Pemerintah dan DPR RI kali ini membuat sebuah terobosan yang menarik bagi pribadi saya (yang belum tentu mewakili banyak orang) setelah saya membuka situs www.dpr.go.id yang dikelola DPR RI pada konten
“Undang-Undang dan RUU”. Setelah saya menemukan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 104) yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Karena saya terlambat dengan informasi ini, cepat-cepat
saya mencari informasi terkait undang-undang tersebut dengan menggunakan
search engine google. Ternyata, saya menemukan informasi penolakan Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Undang-Undang Bantuan Hukum (KUBAH) atas
Penyelenggaraan Bantuan Hukum dibawah Kementrian Hukum dan HAM.
Penolakan tersebut memang baik, tapi menurut saya, KUBAH
diharapkan memberikan apresiasi kepada Pemerintah dan DPR RI, karena
dengan adanya UU No.16 Tahun 2011, “Bantuan Hukum” tidak lagi menjadi
monopoli advokat.
Sebelum
dikeluarkan UU No.16 Tahun 2011, penyelenggaraan “Bantuan Hukum”
sepenuhnya menjadi domain kelompok masyarakat independen yang bernama
Advokat (organisasi advokat), baik advokat yang bekerja dalam law firm-law firm maupun yang bekerja di LBH-LBH
seperti yang tergabung dalam KUBAH, seperti YLBHI, LBH Jakarta, LBH
Bandung, LBH Semarang, LBH Yogya, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Makasar,
LBH Manado, LBH Papua, dan lain-lainnya. Dalam hal ini, pemerintah tidak
sama sekali mengatur dan mengatur penyelenggaraan “Bantuan Hukum” yang
diselenggarakan oleh Advokat. Karena penyelenggaraan “Bantuan Hukum”
sepenuhnya menjadi dominan advokat sebagaimana yang diatur dalam UU No.
18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Bahkan untuk memperkuat posisi advokat
dalam penyelenggaraan “Bantuan Hukum” diperkuat dengan PP No.83 Tahun
2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara
Cuma-Cuma, dan SE MARI No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum.
Lalu
saya bertanya-tanya, kalau sudah ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan “Bantuan Hukum”, mengapa Pemerintah dan DPR RI
masih mengeluarkan UU No.16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum? Apakah
Pemerintah dan DPR RI tidak bermaksud mengatakan, bahwa organisasi
advokat dan KUBAH gagal melaksanakan “Bantuan Hukum” bagi orang yang
tidak mampu sebagaimana yang diamanatkan UU Advokat, sehingga Pemerintah
dan DPR RI “terpaksa” mengeluarkan UU No.16 Tahun 2011. Apakah
semata-mata karena alasan pemerintah terlalu dominan dalam mengatur
penyelenggaraan “Bantuan Hukum” sehingga KUBAH memaksa untuk dilakukan
Deadlock pada saat pembahasan RUU Bantuan Hukum?
Kalau kita menyimak kembali Pasal 6 Ayat (2) UU No.16 Tahun 2011 dan Penjelasannya, kita akan menemukan titik terangnya. Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan: “Pemberian
Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh
Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan
Undang-Undang ini”. Dalam Penjelasan Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan: “Ketentuan
ini tidak mengurangi kewajiban profesi Advokat untuk menyelenggarakan
Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang mengenai Advokat”. Artinya,
Pemerintah sepertinya harus terlibat dalam penyelenggaraan “Bantuan
Hukum” bagi orang yang tidak mampu tanpa mengurangi peranan advokat
dalam penyelenggaraan “Bantuan Hukum” yang diselenggarakan oleh Advokat
berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003.
Pasal
22 UU No.18/2003 menetapkan, Advokat wajib memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (Ayat 1).
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum
secara cuma-cuma diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Ayat
2). Adapun peraturan pemerintah yang dimaksud adalah PP No.83 Tahun 2008
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara
Cuma-Cuma. Dengan ketentuan Ayat (2) ini, ternyata para
pembuat UU Advokat sebenarnya masih memberikan sepenuhnya pengaturan
penyelengaraan bantuan hukum kepada pemerintah. Seharusnya ketentuan
Ayat (2) ini tidak perlu ada karena kewajiban memberikan bantuan
cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu merupakan bagian yang melekat
pada diri setiap orang yang mempunyai profesi sebagai advokat dan hal
ini tidak perlu minta bantuan kepada pemerintah untuk di atur.
Anehnya,
dalam UU Advokat dan PP No.83 Tahun 2008 tidak mengatur sama sekali
ketentuan sanksi pidana maupun denda yang tujuannya menjamin advokat
melaksanakan kewajibannya bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu. Kalau advokat tidak melaksanakan kewajibannya
memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma, advokat tersebut hanya diberikan
sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) PP No.83 Tahun 2008, yaitu: (1)
teguran lisan; (2) teguran tertulis; (3) pemberhentian sementara dari
profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan
berturut-turut; atau (4). pemberhentian tetap dari profesinya. Selain itu, sanksi administratif tersebut hanya bisa dilakukan organisasi advokat berdasarkan Kode Etik Advokat.
Pasal 4 Huruf f Kode Etik Advokat menyebutkan, Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan
perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima
uang jasa. Dengan adanya katanya “harus” maka ukuran normanya adalah moral.
Artinya memberikan bantuan Cuma-Cuma bukanlah kewajiban setiap advokat
melainkan tuntutan moral dari setiap advokat. Dengan demikian, advokat
tidak bisa diberikan sanksi lantaran tidak melaksanakan “keharusan”
tersebut, kecuali ketika advokat melaksanakan “keharusan” tersebut
terbukti meminta uang jasa kepada klien yang tidak mampu. Kalaupun
terbukti, sifat sanksinya adalah administratif dan pemerintah tidak bisa
melakukan intervensi pada setiap putusan sanksi administratif yang
dilakukan oleh organisasi advokat.
Sifat
dari moral bantuan hukum Cuma-Cuma tersebut diperkuat dengan Pasal 3
huruf A Kode Etik Advokat, bahwa Advokat dapat menolak untuk memberi
nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan
atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya,
tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama,
kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan
kedudukan sosialnya. Bisa saja seorang advokat menolak memberikan
bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dengan
pertimbangan “bertentangan dengan hati nuraninya” atau “tidak sesuai dengan keahliannya”.
Misalnya, ada orang yang tidak mampu ingin mengajukan gugatan
malpraktek. Orang tersebut datang kepada advokat dan advokat tidak
sanggup memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma lantaran banyak perkara yang
harus ditangani atau tidak sesuai dengan keahliannya. Akhirnya orang
yang tidak mampu itu datang ke Posbankum Pengadilan, ternyata Advokat
Piket tidak ada di Posbankum.
Contoh
kasus tersebut sudah sering banyak terjadi, sehingga dalam Penjelasan
UU No.16 Tahun 2011 mengatakan, Hak atas Bantuan Hukum telah diterima
secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin
semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus
dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3)
ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.
Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak
menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan
untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka
untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai
pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan
terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin. Atas
dasar ketentuan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
dan situasi bantuan hukum yang terjadi saat ini, dibuatlah UU No.16
Tahun 2011.
Dalam
UU No.16 Tahun 2011, Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum
atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum
berdasarkan Undang-Undang ini. Syarat-syarat lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum yang dapat
disebut sebagai Pemberi Bantuan hukum adalah: (a). berbadan hukum;
(b). terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini; (c). memiliki kantor
atau sekretariat yang tetap; (d). memiliki pengurus; dan (e). memiliki
program Bantuan Hukum. Lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang belum memenuhi persyaratan tersebut di atas tetap
dapat memberikan Bantuan Hukum selama Lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan tersebut mempunyai advokat berdasarkan UU
Advokat.
Selanjutnya,
siapakah “Penerima Bantuan Hukum”? Menurut Pasal 1 angka 2 UU
No.16/2011, Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang
miskin. Pasal 5 UU No.16/2011 menegaskan, Penerima Bantuan Hukum yang
menghadapi masalah hukum adalah setiap orang atau kelompok orang miskin
yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Dengan ketentuan ini, orang miskin atau tidak mampu dalam perkara
perceraian atau masalah harta warisan tidak berhak menerima Bantuan
Hukum dari Pemberi Bantuan Hukum, karena perkara perceraian atau masalah
harta warisan tidak termasuk dalam perkara-perkara yang berkaitan
dengan pemenuhan hak-hak dasar secara layak dan mandiri.
Menurut
UU No.16/2011, Bantuan Hukum meliputi masalah hukum keperdataan,
pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Bantuan
Hukum yang dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan meliputi menjalankan kuasa,
mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum, termasuk mengeluarkan
pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dengan
demikian, Bantuan Hukum kepada orang miskin atau tidak mampu dalam
rangka memenuhi hak-hak dasar dan layak tidak lagi menjadi monopoli
advokat. Namun ketiadaan monopoli ini bukan berarti meniadakan peranan
advokat menyelenggarakan bantuan hukum. Keberadaan UU No.16/2011 ini
justru memperkuat keberadaaan advokat karena setiap orang atau kelompok
masyarakat akhirnya bisa mendirikan Lembaga Bantuan Hukum atau
Organisasi Kemasyarakatan dalam rangka memberikan Bantuan Hukum atau
melakukan advokasi kepada orang miskin atau tidak mampu dalam rangka
memenuhi hak-hak dasar dan layak sampai sidang pengadilan.
OLEH : Eusebius Purwadi
Kompasiana : http://hukum.kompasiana.com/2012/05/27/%E2%80%9Cbantuan-hukum%E2%80%9D-bukan-lagi-monopoli-advokat/