Total Tayangan Halaman

Jumat, 13 Juli 2012

Kenapa Sih Harus Bershalawat

1. Memperoleh curahan rahmat dan kebajikan dari pada Allah Swt.;
2. Menghasilkan kebaikan, meninggikan derajat dan menghapuskan kejahatan;
3. Memperoleh pengakuan kesempurnaan iman, apabila kita membacanya 100 Kali;
4. Menjauhkan kerugian, penyesalan dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang shalih;
5. Mendekatkan diri kepada Allah;
6. Memperoleh pahala seperti pahala memerdekakan budak;
7. Menghasilkan syafa'at;
8. Memperoleh penyertaan dari Malaikat rahmah;
9. Memperoleh hubungan yang rapat dengan Nabi; Seseorang yang bershashalawat dan bersalam kepada Nabi, shalawat dan salamnya itu disampaikan kepada Nabi;
10. Membuka kesempatan berbicara dengan Nabi Saw.;
11. Menghilangkan kesusahan, kegundahan dan meluaskan rezeki;
12. Melapangkan dada. Apabila seseorang membaca shalawat 100 kali, maka Allah akan melapangkan dadanya dan memberikan penerangan yang sinar seminarnya ke dalam hatinya;
13. Menghapuskan dosa. Apabila seseorang membaca dengan tetap tiga kali setiap hari, maka Allah akan menghapuskan dosanya;
14. Menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak sanggup bershadaqah;
15. Melipatgandakan pahala yang diperoleh. Apabila seseorang bershalawat di hari Jumat, maka Tuhan akan memberikan kepadanya pahala yang berlipat ganda;
16. Mendekatkan kedudukan kepada Rasulullah di hari qiamat. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah.
17. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah;
18. Melepaskan diri dari kebingungan di hari qiamat. Apabila seseorang meninggalkan shalawat kepada Nabi, maka ia akan menghadapi kebingungan dan kekacauan di hari mahsyar;

TIGA TIPE PEMIMPIN

Tiga tipe pemimpin menurut asalnya yaitu :
a. Pemimpin yang dilahirkan 
b. Pemimpin yang dibentuk
c. Pemimpin yang ditunjuk

PEMIMPIN YANG DILAHIRKAN, adalah pemimpin yang memang punya bakat alami sebagai pemimpin. Dia tidak perlu dibentuk, tanpa didikan khusus dan tanpa perlu penunjukan oleh manusia lainnya untuk menjadi pemimpin. Contoh Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Walaupun beliau terlahir dari keluarga miskin, dan terlalhir sebagai anak yatim lalu kemudian jadi yatim piatu, dan beliau tidak menempuh pendidikan khusus kepemimpinan, namun beliau terbukti menjadi pemimpin alami yang sukses. Hanya ada sedikit pemimpin tipe ini. namun pengaruhnya sangat besar dalam sejarah. Contoh lain : Nabi Isa ibnu Maryam alaihissalam, Nabi Musa alaihissalam, Hitler, Soekarno, Soeharto, Lincoln, Bill Gates dan lain-lain.

PEMIMPIN YANG DIBENTUK, yaitu pemimpin yang dibentuk oleh sistem dan pendidikan. Ketika memimpin, tidak menimbulkan pembaharuan yang signifikan. Mereka memiliki kemampuan yang cukup mumpuni dalam memimpin, tapi efek kepemimpinannya tidak begitu berpengaruh dalam sejarah. Contoh : Para perwira tentara, para pemimpin hasil pendidikan, para manager karir dan lain-lain.


PEMIMPIN YANG DITUNJUK, yaitu pemimpin yang mendapat kedudukannya karena hasil tunjukan. Misalnya Para komandan pasukan, para pejabat karir PNS, para ketua RT/RW, dll. Ciri khusus dari pemimpin tipe ini adalah ada pada kemampuan kepemimpinannya yang relatif rendah, sangat miskin kreativitas, kurang berani membuat gebrakan/inovasi baru, dan tanggung jawab yang sering kali hanya sebatas formalitas.

FAQ : 
1. Termasuk tipe manakah para raja, sultan, kaisar dan sebagainya?
Jawaban : Termasuk tipe pemimpin yang ditunjuk. Lalu jika mereka mendapat pendidikan kepemimpinan dan berhasil memiliki kemampuan kepemimpinan yang mumpuni maka mereka masuk tipe pemimpin yang dibentuk. Dan Jika mereka mampu membuat gebrakan besar dalam sejarah maka mereka masuk tipe pemimpin yang dilahirkan. Contoh Hayam Wuruk, Genkhis Khan, Iskandar Zulkarnaen, Khalid bin Walid, Umar bin Khattab, dan lain-lain.

Senin, 09 Juli 2012

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON PERORANGAN PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON PERORANGAN PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON PERORANGAN PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP
 UNDANG-UNDANG DASAR 1945



A.    Latar Belakang Masalah   
Salah satu prinsip yang penting di dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Kosntitusi yaitu sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi yang sedang diusung dan diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa Indonesia.
Disamping itu, keberadaan Mahkamah Konsitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan antara lain oleh adanya berbagai pendapat dan pandangan serta tafsir ganda terhadap konstitusi. [1]
Dalam ketentuan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa, Mahkamah Kosntitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Salah satu tugas dan kewenangan Mahkamah Kosntitusi seperti tersebut di atas yang memiliki daya tarik dan perhatian masyarakat secara luas adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengujian Undang-Undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan antara istilah judicial review dan judicial preview[2]. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view[3]. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.
Sehubungan dengan pemberian kewenangan pada Mahkamah Kosntitusi tersebut, DPR dan Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Kosntitusi. Undang-Undang ini pada intinya mengatur tentang kewenangan yang besar dan sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara, antara lain melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; menyelesaikan perselisihan kewenangan antara lembaga negara; memutuskan pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pembentukan Mahkamah Kosntitusi dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan kaum reformis dalam mereformasi hukum di Indonesia. Dengan terbentuknya Mahkamah Kosntitusi ini diharapkan dapat terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik.  Mengutip, Ahmad Syahrizal, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Kosntitusi[4], yaitu:
1.      Paham Konstitusionalisme
Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya  pembatasan kekuasaan. Paham ini  memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
2.      Sebagai Mekanisme Check and Balances
Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka sistem kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.
3.      Penyelenggaraan Negara yang Bersih
Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.
4.      Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap HAM.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi maka subyek hukum mempunyai akses untuk mengjukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam pengujian tersebut subyek hukum dalam hal ini pemohon harus mempunyai kedudukan hukum Legal Standing agar dapat mengajukan permohonannya tersebut.[5]
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara. Sedangkan pada Ayat (2) digariskan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Adapun penjelasan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang ini mengemukakan, yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Merujuk pada redaksional Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi akan memetakan beberapa unsur penting dari kedudukan hukum Legal Standingpemohon.
Pertama, unsur "hak dan/ atau kewenangan konstitusional". Hak dan kewenangan konstitusional adalah hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi sehingga harus merupakan hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 . Hal ini hampir secara aklamasi diterima oleh setiap pemikir hukum.
Kedua, unsur kata "menganggap". Kata ini melahirkan dua jenis arti yang berangkat dari ranah pemikiran yang juga berbeda. Dari sisi gramatikal, kata ini beraliran subyektif. Karena itu, tiap orang yang menganggap dirinya dirugikan merasa berhak mengajukan permohonan oleh perasaan yang dirugikan itu sehingga dapat mengajukan permohonan. Sementara dari penafsiran hukum, kata ini bukan diartikan dalam bingkai subyektivitas, tetapi include di dalamnya keharusan untuk membuktikannya sehingga kata-kata yang lebih tepat adalah "mendalilkan".
Ketiga, unsur kata "dirugikan". Ini unsur penting karena merasa dirugikan, subyek hukum merasa berkepentingan. zonder belang, het is geen rechtsingang. Kepentingan ini lahir karena adanya kerugian tadi sehingga ia harus merupakan kerugian yang telah aktual dan bukan sekadar potensial. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengajukan permohonan perkara jika hanya bersandarkan pada adanya peluang untuk dirugikan. Namun, dari hal ini muncul peluang perbedaan pendapat tentang batasan peluang dirugikan. Ada perbedaan dalam memahami manakah yang merupakan kerugian potensial dan manakah yang merupakan kerugian aktual.
Keempat, harus ada causal verband, hubungan sebab akibat yang jelas untuk memperlihatkan hubungan antara keberlakuan Undang-Undang dan kerugian yang pemohon derita.
Kemudian terlepas dari unsur-unsur tersebut diatas ketentuan dari Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, pemohon yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan maka dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Makhamah Konstitusi.
Permasalahan kemudian adalah pada kalimat dan/ atau, dimana kalimat ini bermakna komulatif alternatif atinya seorang pemohon (pemohon perorangan)  apakah dalam kedudukan hukum sebagai pemohon perorangan yang berkulaitas sebagai subyek hukum yang haknya dirugikan dengan berlakunya suatu Undang-Undang, ataukah subyek hukum yang kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya suatu Undang-Undang.  Hal inilah yang mendasari adanya sebagian dari putusan Mahkamah Kosntitusi yang menyatakan suatu permohonan (pemohon perorangan) dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan tidak dapat diterima NO (Niet Ontvankelijke Verklaard)[6] yang dikarenakan subyek hukum tidak mampu menguraikan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa permasalahan pemenuhan kedudukan hukum merupakan hal yang sangat penting dalam mengantarakan seorang subyek hukum untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi.
B.     Rumusan Masalah 
            Berdasarakan uraian latar belakang masalah yang ada, maka dalam penulisan skripsi ini akan di angkat permasalahan yaitu :
Bagaimanakah kedudukan hukum  Legal Standing  pemohon perorangan pada pengujian Undang-Undang Terhadap Undang–Undang Dasar 1945, oleh Mahkamah Kosntitusi.
C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Tujuan Khusus ;
Untuk mengetahui kedudukan hukum  Legal Standing pemohon perorangan pada pengujin Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, oleh Mahkakamah Konstitusi.
2. Tujuan Umum
Untuk memperluas dan mengembangkan wawasan pengetahuan, serta memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan karya ilmiah hukum  sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.
D.    Manfaat Penulisan
Penulisan karya ilmiah selain mempunyai tujuan yang jelas, juga diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut ;
1. Manfaat Teoritis
a.    Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum serta dapat menambah informasi yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut.
b.    Diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.
2. Manfaat Praktis
a.    Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi penulis.
b.    Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak terkait mengenai penafsiran dalam pemenuhan kedudukan hukum permohonan perorangan pada pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar 1945, oleh Mahkamah Kosntitusi
c.    Bagi penulis merupakan pengalaman awal yang sangat berharga dalam penulisan karya ilmiah.
E. Kerangka Teori
Dalam perkara pengujian undang- undang,  “kedudukan hukum"[7] lasim dibahasankan sebgai legal standing  atau hak untuk mengajukan  suatu gugatan, merupakan hal yang mendasari pembenaran pemohon dalam  mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke hadapan Mahkamah Kosntitusi, sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkmah Konstitusi.
Pengertian Legal Standing dalam hukum acara pengujian Undang-Undang pada Mahkamah Kosntitusi adalah kemampuan subyek hukum untuk memenuhi persyaratan menurut Undang-Undang untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap konstitusi kepada Mahkamah Kosntitusi.[8] Syarat yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki Legal Standing adalah :
a.       Kualifikasi pemohon sebagaimana ditentukan Undang-Undang Mahkamah Kosntitusi (syarat formal), yaitu sebagai (a) Perorangan Warga Negara Indonesia; (b) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Sepanjang Masih Hidup Dan Sesuai Dengan Perkembangan Masyarakat Dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Diatur Dalam Undang-Undang; (c) Badan Hukum Publik Atau Privat; atau (d) Lembaga Negara. 
b.      Terdapat hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang (syarat materil)
Kerugian konstitusional terjadi apabila hak-hak yang dijamin oleh Undang-Undang dasar 1945 tersebut ternyata dikurangi, dibatasi atau menjadi tidak dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Hakim Mahkamah Kosntitusi memberikan lima syarat terhadap pengertian kerugian konstitusional, yaitu :
a.       Adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang dasar 1945 ;
b.      Hak dan/ atau kewenangan tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ;
c.       Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi ;
d.      Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ;
e.       Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya pemohon maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan persyaratan tersebut, pemohon harus terlebih dahulu menguraikan hak-hak konstitusional pemohon yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Apa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam Undang-Undang dasar 1945. Tanpa menyebutkan dan menguraikan hak-hak kosntitusional pemohon maka unsur kerugian konstitusional tidak akan terpnuhi, yang menyebabkan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum Legal Standing.
Selanjutnya pemohon harus menguraikan bahwa hak dan atau keweanangan konstitusional pemohon tersebut dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Pemohon sebelum mengajukan permohonan juga memastikan bahwa terhadap kerugian konstitusionalnya memang tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh kecuali dengan permohonan (constitusional review) kepada Mahkamah Kosntitusi. Pemohon juga diharapkan dapat memahami resiko dibalik pembuatan Undang-Undang dan bagian atau Pasal yang dimohonkannya, untuk dapat merumuskan secara lebih baik akan kerugian konstitusional yang dialaminya. Kerugian yang dialami pemohon harus bersifat spesifik (khusus)  dan aktual atau sudah eksis.
Namun demikian, apabila kerugian tersebut belum terjadi, akan tetapi dengan suatu penalaran yang wajar dapat diperkirakan kerugian konstitusional tersebut potensial akan terjadi, maka hal itu dapat diterima[9]. Didalam merumuskan permohonan, setelah menguraikan adanya hak konstitusional yang diberikan dan kerugian yang dialami, wajib dipehatikan bahwa antara keduanya mutlak harus ada hubungan sebab-akibat (causal verband) mungkin saja terjadi, pemohon memang benar memiliki hak dan atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang dasar 1945 dan pemohon juga mengalami kerugian, namun kerugian tersebut tidak ada hubungan sebab-akibat dengan  berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan, sehingga permohonannya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Kosntitusi.
Pasal 24 c Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan pasa 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan tegas memberikan kewenangan kepada Mahkamah Kosntitusi untuk “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar”. Dimana pada umumnya pengujian Undang-Undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan) Undang-Undang  yang dianggap inkonstitusional oleh pemohon.
Dalam Pasal 51 Ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasasr 1945 untuk  menguraikan dengan jelas materi muatan dalam Ayat, Pasal, dan/ atau bagian dari Undang-Undang yang dianggapnya bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945. Pemenuhan terhadap ketentuan Pasal 51 Ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusimenjadi wajib sebab, menurut Pasal 56 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Kosntitusi, jika mahkamah mengabulkan permohonan maka mahkamah harus menyatakan dengan tegas materi muatan Pasal, Ayat, dan/ atau bagian dari suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945.
Sebagai akibat selanjutnya menurut Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Kosntitusi, materi muatan Ayat, Pasal dan/ atau bagian dari Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945 itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya ketentuan yang (hendak) dinyatakan “bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945” dan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” itu harus ada secara konkret ketiadaan norma diartikan sebagai obyek pengujian dalam pengujian Undang-Undang  di Mahkamah Kosntitusi.  Dimana dalam mengajukan pengujian Undang-Undang, pemohon harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai dasar dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 , bila tidak maka Mejelis Hakim Konstitusi dapat menyatakan bahwa permohonan dinyatakan tidak dapat diterima NO (Niet Ontvankelijke Verklaard).[10]                          
F.  Metode Penelitian
Untuk membahas permasalahan yang akan dikemukakan penulis di atas, maka metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, [11] karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.  Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perUndang-Undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, dan menganalisa permasalahan[12], seperti apa yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
2. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yakni:
1.      Bahan hukum primer berupa ketentuan perUndang-Undangan yang meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang  Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahakamh Konstitusi, Peraturan Mahkamah Kosntitusi, Jurispudensi (Keputusan Pengadilan).
2.      Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer tersebut, yang meliputi buku-buku, literatur, laporan-laporan, teori-teori, dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalah dalam penulisan karya ilmiah ini.



[1] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2003, hal. 12.
[2] Ibid. hal. 4.

[3] Ibid. hal. 4.
[4] Ahmad Syahrizal.2006.Peradilan Konstitusi.Cet I. Jakarta. Pradnya Paramit, hal 259

                [5] Arifin, firmansyah. Julius wandi. Penyunting. 2003. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah  Konstitusi Di Indonesia. Diterbitkan oleh : KRHN (konsorsium repormasi hukum nasional.

                [6] M. Yahya Harahap, 1996, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 47

                [7] Arifin, firmansyah. Julius wandi. Penyunting. 2003. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah  Konstitusi Di Indonesia. Diterbitkan oleh : KRHN (konsorsium repormasi hukum nasional.hal 25
[8] Ibid .hal. 11.
[9] Ahmad Syahrizal.2006.Peradilan Konstitusi.Cet I. Jakarta. Pradnya Paramit, hal 266
[10] Ahmad Syahrizal.2006.Peradilan Konstitusi.Cet I. Jakarta. Pradnya Paramit, hal 280
[11] Haliman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. 60-63.
[12] Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1986, hal. 9.



KOPAS DARI : http://ipankmiah-911help.blogspot.com/2010/10/kedudukan-hukum-legal-standing-pemohon.html (semoga Allah membalas amal beliau dengan lebih baik)