo matsu gogo anata no ashiato nanigenai koto wo
watashi wa sou, ichiban no yorokobi wo shirimashita
anata ga hanashite kureta koto ichinichi no koto iroiro na koto wo
watashi wa sou, ichiban no kanashimi mo shirimashita

sore wa anata no egao anata no namida sono yasashisa
watashi no na wo yobu koe dakishimeru ude sono nukumori
mou furerarenai kedo wasurenai yo shiawase dayo
umarete yokatta HONTO yokatta anata ni deatte yokatta

“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
daijoubu dayo koko ni iru watashi wa haru anata wo idaku sora
“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
arigatou zutto daisuki watashi wa tori anata ni utai tsuzukeru

Zaskia no mau sora no kanata me wo tojireba kokoro no naka

“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
iindayo hohoende goran watashi wa hana anata no yubisaki no hana
“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
arigatou zutto daisuki watashi wa ai anata no mune ni

“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
daijoubu mou nakanaide watashi wa kaze anata wo tsundeiru yo
“Zaskia Zaskia aitai yo iya da kimi ni ima sugu aitai yo”
arigatou zutto daisuki watashi wa hoshi anata wo mimamori tsuzukeru

anata ni deaete yokatta hontou ni hontou ni yokatta
hontou ni hontou ni yokatta

Translation in English

“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
It’s alright, don’t cry anymore. I am the wind that is wrapping you.
“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
Thank you. I always love you. I am the star that keeps watching over you.

I’m really glad that I could meet you. I am really, really glad.

I couldn’t be here anymore. I had to go. I’m really sorry.
I had to go to a far place by myself.
Don’t ask, “Where to?” Don’t ask, “Why?” I’m really sorry.
I couldn’t be by your side anymore.

Cherry blossoms is falling on the path where we always walk
It’s falling on the river where we always play
Although we can’t meet anymore, although it’s lonely, I am alright.
I am glad to be born. I am really glad. I’m glad that I could meet you.

“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
It’s alright, don’t cry anymore. I am the wind that is wrapping you.
“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
Thank you. I always love you. I am the star that keeps watching over you.

I’m really glad that I could meet you. I am really, really glad.

From the sound of your carefree steps in the afternoon where I waited for you to come home
I knew your happiest time.
From the things that you told me, everyday things, various things
I also know your saddest time

That is your laughter, your tears, that kindness
The voice that calls my name, the arm that holds me tight, that warmth
Although I can’t touch it anymore, I won’t forget about it. I am happy for it.
I am glad to be born. I’m really glad. I’m glad that I could meet you.

“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
It’s alright. I’m here. I am the spring, the sky that holds you.
“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
Thank you. I always love you. I am the bird that keeps singing for you.

There, the sky where cherry blossoms dance.
If you close your eyes, I’m in your heart.

“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
It’s alright. Try to smile. I am the flower that is on your fingertips.
“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
Thank you. I always love you. I am the love that is inside your heart.

“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
It’s alright, don’t cry anymore. I am the wind that is wrapping you.
“Zaskia Zaskia I miss you. No, I want to see you right now”
Thank you. I always love you. I am the star that keeps watching over you.

I’m glad that I could meet you. I am really really glad.

I am really really glad.

Rabu, 25 September 2013

MENUJU NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS

Oleh : Prof. Dr Jimly Asshiddiqie, S.H.

Bab I
Konstitusi dan Pembangunan Hukum Nasional
Negara Indonesia adalah Negara hukum, namun penjabaran hukumnya selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Dalam hukum yang merupakan suatu kesatuan system terdapat (1) elemen kaidah aturan (elemen institusional); dan (2) elemen kaidah aturan (elemen instrumental); dan (3) elemen perilaku para subjek hukum (elemen subjektif dan cultural).
Pengertian sisitem hukum yang harus dikembangkan dalam rangka Negara Hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hierarki, dan komponen tersebut tidak berkerja secaera seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan system juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya.
Bangsa kita mewarisi tradisi hukum Benua Eropa (civil law) yaitu cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya pada kegiatan penegakkan hukum (law enforcing). Bahkan kita menganut paradigma dan doktin berpikir yang lazim dalam system civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setipa orang dianggap tahu hukum. Teori fiktie sifatnya hayalan saja karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya.
Penegakan Hukum
Penegakkan Hukum adalah segala aktivitas yang dimaksudkan agar hokum sebagai perangkat kaidah normative yang mengatur dan mengikat para subjek hokum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestiknya. Penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.
Para penegak hokum dapat dilihat sebagai Pertama, orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Kedua, penegak hokum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Untuk itu diperlukan system sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan system kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus-menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan professional aparat hokum tersebut.
Agenda penegakan hukum memerlukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang memenuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan penegakan hukum yang pasti; kedua kepemimpinan diharapkan dapat menjadi teladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai intergritas kepribadian orang yang taat aturan.
Infrastruktur Sistem Kode Etika Positif
Sistem etika untuk menunjang berfungsinya system hukum di sektor publik. Di setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Namun, baru sedikit di antara organisasi atau lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat kode etika yang disertai oleh infrastruktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Dalam kultur keorganisasian atau kultur berorganisasi di berbagai kalangan masyarakat kita, kebiasaan untuk menaati aturan (rule of the game) belumlah menjadi tradisi yang kuat. Untuk itu diperlukan proses pelembagaan tradisi normatif yang bertingkat-tingkat, baik berkenaan dengan norma hukun, norma etika dan moral, serta norma hukum.
Perubahan konstitusional merupakan satu keberhasilan yang dicapai bangsa Indonesia. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu hubungan antara pemerintahan dengan warga Negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Isi konstitusi untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ Negara; mengatur hubungan antara Negara yang satu dengan yang lain, serta mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga Negara dengan warga Negara.
Perubahan UUD 1945 mengakibatnya banyak perubahan, yaitu penambahan butir-butir ketentuan dan juga perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga Negara, penghapusan lembaga Negara tertentu serta pembentukan lembaga-lembaga Negara baru. Dalam setiap pembicaraan mengenai lembaga Negara, ada dua unsure pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Organ adalah status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya.  Berdasarkan hal tersebut dalam UUD 1945 terdapat lebih dari 34 organ, jabatan atau lembaga.
Dengan demikian, di samping lembaga-lembaga Negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, adapula lembaga-lembaga Negara yang memiliki constitutional importance yang sama dengan lembaga Negara yang disebut dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam undang-undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang hanya diatur dengan atau dalam undang-undang, asalkan sama-sama memiliki constitutional importance, dapat dikategorikan sebagai lembaga Negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Pergumulan Falsafah Bangsa dalam Era Global
Sejak era reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1988, kata Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan dan kebangsaan serta kemasyarakatan maupun dalam dunia akademik. Pancasila seperti telah tenggelam di bawah permukaan kehidupan bangsa Indonesia, menjadi sesuatu hal yang tidak perlu dimunculkan ke ruang public. Ada kesan bahwa Pancasila terpinggirkan dari dinamika kehidupan nasional. Kondisi ini berbanding terbalik dengan posisi dan peranan Pancasila di era pemerintahan Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Pancasila menjadi kata yang paling sering diucapkan dan dibahas, baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan.
Pancasila adalah dasar Negara yang menjadi sumber rujukan dan landasan utama dalam penyelenggaraan Negara, yang tercermin dalam bentuk visi, misi, kebijakan, program, dan peraturan. Di sisi lain juga merupakan falsafah bangsa dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila telah berfungsi sebagai pemrsatu dan pengikat Negara dan bangsa. Sehingga ketika ia tidak berfungsi secara memadai dan baik, maka persatuan dan ikatan dalam Negara dan bangsa Indonesia ini menjadi lemah dan mengendor, sehingga mengakibatkan goyahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dapat dikatakan sebagian warga bangsa ini telah mengalaim krisis falsafah bangsa karena tidak lagi menganut dan menjalankan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila.
Keengganan dan penolakan terhadap Pancasila tersebut disebabkan masih besarnya kekhawatiran sebagian kalangan masyarakan bahwa jika Pancasila kembali berperan di pentas nasional, maka Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru yang otoriter dan represif. Pancasila telah diidentikan sebagai bagian dari rezim dan menjadi ideology penguasa belaka. Padahal itu tidak tepat dan sebaiknya semua komponen bangsa, baik penyelenggara Negara maupun kalangan masyarakat kembali memberikan perhatian kepada Pancasila, baik sebagai dasar Negara maupun falsafah bangsa.
Pembangunan Manusia Dan Tujuan Nasional
Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk; (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Wujud nyata dari perlindungan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia adalah terjaminnya rasa aman bagi seluruh warga Negara dan bagi seluruh bangsa Indonesia. Peningkatan kesejahteraan umum dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan dasar warga Negara, seperti gizi yang baik, perumahan sehat, pakaian, serta kesehatan yang berkualitas. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti setiap warga Negara menjadi manusia yang cerdas di mana jalan uatama yang harus dipenuhi adalah penyediaan fasilitas pendidikan. Melaksanakan ketertiban dunia dapat diwujudkan dengan pemerintah yang tidak hanya berperan secara internal tapi juga harus dan pasti bersentuhan dengan Negara-negara lain berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sasaran tujuan nasional tersebut adalah manusia sekaligus masyarakat Indonesia, warga Negara, dan Negara. Sasaran tujuan tersebut pada masa Orba diwujudkan dalam jargon pembangunan nasional, yang bunyinya “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan rakyat Indonesia seluruhnya.” Itulah esensi dari konsep Negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut dalam UUD 1945.
Perubahan UUD 1945
Gagasan perubahan UUD 1945 baru menjadi kenyataan setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya selalu melakukan upaya sakralisasi terhadap UUD 1945. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh faksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu : (1) Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) Sepakat untum mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Sepakat untuk mempertahankan system presidensial (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensial); (4) Sepakat untuk memindahkan hal-hal normative yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; (5) Sepakat untuk menempuh cara addendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Selanjutnya perubahan UUD 1945 itu dilakukan secara bertahap dalam Sidang Tahunan MPR dari Tahun 1999 hingga perubahan Sidang Tahunan MPR keempat pada tahun 2002.
BAB II
Perubahan UUD 1945 Menuju Negara Hukum Demokratis
Negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai saat ini dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar, meskipun begitu kinstitusi alam pengalaman praktik ketatanegaraan telah tumbuh di kedua Negara itu. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu Negara. Negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyag. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi adalah raja. Hal ini disebut para ahli sebagai constituent power.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik penyelenggaraan Negara turut memengaruhi suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari karena setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan memengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda-beda.
Konstitusi memiliki fungsi yang sangat penting baik secara akademis maupun dalam praktik. Konstitusi di satu pihak menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah. Konstitusi juga berfungsi sebagai instrument untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal kepada organ-organ kekuasaan Negara, serta sebagai kepala Negara simbolik. Istilah kepala Negara simbolik dipakai sejalah dengan pengertian The Rule of Law yang menegaskan bahwa yang sesungguhnya memimpin dalam suatu Negara bukanlah orang, melainkan hukum itu sendiri.
Dalam kajian hukum tata Negara, dikenal adanya dua cara perubahan Undang-undang Dasar (UUD) sebagai konstitusi yang tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur sendiri oleh UUD itu atau dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD. Cara ini disebut cara konstitusional, sedangkan yang kedua adalah cara yang bersifat revolusioner. Dalam sifatnya yang revolusioner itu, berlaku tidaknya UUD tergantung pada kekuatan politik yang mendukung atau yang memberlakukannya secara terus-menerus, sehingga dalam faktisitasnya UUD itu memang nyata-nyata berlaku dan diberlakukan secara efektif sebagai konstitusi Negara yang bersangkutan.
Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan berdasar pandangan berbagai kalangan bahwa UUD 1945 tidak lagi cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan Negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Buruknya penyelenggaraan Negara pada beberapa tahun pemerintahan Presiden Soeharto ditandai dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hukum dalam arti sempit merupakan perangkat peraturan yang biasanya dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut peraturan perundang-undangan. Dan dalam arti luar, hukum mencakup pengertian norma-norma aturan yang hidup dalam praktik yang tidak tertulis. Dalam arti yang lebih luas lagi, hukum juga mencakup pengertian lembaga atau institusi yang berkaitan dengan proses pembuatan, pelaksanaan, dan penerapan serta penghakiman terhadap pembuatan melanggar aturan. Karena itu, pengertian tentang pembangunan hukum dan penegakan hukum juga dapat dilihat dalam arti sempit maupun arti luas. Pada intinya, hukum itu berisi seperangkat nilai yang bertujuan menciptakan keadailan dan kedamaian dalam kehidupan bersama.
Pandangan mengenai pembangunan dan penegakan hukum itu dapat utuh dan integral jika kita melihatnya dari sudut pandang yang komprehensif, yaitu dengan melengkapi pemahaman kita dengan menggunakan perspektif produsen dan juga konsumen. Dalam perspektif demikian, proses pembangunan hukum dan penegakan hukum itu hendaklah dipahami sebagai wujud keadilan dan ketertiban dalam rangka menjamin, memelihara ataupun memulihkan kedamaian dalam perikehidupan bersama yang tertib, tentram, kerta raharja di mana system hukum sungguh-sungguh bekerja atau berfungsi dalam kenyataan praktik sehari-hari yang ditandai oleh adanya keteraturan yang adil dalam kehidupan bersama, yang diiringi oleh penghormatan, ketundukan dan ketaatan yang bersifat sukarela setiap warga atau subjek hukum terhadap norma aturan yang disepakati bersama itu.
UUD 1945 dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formal (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan secara material (material separation of power). UUD 1945 menganut system supremasi parlemen, yaitu system kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi Negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sehubungan dengan perubahan UUD 1945 sebagaimana tercermin dalam naskah perubahan pertama, kedua, dan perubahan ketiga, keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi Negara itu memang mengalami perubahan yang sangat mendasar. Pertama, perubahan structural berkenaan dengan bentuk organisasinya, sehingga MPR tidak lagi memerlukan pimpinan tersendiri, karena pimpinan hanya dibutuhkan apabila ada persidangan yang dalam hal itu bertindak sebagai pemimpin sidang yang pemilihnnya dapat diatur tersendiri dalam peraturan tata tertib atau dalam undang-undang. Kedua, susunan keanggotaan MPR juga berubah secara structural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representation). Ketiga, bersamaan dengan perubahan yang bersifat structural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). MPR tidak lagi berfungsi sebagai supreme body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa control, dan karean itu kewenangannya mengalami perubahan-perubahan mendasar. Keempat, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislative dan eksekutif dalam perubahan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan Pasal 20 ayat (5) tentang kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Kelima, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan Pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang dimaksudkan untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945.
System pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada di tangan rakyat itu, sepangjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksklusif yang dipilih langsung oleh rakyat.
Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman Negara kita mengenal tambahan satu jenis Mahkamah lain yang berada di luar Mahkamah Agung dan kedudukannya setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
Mahkamah Konstitusi beranggotan 9 orang yang memiliki integritas, dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua Mahkamah dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari 3 orang yang dipilih oleh DPR, 3 orang yang ditentukan oleh Mahkamah agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Dengan demikian, diharapkan Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga Negara tersebut.
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Konsep Negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara adalah hukum. Dalam suatu Negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum. Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan Negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi social. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik.
Salah satu elemen dalam system hukum nasional adalah kaidah aturan. Kaidah-kaidah peraturan tersebut berupa peraturan perundang-undangan yang hanya dapat dikatakan sebagai suatu tata hukum dalam sebuah system hukum nasional jika validitasnya dapat dilacak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada konstitusi. Tata hukum, sebagai personifikasi Negara merupakan hierarki peraturan perundang-undangan yang memiliki level berbeda. Kesatuan peraturan perundang-undangan ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sejak era reformasi bergulir, kata Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas, sehingga menimbulkan kesan bahwa Pancasila terpinggirkan dari dinamika kehidupan nasional, padaha Pancasila adalah falsafah Negara. Maka dapat dikatakan sebagian bangsa Indonesia telah mengalami krisis falsafah bangsa karena tidak lagi menganut dan menjalankan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila tidak selayaknya menjadi tertuduh dan dicap buruk oleh sebagian orang karana identik dengan rezim Orde Baru, tetapi sikap dan perilaku penguasa  yang buruk yang menjadikan Pancasila sebagai “korban sejarah”.
Penataan system aturan dan system kelembagaan secara konstitutional dalam hal ini diartika secara sempit sebagai mekanisme berdasarkan suatu tata aturan. Antara tata aturan dengan kelembagaan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan, karena kelembagaan dapat didefinisikan sebagai suatu struktur aturan yang diformalisasikan dalam seperangkat produk hukum. Upaya membangun system dan kelembagaan tidak akan berhasil jika setiap lembaga dan warga Negara tidak memahami dan melaksanakan konstitusi dalam kehidupan sehari-hari.
Pertahanan dan keamanan Negara pasca perubahan UUD 1945 sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 30 UUD 1945 Bab XII. Secara substansial, rumusan Pasal 30 UUD 1945 tersebut membedakan antara pertahanan dan keamanan Negara. Ketentuan Pasal 30 UUD 1945 mengatur tiga hal utama, yaitu tentang hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara, sistem pertahanan dan keamanan Negara, serta kelembagaan yang menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan Negara. Pengaturan tersebut harus memperhatikan perkembangan hukum dan masyarakat. Indonesia sudah menandatangani Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Denhag yang dalam kaitannya dengan pertahanan Negara menganut prinsip pembedaan antara combatan dan non-combatan. Warga Negara sipil yang berperan sebagai combatan tidak mendapatkan perlindungan dalam situasi perang. Menurut Pasal 30 UUD 1945 khususnya ayat (3) dan (4) ditegaskan bahwa tugas TNI adalah sebagai alat Negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara, sedangkan Polri sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
BAB III
Mahkamah Konstitusi Dalam Berbagai Persepektif
Pengalihan paham “Supremasi MPR” ke “Supremasi Konstitusi”. Sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia mengatur paham “Supremasi MPR” dikarenakan konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum diubah. Kedudukan demikian membawa konsekuensi besar yakni terbangunnya kedudukan yang sangat tinggi di tangan MPR dengan kekuasaannya yang sangat besar sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Perubahan UUD 1945 merubahnya menjadi paham “Supremasi Konstitusi”, yakni konstitusilah yang menempati kedudukan tertinggi di dalam Negara Indonesia dan konstitusilah yang mengatur berbagai aspek ketatanegaraan dan penyelenggaraan Negara, termasuk pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar Negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi MK seperti Judicial review dalam rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formal maupun dalam arti pengujian material.
Setelah vakum selama beberapa waktu, ide MK muncul kembali pada era reformasi pada saat perubahan UUD 1945 terjadi dan menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi kontitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga Negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga Negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
Dalam rangka mendukung tercapainya visi dan misi MK, lembaga Negara ini juga menjalankan program publikasi dan informasi, antara lain operasionalisasi situs MK: www.mahkamahkonstitusi.go.id, majalah dwi bulanan Berita Mahkamah Konstitusi (BMK) dan  jurnal ilmiah dwibulanan Jurnal Konstitusi. Juga digelar diskusi interaktif di TVRI dalam acara “Forum Konstitusi” (setiap Kamis pukul 23.00 – 23.30 WIB) yang membahas berbagai isu dan topic berkaitan dengan konstitusi dan hukum serta MK.
Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara hukum itu. untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu “blue print”, suatu desain makro tentang Negara hukum dan sistem hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.
Dalam system hukum yang dianut di berbagai Negara, terdapat kekuasaan yudikatif yang antara lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsirkan konstitusi. Kekuasaan ini dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri sendiri terpisah dari MA atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi MA. Jika berdiri sendiri, lembaga itu sering disebut Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah melaksanakan tiga wewenang dari empat wewenang yang ada pada dirinya, yaitu menguji UU terhadap UUD (judicial review), memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur oleh UUD. Sedangkan satu wewenangn MK belum dilaksanakan karena memang sampai saat ini belum ada permohonan mengenai hal itu yang masuk ke MK, yaitu memutus pembubaran partai politik.
Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Akhirnya, UUD 1945 diubah secara bertahap dalam empat kali perubahan, yaitu perubahan pertaman pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.
Sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan DPR membahas pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Tanggal ini disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya MK dan sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) MK.
Dalam tinjauan ilmu hukum tata Negara, lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan lembaga penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Ide pembentukan MK terkait erat dengan ikhtiar mewujudkan hubungan yang saling mengendalikan antarcabang kekuasaan Negara.
Secara kronologi, sejarah MK telah melalui medio-temporal yang cukup panjang. Setidaknya, ada empat momen penting bagi MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertama, setelah teradopsi idenya dalam perubahan ketiga UUD 1945 yang dilakukan MPR pada tanggal 9 November 2001, maka secara faktual MK telah memiliki pengakuan eksistensional. Kedua, ketika tanggal 10 Agustus 2002 yang menjadi saat disahkannya perubahan keempat UUD Negara RI Tahun 1945 dan menentukan bahwa sejak tanggal tersebut, kewenangan MK secara hukum sudah ada, namun untuk sementara waktu dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak sebagai pelaksana sementara MK. Ketiga, ketika landasan yuridis-fungsionalnya diletakkan melalui pembentukan dan pengundangan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK pada tanggal 13 Agustus 2003. Tanggal tersebut juga menandai berlakunya ketentuan operasional penyelenggaraan tugas konstitusional MK. Keempat, pengesahan UU ini membuka peluang untuk pengangkatan sembilan orang hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan kita.
UUD 1945 pasca-perubahan telah memberikan dasar-dasar penyelenggaraan Negara dan penataan kehidupan berbangsa yang demokratis. Prinsip dasar Negara hukum yang demokratis tersebut diwujudkan dalam bentuk pengakuan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang esensial dalam proses demokrasi, pengaturan mekanisme pemilihan wakil rakyat dan jabatan-jabatan public sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, serta penataan lembaga-lembaga Negara.
Dari sisi pelaksanaan kehidupan demokrasi, bangsa Indonesia telah berhasil membentuk lembaga-lembaga demokrasi dan membuat mekanisme pelaksanaan demokrasi. Tahap selanjutnya adalah meningkatkan kualitas demokrasi sehingga praktik demokrasi tidak hanya bersifat mekanis, tetapi secara substantive benar-benar mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat.
System pemilu dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu antara sistem pemilihan mekanis, dan sistem pemilihan organis. Sistem pemelihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai individu-individu yang salam. Sementara dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekututan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga social (universitas).
Dalam setiap sistem demokrasi, partai politik memegang posisi (status) dan peranana (role) yang sangat penting. Banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Namun, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik, yaitu pandangan bahwa partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntukng yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general will atau kepentingan umum.
Salah satu unsur yang menentukan keberhasilan dan kualitas pelaksanaan pemilu adalah penyelenggaraan pemilu. Di Indonesia ada KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum, baik pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif (anggota DPR, DPD, atau DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah (pilkada).
Konstitusi juga sebagai dasar pengaturan dunia usaha, hal ini diatur dalam dasar-dasar penataan mengenai kekuasaan Negara baik atas orang ataupun atas benda. Di Indonesia hal itu telah dituangkan dalam UUD 1945. UUD 1945 menganut paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik maupun aspek demokrasi ekonomi. Dari kedua doktrin demokrasi tersebut, sistem social di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh.
BAB IV
HUKUM, DEMOKRASI, DAN HAK ASASI MANUSIA
Dalam paham demokrasi sosial (social democracy), Negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalism dan kapitalisme terus berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia, tetapi juga terjadi penyesuaian dengan elemen-elemen konstruktif dari sosialisme dalam bentuk paham “market socialism”.
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan dasar demokrasi ekonomi yang membedakan sistem perekonomian nasional dengan sistem kapitalisme liberal maupun sistem etatisme. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, Negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga Negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga Negara lainnya.
Pemahaman terhadap sistem perekonomian nasional terkait dengan hak penguasaan Negara sangat penting dipahami terkait dengan semakin kuatnya gelombang liberalisasi ekonomi di satu sisi, dan disisi lain masih banyaknya penduduk miskin yang menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi tidak serta merta dapat memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada negra untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidaklah dimaksudkan demi kekuasaan semata, tetapi agar Negara dapat memenuhi kewajibannya terhadap seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi penguasaan oleh Negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi) demokrasi ekonomi. Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara.

Fungsi pengurusan oleh Negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsepsi (concessive). Fungsi pengaturan oleh Negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan Negara mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengawasan oleh Negara dilakukan oleh pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Sabtu, 20 Juli 2013

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK (Summary)

Oleh
Milyan Risydan Al Anshori

PENDAHULUAN
Pengertian administrasi dari bahasa latin ad dan ministrare yang berarti membantu, melayani dan memenuhi. Dalam bahasa inggris administration yang merupakan segenap proses penyelenggaraan atau penataan tugas-tugas pokok pada suatu usaha kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan administrasi dengan managemen dan tata usaha sering dikacaukan pengertiannya. Managemen merupakan bagian dari administrasi sedangkan tata usaha ialah kegiatan pengumpulan data dan informasi dengan pencatatan secara sistematis pada suatu organisasi.
Dalam tulisan ini digunakan istilah hukum administrasi negara dengan pertimbangan tidak menutup kemungkinan pada fakultas hukum untuk menggunakan istilah lainnya, misalnya hukum tata pemerintahan dan hukum tata usaha negara. Penggunaan istilah ini juga didasari pertimbangan bertambah luasnya lapangan pekerjaan administrasi negara, termasuk pelayanan publik dan perlindungan HAM terkait dalam perlindungan hukum.
Pengertian administrasi negara mencakup semua kegiatan negara untuk menunaikan dan melaksanakan kebijakan negara. Jadi pengertian administrasi terdiri dari tiga unsur yaitu (1.) kegiatan melibatkan dua orang atau lebih, (2.) kegiatan dilakukan secara bersama-sama, dan (3.) ada tujuan yang ingin dicapai. Ada dua pengertian administrasi negara yaitu secara luas dan sempit. Dalam arti luas sebagai bentuk kegiatan negara dalam melaksanakan kekuatan politiknya, sedangkan dalam arti sempit sebagai kegiatan badan eksekutif dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan. Melengkapi pengertian ini Prajudi Admosudijo memberikan tiga arti dari administrasi negara, yaitu (1) sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, (2) sebagai aktifitas melayani pemerintah, dan (3) sebagai proses tehnis penyelenggara undang-undang. Dengan demikian administrasi negara dasar dan tujuannya adalah sesuai dengan dasar dan tujuan negara republik Indonesia, yaitu tercapainya kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Administrasi negara yang baik memperlukan social partisipation, social responsibility, social report dan social control.
Pengertian hukum administrasi negara berdasarkan pendapat para ahli dapat dikemukakan bahwa hukum administrasi negara adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur dan mengikat para penyelenggara negara dan pemerintahan dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum. Sejalan dengan penalaran ini, maka hukum administrasi negara dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Dengan adanya hukum administrasi negara akan terlihat secara konkrit sejauh mana kualitas hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.
Perkembangan hukum administrasi negara sebelum abad ke-19 hukum dibagi kedalam hukum publik dan hukum privat. Hukum publik meliputi hukum tata negara, hukum administrasi negara dan hukum pidana. Sedangkan hukum privat terdiri dari hukum perdata dan hukum dagang. Sesudah abad ke-19 kedudukan hukum administrasi negara (HAN) dalam ilmu hukum tidak lagi menjadi bagian dari tata negara, tetapi sudah merupakan hukum publik yang berdiri sendiri.
Hubungan hukum administrasi negara dengan ilmu tata pemerintahan sangat erat karena hukum administrasi negara menjadi salah satu bagian dari ilmu tata pemerintahan yang membahas aturan-aturan tertulis dan yang tidak tertulis. Pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan atau perbuatan biasa dan tindakan atau perbuatan hukum. Dalam kajian hukum administrasi negara arahnya pada perbuatan kedua yaitu perbuatan atau tindakan hukum (recths handeligen).
Hukum administrasi negara juga mempunyai hubunganm erat dengan hukum tata negara karena obyek penyelidikannya sama, hanya pendekatannya yang berbeda. Hukum tata negara untuk mengetahui atau mengkaji organisasi negara serta badan-badan lainnya, sedangkan hukum administrasi negara menghendaki bagaimana caranya negara menyelenggarakan atau melakukan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan negara.

SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian sumber hukum adalah segala sesuatu yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang dapat dijadikan dasar pembentukan, pelaksanaan dan penerapan hukum secara konkrit. Dalam kajian ilmu pengetahuan hukum, pengertian sumber hukum oleh para ahli dipergunakan dalam beberapa pengertian, yaitu :
(1.)  Sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum. Hal ini berupa keputusan penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan hukum.
(2.)  Sumber hukum dalam pengertian sebagai tempat ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Hal ini berupa undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, serta doktrin yang terdapat dalam undang-undang Republik Indonesia, TAP MPR, UU, Perpu, PP, Perpres, kepres, perda dan lain-lainnya.
(3.)  Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Hal ini berupa keyakinan, rasa keadilan atau perasaan akan hukum.
Dalam ilmu hukum, sumber hukum terdiri dari sumber pengenalan hukum. Sumber hukum ini mengharuskan menyelidiki asal dan tempat ditemukannya hukum. Sumber hukum berikutnya berupa sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan tumbulnya atau lahirnya aturan hukum. Sumber hukum ini mengharuskan menelaah asal sumber nilai yang menyebabkan sebagai dasar aturan hukum.
Sumber hukum dalam ilmu hukum ada dua, yaitu material dan formal. Secara filosofis sumber hukum dapat dilihat dari dua aspek, yaitu sumber isi hukum dan sumber kekuatan mengikat hukum. Sumber isi hukum ada yang berpandangan teokratis: isi hukum berasal dari Tuhan, pandangan hukum kodrat: isi hukum berasal dari asal manusia dan pandangan madzhab historis: isi hukum berasal dari kesadaran hukum masyarakat.
Pancasila sebagai falsafah negara merupakan sumber hukum administrasi negara dalam arti material, dan sekaligus sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sumber hukum ini mengharuskan adanya prinsip hukum material yang berasaskan ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh khitmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/keadilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti hukum material administrasi negara tidak boleh bertentangan dengan agama, menjunjung tinggi martabat manusia, berlaku seluruh bangsa Indonesia sebagai pemersatu, kekuasaan harus tunduk pada hukum dan semua orang dihadapan hukum adalah sama.
Sumber hukum formal hukum administrasi negara secara hierarkis adalah UUD 1945, TAP MPR, UU/ perpu, PP, perpres, keppres dan perda. Dalam pembentukan undang-undang pelandasan yang tergambar dalam konsideran harus memuat norma hukum yang baik. Hal ini terdiri atas pelandasan filosofis (norma ideal), sosiologis (kebutuhan masyarakat), politis, yuridis dan administratif.
Hakekat hukum administrasi negara adalah mengatur hubungan antara alat-alat pemerintah dengan masyarakat dan memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari tindakan sewenang-wenang aparatur pemerintah. Hukum administrasi negara berperan mengatur, membatasi dan menguji hubungan hukum antara warganegara dengan penguasa.Hibungan hukum terjadi karena pemerintah menjalankan tugas tugas umum pemerintahan dan pembangunan melalui pengambilan keputusan pemerintah yang bersifat strategis,dan melalui tindakan tindakan pemerintahan dalam menegakkan ketertiban umum, penegakan hukum, kewibawaan negara dan kekuasaan negara.
Fungsi hukum administrasi negara secara umum untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama.ketertiban umum sangat penting otuk menjamin kelangsungan hidup bersama. Fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat yaitu berfungsi sebagai direktif, stabilitatif, integratif, perfektif (penyempurna) dan korektif intuk mendapatkan keadilan.
Hukum administrasi negara mencakup tiga fungsi, yaitu : fungsi normatif, instumental dan fungsi jaminan.Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan pemerintah, fungsi instumental untuk menetapkan instumen yang digunakan pemerintah dalam melakukan pemerintahan dan fungsi jaminan untuk menjamin adanya perlindungan hukum.
Fungsi normatif hukum administrasi negara melalui menelaah serangkaian peraturan perundang undangan. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan asas legalitas, yang berarti terlebih dahulu mencari legalitasnya tindakan dalam UU .Jika tidak terdapat dalam UU pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Apabila tidak ditemukan legalitasnya, sementara harus dilakukan tindakan segera, maka pemerintah dapat menggunakan kewenangan bebas yang disebut freies ermessen .Pelaksanaan freies ermessen harus memperhatikan asas asas pemerintahan yang baik. Kemudian fungsi instrumen hukum administrasi negara dimaksudkan untuk menciptakan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.Akhirnya fungsi jaminan hukum administrasi negara harus dapat memberikan perlindungan warga masyarakat sehingga tercapai keadilan dan kesejahteraan secara merata

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik telah dituangkan peraturan perundang-undangan, seperti : tertuang dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Asas-asas umum yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.       Asas Kepastian Hukum (Principles of Legal Security)
Artinya, pemerintah di dalam menjalankan wewenangnya haruslah sesuai dengan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkannya. Pemerintah harus menghormati hak-hak seseorang yang telah diperoleh dari pemerintah dan tidak boleh ditarik kembali. pemerintah harus konsekuen atas keputusannya demi terciptanya suatu kepastian hukum.
b.      Asas Keseimbangan (Principles of Proportionality)
Artinya, ada keseimbangan antara pemberian sanksi terhadap suatu kesalahan seseorang pegawai, janganlah hukuman bagi seseorang berlebihan dibandingkan dengan kesalahannya.
c.       Asas Kesamaan (Principle of Equality)
Artinya, pemerintah dalam menghadapi kasus/fakta yang sama, pemerintahan harus bertindak yang sama tidak ada perbedaan, tidak ada pilih kasih dan lain sebagainya.
d.      Asas Bertindak Cermat (Principle of Carefulness)
Asas ini menghendaki agar administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.
e.       Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan (Principle of Motivation)
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat administrasi negara (pemerintah) bersandar pada alasan atau motivasi yang cukup yang sifatnya benar, adil dan jelas. Artinya, setiap keputusan pemerintah harus mempunyai motivasi (alasan) yang benar, adil dan jelas.
f.       Asas Jangan Mencampur Adukan Kewenangan (Principle of Non Misuse of Competence).
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat administrasi negara (pemerintah) tidak menggunakan kewenangan atas kekuasaan di luar maksud pemberian kewenangan atau kekuasaan itu. Artinya, pemerintah jangan menggunakan kewenangan untuk tujuan yang lain, selain tujuan yang sudah ditetapkan untuk kewenangan itu.
g.      Asas Permainan yang Layak (Principle of Fair Play)
Artinya, pemerintah harus memberikan kesempatan yang layak kepada warga masyarakat untuk mencari kebenaran dan keadilan. Misalnya: memberi hak banding terhadap keputusan pemerintah yang tidak diterima individu melalui PT Tata Usaha Negara (PT TUN).
h.      Asas Keadilan atau Kewajaran (Principle of Reasonable or Prohibition of Arbitrariness)
Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakan pemerintahan tidak berlaku sewenang-wenang atau berlaku tidak layak. Artinya pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang atau menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk kepentingan pribadinya.
i.        Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar (Principle of Meeting Raisesd Expectation)
Artinya, tindakan pemerintah yang dapat menimbulkan secercah harapan bagi pegawai negeri sipil yang berprestasi dalam kinerjanya, untuk memperoleh penghargaan dari pemerintah atau atasannya.
j.        Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan yang Batal
Asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan, maka akibat dari keputusan yang dibatalkan itu dihilangkan, sehingga yang bersangkutan (terkena putusan) harus diberikan ganti kerugian atau rehabilitasi. Misalnya membuat keputusan memberhentikan seorang pegawai. Kemudian keputusan pemberhentian (pegawai) itu dibatalkan oleh lembaga peradilan administrasi negara (PTUN). Maka semua akibat dari keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehingga instansi yang membuat keputusan pemberhentian itu bukan saja harus menerima pegawai yang bersangkutan untuk bekerja lagi di instansi tersebut, tetapi juga harus mengganti kerugian akibat keputusan yang pernah dibuatnya.
k.      Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (Principle of Protecting the Personal Way of Life)
Asas ini menghendaki setiap pegawai negeri diberi kebebasan atau hak untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan (cara) hidup yang dianutnya. Penerapan asas ini harus dikenakan pada pembatasan dari garis-garis moral Pancasila yang merupakan falsafah hidup bangsa. Dengan demikian, pandangan hidup itu dalam pelaksanaannyaharus diberikan batasan moral sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang religius.
l.        Asas Kebijaksanaan (Principle of Wisdom – Sapientia)
Asas ini menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya pemerintah diberi kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi. Artinya, pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan undang-undang dan menyelenggarakan kepentingan umum.
Untuk itu, asas kebijakan ini jangan dikacaukan pengertiannya dengan freies ermessen, sebab freies ermessen pada hakikatnya memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkret (darurat); sedangkan kebijakan merupakan satu pandangan jauh ke depan (terpola) dari pemerintah. Oleh sebab itu, freies ermessen harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas kebijaksaan yang menghendaki bahwa pemerintah dalam segala tindakannya  harus berpandangan luas dan selalu dapat menghubungkan dengan gejala-gejala masyarakat yang harus dihadapinya serta dapat memperhitungkan atau mempredik-sikan atas tindakan itu jauh ke depan.
m.    Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (Principle of Public Service)
Artinya, tugas pemerintah harus mendahulukan kepentingan umum dari pandangan kepentingan pribadi.

Konsep Pemerintahan yang Baik
Dari sudut pandang hukum administrasi negara, konsep good governance berkaitan dengan aktivitas pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Good Governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah, yaitu :
1)      Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security of all person and society it self).
2)      Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat (to mange an effective framework for the public sector, the private sector and civil society).
3)      Memajukan asaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wisches of the population).

Pemerintahan yang Baik dalam Perspektif Pelayanan Publik
Pelayanan publik (public service) adalah produk yang dihasilkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Dalam hubungan pemerintah dengan masyarakat, semakin maju suatu masyarakat makin meningkat pula kesadaran akan haknya, maka pelayanan publik menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Ruang lingkup pelayanan publik tersebut meliputi : pendidikan,  pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait (Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).
a.       Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b.      Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan;
c.       Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatna dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 2009).

Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Dalam hal ini negara didirikan oleh masyarakat (rakyat atau publik) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarkat.

PERBUATAN PEMERINTAH
Perbuatan atau tindakan pemerintah adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari suatu alat administrasi negara (bestuur organ) yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada di luar lapangan hukum tata pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi. Atau dengan kata lain perbuatan pemerintah adalah perbuatan yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan.
Perbuatan pemerintah memiliki beberapa unsur, yaitu :
a.       Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintan (bestuur orgamen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
b.      Perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c.       Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
d.      Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan berikut. Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi dari pada pemisahan organ, karena itu fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yangh cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan tugasnya penyelenggara pemerintahan atau administrasi negara melakukan berbagai jenis perbuatan melalui berbagai kebijakan. Perbuatan-perbuatan penyelenggara pemerintah dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.      Feitelijke handelingen (perbuatan non-yuridi) yaitu perbuatan pemerintah yang tidak berakibat hukum atau sering juga disebut perbuatan pemerintah yang didasarkan pada fakta-fakta saja, seperti perbuatan pemerintah untuk meresmikan proyek pembangunan irigasi;
2.      Rechts handelingen (perbuatan yuridis) yaitu perbuatan pemerintah yang berakibat hukum.
Perbuatan dalam hukum administrasi negara yang penting adalah perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan atau negara yang berakibat hukum atau lazim disebut perbuatan hukum pemerintah. Perbuatan hukum pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan digolongkan ke dalam dua golongan perbuatan hukum, yaitu : (1) perbuatan pemerintah yang bersifat hukum privat, dan (2) perbuatan pemerintah yang bersifat hukum publik.
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumber pada tiga hal, yaitu :
1.      Atribusi
Atribusi adalah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara.
2.      Delegasi
Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh si pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.
3.      Mandat
Mandat tidak demikian hal dengan atribusi dan delegasi. Pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimbahan wewenang dari badan atau pejabat tata usaha negara yang satu kepada yang lain. Dengan kata lain, pejabat penerima mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat). Adapun tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM PROSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK
Secara faktual (empiris) pelayanan publik yang dilakukan oleh aparat pemerintah selama ini masih menampilkan ciri-ciri yang berbelit-belit, lambat, mahal, serta melelahkan. Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang melayani, bukan yang dilayani.
Untuk itu, diperlukan suatu perubahan paradigma dalam bidang pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan pelayan dan yang dilayani pada posisi yang sesungguhnya. Secara filosofi, pelayanan yang diberikan oleh aparat pemerintah kepada masyarakat ditafsirkan sebagai kewajiban bukan hak, karena mereka (birokrat) diangkat dan ditugasi untuk melayani masyarakat, oleh karena itu harus dibangun komitmen yang kuat untuk melayani sehingga pelayanan akan menjadi responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan dapat merancang model pelayanan yang lebih kreatif serta lebih efisien.
Menurut Inu Kencana, pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terkait pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara terhadap masyarakatnya guna memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri dan memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 25 Tahun 2009).
Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengukuran kualitas pelayanan publik didasarkan pada indikator-indikator berikut :
1.     Tangible, artinya kualitas pelayananyang berupa sarana fisik perkantoran, ruang tunggu, dan lainnya;
2.     Reliability, yakni kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya;
3.  Responsiveness, yakni kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen;
4.  Assurance, yakni kemampuan dan keramahan serta sopan santun pegawai dalam meyakinkan dan menumbuhkan kepercayaan konsume;
5.     Emphaty, yakni sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga masyarakat atas barang, jasa dan administratif harus berdasarkan pada : (1) Kepentingan umum, (2) Kepastian hukum, (3) Kesamaan hak, (4) Keseimbangan hak dan kewajiban, (5) Keprofesionalan, (6) Partisipatif, (7) Persamaan perlakuan / tidak diskriminatif, (8) Keterbukaan, (9) Akunntabilitas, (10) Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, (11) Ketepatan waktu, (12) Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Adapun standar pelayanan meliputi : (a) Prosedur pelayanan, (b) Waktu penyelesaian, (c) Biaya pelayanan, (d) Produk pelayanan, (e) Sarana dan prasarana, (f) Kompetensi petugas pemberi pelayanan.

Biaya Pelayanan Publik
a.       Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat
b.      Nilai atau harga yang berlaku atas barang dan/atau jasa
c.   Rincian biaya harus jelas untuk jenis pelayanan publik yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan
d.  Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan memperhatikan prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Izin adalah suatu keputusan administrasi negara yang memperkenankan suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang, tetapi diperkenankan dan bersifat konkret. Asep Warlan Yusuf, izin sebagai suatu instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan undang-undang.
Kegiatan perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada intinya adalah untuk menciptakan kondisi bahwa kegiatan pembangunan sesuai dengan peruntukannya, disamping itu agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.

Pengertian Dispensasi
Dispensasi adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu.
Dengan demikian, dispensasi bertujuan untuk menebus rintangan yang sebenarnya secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus.

Pengertian Lisensi dan Konsesi
Lisensi adalah suatu pengertian khas Indonesia yang di Negara Belanda tidak ada. Istilah tersebut berasal dari istilah hukum administrasi Amerika Serikat dari kata license, yang berarti dalam bahasa Belanda vergunning. Istilah lisensi banyak dipergunakan pada tahun-tahun 50-an pada waktu perdagangan masih terkait kepada sistem devisa ketat, sehingga setiap importir memerlukan license dari Kantor Urusan Impor yang bekerjasama dengan Kantor Urusan Devisa, yakni Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk dapat mengimpor barang atau jasa.
Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat kompleks oleh karena merupakan seperangkat (set) dispensasi-dispensasi, izin-izin, lisensi-lisensi disertai dengan pemberian semacam “wewenang pemerintahan” terbatas kepada konsesionaris. Bahwa konsesi merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi tugas pemerintah, namun oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.
Perizinan sebagai instrumen hukum perbuatan pemerintah mengarahkan (mengendalikan/sturen) aktivitas-aktivitas tertentu, mencegah bahaya bagi lingkungan, keinginan melindungi objek-objek tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan mengarahkan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.
Asas dan prinsip-prinsip pelayanan publik adalah : (1) transparan, (2) akuntabel, (3) partisipatif, (4) kesamaan hak, (5) efektif, (6) efisien, (7) keseimbangan, (8) profesional.
Prinsip-prinsip Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah : (1) kesederhanaan, (2) kejelasan, (3) kepastian waktu, (4) kepastian hukum, (5) kemudahan akses, (6) kenyamanan, (7) kedisiplinan.

PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
Pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu memastikan hasil yang sesuai dengan rencana. Pengertian pengawasan yang lain adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara dovacto, sedangkan tujuannya terbatas pada pencocokan. Apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi, pengawasan merupakan proses kegiatan pemantauan, evaluasi dan membandingkan apa yang direncanakan dengan apa yang dicapai (daya  guna, hasil guna dan tepat guna) terhadap pelaksanaan rencana kegiatan.
Pengawasan masyarakat terhadap pelayanan publik adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sedangkan, fungsi pengendalian melalui pengawasan melekat harus terbuka terhadap pengawasan masyarakat, yang harus dikembangkan sebagai penunjang pengawasan fungsional.
Pengawasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu bentuk pengawasan eksternal, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UU Nomor 25 tahun 2009, dimana masyarakat berhak antara lain : (a) mengawasi pelaksanaan standar pelayanan, (b) mendapatkan tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan, (c) memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, (d) mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman, (e) mengadukan penyelenggaran yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman, dan (f) mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujan pelayanan.
Apabila masyarakat atau stakeholders merasa haknya untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan tidak terpenuhi, masyarakat hendak untuk menyampaikan pengaduan, laporan dan/atau gugatan. Dalam perspektif hukum, pengaduan dilakukan terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Pengaduan tersebut disampaikan kepada Penyelenggara, Ombudsman dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota. Sedangkan laporan adalah tindakan hukum yang dilakukan masyarakat apabila penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan disampaikan kepada aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK). Selanjutnya, gugatan merupakan tuntutan hukum yang disampaikan oleh masyarakat kepada penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau melalui Pengadilan Negeri dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum (aspek perdata) dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Masyarakat (seluruh pihak, baik warganegara maupun penduduk sebagai orang perorangan, kelompok maupun badan hukumyang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung) yang melakukan pengaduan dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 42 UU Nomor 25 Tahun 2009, pengaduan diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa mewakilinya dan disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan. Pengaduan disampaikan secara tertulis memuat nama dan alamat lengkap (dalam keadaan tertentu dapat dirahasiakan), uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan dan uraian kerugian mterial atau immaterial yang diderita, permintaan penyelesaian yangdiajukan (dapat memasukkan tuntutan ganti kerugian), tempat, waktu penyampaian dan tandatangan. Pengaduan tersebut disertai dengan bukti-bukti sebagai pendukung pengaduannya.
Penyelenggaraan pelayanan publik wajib menerima, merespon dan memeriksa pengaduan dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang diselenggarakannya. Pemeriksaan tersebut wajib berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasim tidak memihak dan tidak memungut biaya.
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan usaha milik negara, Badan usaha milik daerah dan Badan hukum milik negara serta Badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggarna pendapata daerah (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia).
Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mendasarkan pada asas: kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, kesimbangan, keterbukaan dan kerahasiaan (Pasal 3 UU Nomor 37 Tahun 2008). Adapun fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 UU Nomor 37 Tahun 2008.
Pasal 6, Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik dipusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan usaha milik negara, Badan usaha milik daerah, dan Badan hukum milik negara serta Badan swasta atau perorang yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
Pasal 7, Ombudsman bertugas : (a) Menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (b) melakukan pemeriksaan substansi atas laporan; (c) menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; (d) melakukan investiasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (e) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakan dan perseorangan; (f) membangun jaringankerja; (g) melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan (h) melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Salah satu tugas Ombudsman adalah memeriksa laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Maladministrasi dimaksud dalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabdian kewajiban hukum dalam peneyelnggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau imateriil bagi masyarakat dan orang perorangan (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008). Selanjutnya, Laporan dimaksud adalah pengaduan atau penyampaian fakta yang diselesaikan atau ditindaklanjuti oleh Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh setiap ornga yang telah menjadi korban maladministrasi (Pasal 1 angka 4 UU Nomor 37 Tahun 2008).
Wewenang Ombudsman sebagaimana atur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang : (a) Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; (b) Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pelapor atau pun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan; (c) Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor; (d) Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan; (e) Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; (f) Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporanm termasuk rekomendasi atau membayar ganti rugi dan/atau rehabilitsi kepada pihak yang dirugikan; (g) Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Dalam melaksanakan wewenang Ombudsman tersebut, berupa antara lain memeriksa laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun dituntut pula untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar penyelenggara negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan pendekatan persuasif berarti tidak semua laporan harus diselesaikan melalui mekanisme rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan laporan atas dugaan maladministrasi.
Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa (subpoena power).
Selanjutnya, Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan, atau dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang dapat dijadikan bahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden untuk mengambil kebijakan dalam membangun pelayanan publik yang lebih baik. Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman di daerah, jika dipandang perlu Ombudsman dapat mendirikan perwakilan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mempunyai hubungan hirarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan (Pasal 43 UU Nomor 37 Tahun 2008). Namun, sejak diberlakukannya UU Nomor 37 Tahun 2008 hingga kini sudah 2 tahun 8 bulan (saat ditulis buku ini) belum dibentuk perwakilan di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga penanganan pengaduan atas pelanggaran maladministrasi di bidang pelayanan publik di daerah tidak efektif.

Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat baik di pusat maupun di Daerah. Atau disebut dengan istilah pengawasan representatif. Dalam Pasal 69, Pasal 70 dan Pasal 71 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, pada intinya bahwa “fungsi pengawasan DPR dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Demikian pula DPRD Provinsi pengawasan diatur dalam Pasal 292 dan Pasal 293 dan DPRD Kabupaten/Kota pengawasan diatur dalam Pasal 343 dan Pasal 344 UU Nomor 27 Tahun 2009, yang pada intinya bahwa “DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, dan Kabupaten/Kota. 

PROF. MUH. JUFRI DEWA. 2011, HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
DALAM PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK