Total Tayangan Halaman

Sabtu, 08 Februari 2014

Penyampingan Perkara Pidana SEPONERING dalam Penegakan Hukum

Resume buku karya
F Darmono E

BAB I  EKSISTENSI HUKUM DALAM NEGARA
Keberadaan hukum dalam kehidupan bernegara menjadi saran untuk mengatur, menjaga dan mengendalikan semua aspek dalam penyelenggaraan kehidupan pemerintahan negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara apapun bentuknya negara itu, tidak mungkin dapat dilepaskan atau dipisahkan dari tindakan penegakan hukum (Law enforcement), bahkan di dalam suatu negara yang menerapkan sistem kekuasaan mutlak yang dipegang oleh Kepala Negara (Diktator) sekalipun, ketentuan hukum senantiasa akan menjadi panduan (guiden) bagi pemegang kekuasaan negara dalam rangka menyelenggarakan pemerintahannya.
Jika hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka kepastian rasa aman, ketentraman ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Segala kebijakan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan negara baik yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan di bidang politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya maupun pertahanan keamanan, masing-masing harus didasarkan pada suatu mekanisme atau tata cara yang diterapkan berdasarkan suatu aturan yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan.
Hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan menempati posisi strategis dan menentukan. Strategis karena ketentuan hukum yang dimanifetasikan dalam bentuk aturan-aturan (baik tertulis maupun tidak tertulis) akan selalu bersentuhan dengan semua aspek kehidupan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berarti semua gerak langkah dan operasionalisasi dari keseluruhan aspek atau bidang-bidang tersebut harus didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang tidak lain adalah inti atas eksistensi hukum itu sendiri. Sedangkan dikatakan menentukan, karena baik buruknya penegakan hukum yang diimplementasikan dengan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam semua aspek penyelenggaraan pemerintahan akan memberikan warna (pengaruh signifikan) dalam penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya.
Cakupan yang diperlukan dalam penegakan hukum meliputi 4 komponen utama yaitu :
v  Produk hukumnya (perundang-undangan).
v  Lembaga-lembaga atau badan penyelenggara penegakan hukum beserta sarana dan prasarananya.
v  Sumber daya manusia / pelaksana penegakan hukum.
v  Perilaku masyarakat yang taat hukum atau yang dikenal dengan budaya hukum.
Tindakan penegakan hukum tidak dapat dinilai sebatas pada penanganan dan penyelesaian suatu perkara melalui proses peradilan, karena semua tindakan hukum dan proses peradilan baik dalam perkara pidana, perdata, tata usaha negara dan lain-lain hanyalah merupakan bagian dari proses dalam kerangka penegakan hukum. Hal ini menarik perhatian publik khususnya terkait dengan peradilan pidana, disebabkan hal-hal sebagai berikut :
Ø  Permasalahan yang harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana adalah berhubungan langsung dan menyentuh pada aspek kepentingan umum (public interest).
Ø  Implikasi atau akibat dari pelaksanaan penegakan hukum di bidang peradilan pidana adalah berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia (berhubungan dengan nasib manusia, apakah seseorang tetap bisa hidup di alam bebas atau harus menjalani kehidupan yang terampas kemerdekaannya atau bahkan dengan pidana mati).
Ø  Implikasi atau akibat dari pelaksanaan penegakan hukum di bidang peradilan pidana akan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kedudukan hukum atau status sosial bagi seseorang yang menjalaninya (perubahan status dari seorang pengusaha menjadi narapidana, dari pejabat yang punya kekuasaan dan kebebasan berubah menjadi tersangka, terdakwa dan atau terpidana kemudian dipecat dari jabatannya).
Ø  Dari aspek perekonominan akibat pelaksanaan penegakan hukum melalui proses peradilan pidana dengan dilakukannya penyitaan atau perampasan atas aset-aset yang diduga hasil dari tindak pidana maka bisa mengakibatkan seseorang menjadi miskin karenanya.
Hal-hal tersebut di atas kemudian menjadi pemicu terjadinya praktek-praktek penyimpangan dalam penegakan hukum yaitu di satu pihak yang diduga sebagai pelaku suatu pelanggaran penegakan hukum dapat menghindar dari jeratan hukum dan di lain pihak bagi penyelenggara penegakan hukum yang tidak mampu memegang amanah untuk menyelenggarakan penegakan hukum atas dasar prinsip-prinsip Kebenaran dan Keadilan.
Penegakan hukum dengan prinsip Kebenaran berarti pelaksanaan tugas dan wewenang yang dilaksanakan oleh aparat penyelenggara atau penegak hukum sesuai dengan ruang lingkup dan tahapannya (penyidik, penuntut umum, atau hakim pada semua jenis peradilan) dilaksanakan secara lugas sesuai dengan amanat atau yang tersurat dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penegakan hukum dengan prinsip Keadilan berarti bahwa semua langkah, tindakan hukum atau kebijakan yang diambil, dikeluarkan atau ditetapkan oleh penyelenggara penegakan hukum atau pejabat, harus senantiasa didasarkan dan dengan memperhatikan pada tuntutan hati nurani, suara batin dari manusia pada umumnya. Ukurannya melalui penilaian masyarakat berdasarkan kualifikasi kepatutan atau sebagai hal kewajaran.
Hal yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan/penegakan hukum adalah kemauan atau komitmen untuk memenuhi prinsip-prinsip penegakan hukum yaitu :
ü  Adanya kepastian hukum (legal certainty/law certainty)
ü  Keadilan masyarakat (justice for the people)
ü  Manfaat bagi masyarakat (benefits for the people)
Salah satu sisi dalam penegakan hukum adalah proses penanganan dan penyelesaian perkara pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana atau criminal justice system. Proses peradilan pidana adalah keseluruhan proses yang meliputi tindakan penyelidikan, tindakan penyidikan, tindakan penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan serta pelaksanaan atas putusan pengadilan (eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana). Masing-masing tahapan dalam proses peradilan pidana tersebut dilakukan oleh lembaga atau instansi yang masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang secara rigid telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif baik di dalam ketentuan umum yang diatur dalam Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun ketentuan khusus Hukum Acara Pidana yang diatur di dalam suatu ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus pula.
Kewenangan-kewenangan dari lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana dan penanggung jawab dari proses peradilan pidana berdasarkan perundang-undangan antara lain :
1.      Kewenangan imperatif/limitatif => perintah bersifat terbatas dan mengikat.
2.      Kewenangan tentatif/alternatif => penyelenggara suatu proses peradilan pidana dapat memilih untuk menentukan suatu keputusan-keputusan atau kebijakan tertentu dalam suatu proses pidana.
Sejak pemerintahan Orde Baru (1966), kewenangan Jaksa Agung untuk “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” tidak pernah digunakan untuk menghentikan proses perkara pidana sekalipun dalam bentuk lain telah dilakukan untuk menghentikan proses perkara pidana saat itu yaitu dalam bentuk :
§  Melakukan penghentian penyidikan dengan SPPP/SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan);
§  Melakukan penghentian penuntutan dengan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan);
§  Menutup perkara demi hukum/karena kadaluarsa/terdakwa meninggal dunia.
Kebijakan Jaksa Agung berupa “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” terdapat dalam kasus tindak pidana korupsi atas nama tersangka Dr. BIBIT SAMAD RIANTO, CHANDRA MARTHA HAMZAH (yang dikenal dengan kasus Bibit-Chandra). Tindakan Jaksa Agung RI untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut dilabeli penulis dengan suatu “Lembaga Pengampunan” yang diberikan Undang-Undang kepada Jaksa Agung RI terhadap seseorang yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana, atas dasar atau pertimbangan umum. Hal yang mendasar dan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan penyampingan perkara pidana tersebut adalah bahwa tindakan tersebut semata-mata didasarkan atas pertimbangan kepentingan umum (public interested).
Ukuran untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur kepentingan umum tersebut terdapat di dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu “bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas”. Pada kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah menurut penulis telah terpenuhi, yaitu :
1.      Apabila tindakan itu (mengesampingkan perkara) dilakukan suatu akibat, resiko berupa terhambat atau terkendalanya penyelenggaraan penegakan hukum dapat dicegah/diminimalisir. Sebaliknya, jika kasus tersebut terus dilakukan dan diajukan ke pengadilan maka dapat menghambat program pemerintah sekaligus tuntutan publik yang merupakan kepentingan bangsa, khususnya program pemberantasan tindak pidana korupsi. Khusus perkara pidana korupsi Bibit-Chandra yang saat itu menjabat anggota komisioner dan sekaligus unsur pimpinan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jika keduanya dituntut dan diajukan ke persidangan maka status hukum mereka dari tersangka akan menjadi terdakwa, dan sesuai Pasal 32 (1) huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan korupsi, maka mereka harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Ketiadaan 2 orang pimpinan KPK ditambah 1 orang pimpinan karena masa jabatannya telah habis, maka akan menyisakan 2 orang pimpinan yaitu Haryono Umar dan M. Yasin. Kondisi tersebut (2 orang pimpinan yang seharusnya 5 orang) baik secara managerial maupun psikis akan berdampak negatif yaitu rapuhnya kekuatan KPK sehingga berdampak negatif pada etos kerja KPK dalam pemberantasan tindak korupsi, yang berarti juga kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara menjadi terabaikan.
2.      Bahwa sesuai dengan asas legalitas dan prinsip persamaan kedudukan warga negara di muka hukum, maka ada beberapa pihak yang menghendaki diprosesnya kasus Bibit-Chandra. Namun, atas pertimbangan untuk kepentingan yang lebih luas agar KPK leluasa untuk tetap mempunyai kekuatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, maka Jaksa Agung RI berdasarkan ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 mengeluarkan keputusan yang dinamakan “Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum”.
3.      Apabila program pemberantasan korupsi gagal (meningkatnya kualitas dan kuantitas korupsi) maka akan berpengaruh pada menurunnya kualitas pembangunan nasional yang pada waktu bersamaan akan berpengaruh pada menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia.
BAB II SEPONERING DAN KEWENANGAN PENUNTUTAN
Seponering
Seponering merupakan bentuk pelaksanaan dari asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2005 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Sebagaimana pasal itu yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Yang dapat melakukan hal itu adalah Jaksa Agung dengan memperhatikan saran dan pendapat dari Badan-Badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Kewenangan seponering sudah dimiliki Kejaksaan sejak lama, bahkan di tiga Undang-Undang sebelumnya. Kewenangan ini masih perlu dimiliki oleh Kejaksaan selaku penegak hukum, karena berdasarkan asas diskresi, setiap penegak hukum memang perlu memiliki kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum itu. Namun, meski begitu harus diberi rambu-rambu agar seponering tidak diterbitkan seenaknya. Seponering sebenarnya cukup berguna untuk kasus-kasus tertentu, misal dalam pencurian buah kakao yang dilakukan nenek Minah beberapa waktu lalu. Dalam hal ini seharusnya Jaksa bisa menggunakan kewenangannya untuk mengesampingkan perkara, sehingga tidak menciderai rasa keadilan masyarakat. Seponering juga berguna untuk mengurangi tumpukan perkara yang mampir ke meja pengadilan.
Pada kasus lain, ada Jaksa yang mengeluh karena sebuah kasus tembok tiga bata saja yang bermuara ke Kasasi di Mahkamah Agung. Padahal, polisi atau jaksa sejak awal bisa mengesampingkan perkara ini di tingkat awal. Pihak penyidik (polisi) mungkin dapat berdalih bahwa yang berperkara tidak mau damai sehingga ada faktor kultur yang harus dipertimbangkan, sehingga kewenangan seponering itu tetap perlu dimiliki oleh Kejaksaan.

Kewenangan Diskresi
Salah satu kewenangan Jaksa yang paling penting di Belanda adalah prinsip oportunitas (principle of oppurtunity). Pada dasarnya prinsip oportunitas memungkinkan Jaksa Penuntut Umum untuk memilih menuntut suatu kasus atau tidak. Jaksa bisa mengabaikan penuntutan suatu kasus atas dasar dilakukan pada setiap tingkat perkara pengadilan.
Di Belanda, Jaksa memiliki dua kombinasi kekuasaan utama, yaitu kekuasaan oportunitas dan kekuasaan jaksa untuk menginstruksikan polisi menginvestigasi suatu kasus atau tidak, atau menentukan bentuk kejahatan apa yang harus diinvestigasi sebagai prioritas. Seorang Jaksa Pentuntut Umum di Pengadilan Banding Arnhem (Belanda) menyatakan tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan seponering. Pertama : apakah tersangka akan memperbaiki perilakunya. Kedua : apakah norma-norma hukum yang mendasari suatu tuntutan tindak pidana tertentu akan lebih sering dilanggar kalau tuntutan disisihkan. Ketiga : apakah akan timbul keresahan masyarakat kalau tindak pidana itu dituntut. Semua ini dapat dijawab bukan melihat kasus per kasus secara individual tetapi berdasarkan hasil riset kriminologi.
Diskresi merupakan tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan hati nuraninya, artinya jika melihat kasus seponering yang terjadi dalam kasus Bibit-Chandra, sejarah seponering atau oportunitas tadi, maka dengan alasan demi kepentingan umum, perkara Bibit-Chandra sudah seharusnya di-sepot (menyampingkan atau tidak melanjutkan penuntutan terhadap tersangka karena pertimbangan asas oportunitas).
Seponering perkara Bibit-Chandra dianggap diperlukan mengingat adanya dugaan upaya pelemahan KPK, di mana KPK yang telah dibentuk dengan susah payah yang statusnya berada di depan sebagai motivator atau trigger dalam upaya pemberantasan korupsi perlu diselamatkan dari upaya pelemahan demi kepentingan umum. Dalam hal melaksanakan kewenangannya, Jaksa Agung dapat diyakini bukan karena adanya intervensi dari pihak ataupun lembaga lain, tapi semata-mata demi kepentingan umum, untuk itu pihak lain diharapkan dapat menghormati keputusan seponering yang diambil oleh Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam kasus dugaan suap terhadap dua pimpinan KPK yaitu Bibit-Chandra.
Di beberapa negara penganut asas oportunitas, telah berkembang pengertian penyampingan perkara tidak hanya berdasarkan alasan kepentingan umum, namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi penuntutan. Seperti kutipan Wilcox, menyatakan bahwa pedoman diskresi penuntutan itu harus seimbang dengan kedudukan jaksa yang dominan. Akan tetapi kalau pedoman itu terlalu kaku, diskresi akan berkurang artinya, mengingat bahwa diskresi ini adalah kebebasan menerobos aturan dan dilakukan dengan tidak keluar dari aturan bernalar dan aturan berkeadilan. Dengan diskresi penuntutan akan terbuka kesempatan bagi Jaksa untuk menyaring kasus-kasus pidana lebih efektif sebelum dilakukan penuntutan dengan melakukan penangguhan penuntutan, sehingga pelaku dapat merehabilitir dirinya sendiri.
Menurut penulis (Darmono), apabila kewenangan ini didistribusikan kepada Jaksa Penuntut Umum di Indonesia, niscaya akan lebih dapat dijamin terciptanya asas peradilan pidana secara cepat, sederhana dan biaya ringan yang bertumpu pada keadilan dan sangat didambakan dalam reformasi hukum dan era globalisasi. Diskresi penuntutan ini pada umumnya berkaitan dengan upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP.
Di Amerika, para jaksa tidak mengenal asas oportunitas, namun mengenal plea bargaining yang menentukan jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan adanya pengakuan terdakwa. Para jaksa di Amerika hampir otonom dalam melaksanakan wewenang diskresi sejak awal penyidikan sampai pada pasca persidangan. Keputusan untuk menuntut atau tidak, hampir bebas sepenuhnya dari orang-orang atau badan lain. Para jaksa Amerika dapat menghentikan penuntutan atau berkompromi (plea bargaining). Terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum persidangan di mulai, jika jaksa setuju maka ia dapat mengurangi dakwaan atau memberi rekomendasi kepada pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih ringan.
Dengan demikian di beberapa negara penganut asas oportunitas telah berkembang pengertian penyampingan perkara, tidak hanya berdasar atas alasan kepentingan umum, namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi penuntutan. Diskresi penuntutan ini sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda yang ternyata menganut asas oportunitas sebagaimana dianut Belanda.
Jikalau wewenang untuk mengesampingkan perkara diambil Jaksa Agung Indonesia, maka para Jaksa itu akan memiliki wewenang untuk menghentikan penuntutan hanya dengan alasan teknis sesuai yang tertera dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP, yaitu : tidak cukup bukti-buktinya; peristiwanya bukan tindak pidana; dan perkara ditutup demi hukum, misalnya : tersangkanya meninggal dunia, atau perkaranya kadaluarsa, atau perkaranya sudah diputus oleh pengadilan (ne bis in idem).
Kepentingan Umum
Berkaitan dengan asas oportunitas, diambil kesimpulan bahwa kepentingan umum identik dengan kepentingan negara. Penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung sampai sekarang ini adalah sangat insidentil sekali. Pada umumnya semua perkara kejahatan adalah dituntut ke muka pengadilan jika cukup buktinya.
Kepentingan umum dalam negara hukum mempunyai dua peranan penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan peranan pasif. Dalam peranan yang aktif, kepentingan umum menuntut eksistensi daripada hukum dan sebagai dasar menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat dicapai. Jadi peranan aktif kepentingan umum dalam hal ini adalah mengenai cita-cita hukum. Di Indonesia cita-cita hukumnya diwujudkan oleh pokok-pokok pikiran dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kepentingan umum memiliki peranan pasif apabila dijadikan obyek pengaturan daripada peraturan hukum. Sehubungan dengan itu maka kepentingan umum dapat dilihat dari sudut peraturan perundangan dan menurut hukum adat.
Secara teorities dapat dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan resultante hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dengan menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan umum. Secara praktis dan kongkres akhirnya diserahkan kepada hakim untuk menimbang-nimbang kepentingan mana yang lebih utama dari kepentingan yang lain secara proporsional dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan yang lain.
Berbagai Pertimbangan Dalam Tindakan Hukum / Kebijakan Penghentian Penyidikan / Penghentian Penuntutan Kasus Korupsi antara lain :
a.       Pertimbangan penghentian penyidikan
Penghentikan penyidikan perkara tindak pidana korupsi di samping didasarkan atas faktor-faktor yuridis juga dimungkinkan terjadi karena dorongan hal-hal antara lain :
Faktor Yuridis
-          Pasal dari Undang-Undang tindak pidana korupsi yang disangkakan tidak sesuai dengan fakta perbuatan yang terjadi dalam kasus tersebut, sehingga berakibat tidak dipenuhi secara mutlak minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat 1 KUHAP, yang bunyinya “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara yang satu dengan yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
-          Perbuatan yang dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dikategorikan pada korupsi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, tetapi perbuatan tersebut masih termasuk dalam ruang lingkup wilayah hukum perdata atau wilayah hukum lainnya.
-          Tempus delicti perbuatan korupsi telah lewat waktu (kadaluarsa), tidak mampu bertanggung jawab, meninggal dunia, nebis in idem dan perbuatan tersebut bukan tindak pidana tetapi perdata.
Non Yuridis :
-          Aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan belum mempunyai kualitas profesional yang handal karena tak mampu menggali fakta-fakta hukum dengan baik untuk mengkaitkan hubungan antara peran seseorang dengan tindak pidana yang terjadi.
-          Adanya intervensi eksternal baik langsung/tidak langsung (secara yuridis sulit dibuktikan, tetapi ada terjadi), hal ini terjadi bila korupsi tersebut dilakukan oleh aparat negara yang menduduki posisi strategis dan berpengaruh dalam masyarakat/pemerintahan, sehingga lingkungan di sekitarnya akan berusaha dengan segala cara agar perbuatan korupsi tersebut tidak terungkap dan ditangani oleh aparat Gakkum; biasanya kondisi ini erat kaitannya dengan suatu rezim yang berkuasa.
-          Penyidik/aparat penegak hukum yang tidak jujur, artinya penyidik tersebut tidak melaksanakan tugasnya selaku penyidik sebagaimana mestinya, antara lain perkara yang agak samar-samar pembuktiannya sebenarnya kalau betul-betul ditangani secara profesional akan terpenuhinya semua unsur tindak pidana korupsi yang disangkakan, tetapi karena ada intervensi mungkin janji sesuatu jasa dari pihak tersangka baik langsung atau tidak langsung (secara yuridis sulit dibuktikan, tetapi itu ada terjadi), maka kemudian pembuktian yang samar-samar tersebut makin disamarkan, dan hal ini mendorong sebagai upaya pembenaran penyidik untuk melakukan tindakan penghentian penyidikan.
b.      Berbagai kebijakan / tindakan “Tidak Melakukan Penuntutan” oleh Penuntut Umum
-          Mekanisme struktural : melalui mekanisme pasal 140 (2) KUHAP dan pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 tahun 2004 tentang penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum sebagai pelaksanaan asas oportunitas yang dilakukan oleh Jaksa Agung.
-          Mekanisme non struktural : melalui hak prerogatif Presiden yang meliputi amnesti, abolisi. Memang dalam KUHAP tidak dikenal istilah penghentian pentuntutan non struktural ini, namun dalam praktek kebijakan tidak menuntut perkara dimungkinkan dilakukan melalui penerapan hak prerogatif Presiden, atas dasar pertimbangan politik dan kebijakan kepentingan negara.
Indonesia menganut asas legalitas yang lebih mengutamakan pemberlakuan norma-norma formal (hukum tertulis), dan secara umum asas legalitas mengandung pengertian dan prinsip-prinsip :
*      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan diatur oleh Undang-Undang.
*      Undang-Undang menentukan adanya asas tidak boleh digunakan analogi (qiyas).
*      Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut.
Muladi (Kumpulan Tulisan tentang RUU KUHP), mengatakan bahwa dalam penerapan asas legalitas terdapat empat larangan yaitu :
*      Larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis.
*      Larangan untuk melakukan analogy.
*      Larangan terhadap pemberlakukan pidana secara surut.
*      Larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas.
Menurut penulis (Darmono), penanganan kasus korupsi di Indonesia belum maksimal dikarenakan kurang matangnya penanganan tahap awal (penyelidikan dan penyidikan) sehingga hasil penyidikan tidak maksimal sehingga pada saat penuntutan mudah dipatahkan dan disanggah oleh terdakwa, lebih-lebih integritas aparat penegak hukum termasuk hakim belum sepenuhnya terpuji sehingga berpotensi untuk memanfaatkan kelemahan sekecil apapun dari peluang yang ada. Oleh karena itu, kegiatan penyelidikan merupakan bagian dari penyidikan maka seyogyanya secara formal tidak perlu dicantumkan dalam perumusan KUHAP ke depan, karena pada dasarnya tujuan akhir penyelidikan dan penyidikan adalah sama yaitu untuk menemukan bukti-bukti terjadinya tindak pidana dan menemukan bukti-bukti terjadinya tindak pidana dan menemukan adanya tersangka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam praktek sekarang mekanisme penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik yang berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) ada dan berpotensi untuk disalah-gunakan tujuannya, sehingga bila perkara tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan perkara sulit untuk dipenuhi adanya bukti awal yang cukup sehingga perkara tak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dalam tahap penyidikan tidak memenuhi unsur tindak pidana yang disangkakan, akibatnya perkara korupsi tersebut dihentikan penyidikannya atau bila dilimpahkan ke pangadilan akan berakibat adanya putusan bebas/dilepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini tentu berakibat dapat merugikan tujuan pemberantasan korupsi.
Pelaksanaan asas oportunitas akan mengalami kesulitan karena alasan demi kepentingan umum mengandung makna yang luas, oleh karena itu agar pelaksanaannya tidak mengalami hambatan, dapat dibentuk suatu Badan/Komisi yang sifatnya permanen dengan anggota terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat (yang mewakili semua kepentingan) bertanggung jawab langsung kepada Presiden cq. Jaksa Agung.
BAB III  BEDAH KASUS SEPONERING ATAS TERSANGKA BIBIT SAMAD RIANTO – CHANDRA M. HAMZAH
Perkara pidana dapat berhenti pada semua tahap pemeriksaan baik pada tingkat penyelidikan, tingkat penyidikan, penuntutan bahkan sampai pada tahap pemeriksaan di muka persidangan dimungkinkan pemeriksaan suatu kasus pidana akan berhenti atau dihentikan. Penghentian suatu proses perkara pidana hakekatnya adalah bagian dari sistem dalam kerangka Criminal Justice Process. Secara keseluruhan ada 5 jenis tindakan hukum untuk menghentikan proses penanganan perkara pidana sesuai dengan tahapannya yaitu :
1.      Penghentian Penyelidikan (untuk tahap penyelidikan);
2.      Penghentian Penyidikan (untuk tahap penyidikan);
3.      Penghentian Penuntutan (untuk tahap penuntutan);
4.      Pengesampingan perkara demi kepentingan umum (untuk tahap penuntutan);
5.      Penutupan / menutup perkara demi hukum (untuk tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan bahkan setelah dalam proses pemeriksaan di persidangan dimungkinkan perkara tidak dilanjutkan prosesnya apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76-78 KUHP).
Dalam kasus Bibit-Chandra, sesuai pasal 1 angka 6, Pasal 270 KUHAP dan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, serta mendasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka secara hukum Jaksa atau Kejaksaan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan putusan pengadilan, namun tindakan hukum Kejaksaan (Jaksa) di dalam menangani dan menyelesaikan kasus tersebut tidak seperti yang disebutkan dalam amar putusan pengadilan pada perkara in casu, tetapi tetap dalam kerangka hukum berdasarkan ketentuan perundang-undangan  yang berlaku, dengan analisa dan pertimbangan-pertimbangan hukum yang pada intinya dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Bahwa apabila perkara dilimpahkan ke Pengadilan maka status hukum para tersangka akan berubah dari terdakwa atau selaku pimpinan KPK akan diberhentikan sementara dari jabatannya, dan dengan diberhentikan sementara 2 pimpinan KPK dari jabatannya akan berdampak pada kinerja KPK sehingga secara manajerian dan psikis kelembagaan serta secara teknis akan mendorong lemahnya etos kerja KPK dan memperlemah kepercayaan masyarakat kepada KPK sebagai triger mechanism pemberantas korupsi di Indonesia, yang pada akhirnya akan memperlemah program dan agenda nasional Bangsa Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.      Bahwa dalam masalah penuntutan perkara pidana, di dunia dikenal 2 asas yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas pada pokoknya menyatakan Jaksa berwenang melakukan penuntutan setiap pelanggaran hukum pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan asas oportunitas pada pokoknya menentukan bahwa Jaksa mempunyai wewenang untuk tidak melakukan penuntutan atas terjadinya suatu tindak pidana atas dasar pertimbangan kepentingan umum. Indonesia menganut asas oportunitas sebagaimana diatur dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
3.      Bahwa dengan mempertimbangkan segala aspek kepentingan yang lebih luas dan lebih besar bagi Bangsa dan Negara yaitu untuk percepatan dan keberhasilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang paling tepat bilamana kebijakan yang harus diambil dalam menyelesaikan perkara Bibit-Chandra adalah dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum.
4.      Bahwa tindakan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum selain merupakan kewenangan Jaksa Agung RI sesuai pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, pada hakekatnya juga merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Nomor : 152PK/PIDANA/2010tanggal7Oktober2010.
5.      Bahwa sesuai dengan penjelasan pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 th. 2004 tentang Kejaksaan RI, keputusan mengesampingkan perkaran demi kepentingan umum dapat dilakukan Jaksa Agung RI setelah memperhatikan saran dan pendapat dari Badan-Badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Mengenai status hukum tersangka yang kasusnya telah di seponering, masih menjadi multi tafsir. Sebagian ada yang mempunyai pandangan bahwa status hukum seorang tersangka yang perkaranya dikesampingkan adalah ‘tersangka’ baginya masih tetap melekat (tidak hilang). Alasannya tindakan hukum mengesampingkan perkara berbeda dengan menghentikan (penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan). Karena dikesampingkan berarti sewaktu-waktu dapat diangkat kembali yaitu tersangka dituntut atau diajukan ke pengadilan.
Namun, penulis punya pandangan yang berbeda. Darmono menegaskan bahwa status hukum atau kedudukan hukum seorang tersangka yang perkaranya telah dilakukan pengesampingan perkara demi kepentingan umum, dengan sendirinya status hukum sebagai tersangka menjadi berakhir dan hilang dengan sendirinya. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa tidak ada ketentuan di dalam Undang-Undang apapun termasuk Undang-Undang no. 16 th. 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyatakan keberatan, dan membatalkan atau melakukan gugatan atas kebijakan atau keputusan Jaksa Agung RI berupa penghentian perkara demi kepentingan umum tersebut.
Namun demikian, secara persepektif tindakan hukum Jaksa Agung RI untuk mencabut kembali atas ketetapan seponering ini sangat kecil kemungkinan terjadi atau dilakukan oleh Jaksa Agung RI, karena :
*      Tindakan pencabutan kembali atas ketetapan (pengesampingan perkara demi kepentingan umum) akan bertentangan dengan salah satu prinsip dalam penegakkan hukum yaitu adanya kepastian hukum disamping prinsip kebenaran dan keadilan.
*      Tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh Jaksa Agung RI berupa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atas nama Bibit-Chandra tersebut dilakukan dengan telah mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis.

Terkait dengan status hukum seorang tersangka yang perkaranya dikeluarkan ketetapan Jaksa Agung RI berupa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut, yang selalu menjadi perdebatan atau perbedaan pandangan adalah mengenai kriteria Kepentingan Umum. Di sini kepentingan umum dimaknai sebagai kepentingan yang lebih besar dan lebih strategis jika dibandingkan apabila Jaksa Agung RI mengambil keputusan lain selain pengesampingan perkara seperti yang dimaksud, yaitu dengan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan. J J J