KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON PERORANGAN PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON PERORANGAN PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A. Latar Belakang Masalah
Salah
satu prinsip yang penting di dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Kosntitusi
yaitu sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu
di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi yang sedang diusung dan diperjuangkan oleh segenap
komponen bangsa Indonesia.
Disamping
itu, keberadaan Mahkamah Konsitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan
koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang
ditimbulkan antara lain oleh adanya berbagai pendapat dan pandangan
serta tafsir ganda terhadap konstitusi.
Dalam ketentuan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa, Mahkamah
Kosntitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Salah
satu tugas dan kewenangan Mahkamah Kosntitusi seperti tersebut di atas
yang memiliki daya tarik dan perhatian masyarakat secara luas adalah
melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pengujian Undang-Undang, khususnya
berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan
antara istilah judicial review dan judicial preview. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view.
Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu
lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.
Sehubungan
dengan pemberian kewenangan pada Mahkamah Kosntitusi tersebut, DPR dan
Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Kosntitusi. Undang-Undang ini pada intinya mengatur tentang kewenangan
yang besar dan sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara, antara
lain melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; menyelesaikan perselisihan
kewenangan antara lembaga negara; memutuskan pembubaran partai politik
dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pembentukan
Mahkamah Kosntitusi dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan
kaum reformis dalam mereformasi hukum di Indonesia. Dengan terbentuknya
Mahkamah Kosntitusi ini diharapkan dapat terwujudnya penyelenggaraan
kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Mengutip, Ahmad Syahrizal, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Kosntitusi, yaitu:
1. Paham Konstitusionalisme
Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama
sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara,
hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua
adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan
warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
2. Sebagai Mekanisme Check and Balances
Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances
memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan
menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi
kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar
kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka
sistem kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.
3. Penyelenggaraan Negara yang Bersih
Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.
4. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
Kekuasaan
yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam
penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran
terhadap HAM.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi maka subyek hukum mempunyai akses untuk mengjukan permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam
pengujian tersebut subyek hukum dalam hal ini pemohon harus mempunyai
kedudukan hukum Legal Standing agar dapat mengajukan permohonannya tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa, pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu (a) perorangan warga
negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; (c) badan hukum
publik atau privat; atau (d) lembaga negara. Sedangkan pada Ayat (2)
digariskan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1). Adapun penjelasan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang
ini mengemukakan, yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah
hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945.
Merujuk
pada redaksional Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi akan memetakan beberapa unsur penting dari
kedudukan hukum Legal Standingpemohon.
Pertama,
unsur "hak dan/ atau kewenangan konstitusional". Hak dan kewenangan
konstitusional adalah hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
sehingga harus merupakan hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
. Hal ini hampir secara aklamasi diterima oleh setiap pemikir hukum.
Kedua,
unsur kata "menganggap". Kata ini melahirkan dua jenis arti yang
berangkat dari ranah pemikiran yang juga berbeda. Dari sisi gramatikal,
kata ini beraliran subyektif. Karena itu, tiap orang yang menganggap
dirinya dirugikan merasa berhak mengajukan permohonan oleh perasaan
yang dirugikan itu sehingga dapat mengajukan permohonan. Sementara dari
penafsiran hukum, kata ini bukan diartikan dalam bingkai subyektivitas,
tetapi include di dalamnya keharusan untuk membuktikannya sehingga
kata-kata yang lebih tepat adalah "mendalilkan".
Ketiga, unsur kata "dirugikan". Ini unsur penting karena merasa dirugikan, subyek hukum merasa berkepentingan. zonder belang, het is geen rechtsingang.
Kepentingan ini lahir karena adanya kerugian tadi sehingga ia harus
merupakan kerugian yang telah aktual dan bukan sekadar potensial.
Dengan kata lain, kita tidak dapat mengajukan permohonan perkara jika
hanya bersandarkan pada adanya peluang untuk dirugikan. Namun, dari hal
ini muncul peluang perbedaan pendapat tentang batasan peluang
dirugikan. Ada perbedaan dalam memahami manakah yang merupakan kerugian
potensial dan manakah yang merupakan kerugian aktual.
Keempat,
harus ada causal verband, hubungan sebab akibat yang jelas untuk
memperlihatkan hubungan antara keberlakuan Undang-Undang dan kerugian
yang pemohon derita.
Kemudian
terlepas dari unsur-unsur tersebut diatas ketentuan dari Pasal 51 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
bahwa, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, pemohon yang menganggap hak dan/ atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan maka dapat mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Makhamah
Konstitusi.
Permasalahan kemudian adalah pada kalimat dan/ atau,
dimana kalimat ini bermakna komulatif alternatif atinya seorang pemohon
(pemohon perorangan) apakah dalam kedudukan hukum sebagai pemohon
perorangan yang berkulaitas sebagai subyek hukum yang haknya dirugikan
dengan berlakunya suatu Undang-Undang, ataukah subyek hukum yang
kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya suatu
Undang-Undang. Hal inilah yang mendasari adanya sebagian dari putusan
Mahkamah Kosntitusi yang menyatakan suatu permohonan (pemohon
perorangan) dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 dinyatakan tidak dapat diterima NO (Niet Ontvankelijke Verklaard)
yang dikarenakan subyek hukum tidak mampu menguraikan kedudukan
hukumnya dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dari pemaparan diatas dapat
dilihat bahwa permasalahan pemenuhan kedudukan hukum merupakan hal yang
sangat penting dalam mengantarakan seorang subyek hukum untuk
berperkara di Mahkamah Konstitusi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarakan uraian latar belakang masalah yang ada, maka dalam penulisan skripsi ini akan di angkat permasalahan yaitu :
Bagaimanakah kedudukan hukum Legal Standing pemohon perorangan pada pengujian Undang-Undang Terhadap Undang–Undang Dasar 1945, oleh Mahkamah Kosntitusi.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Tujuan Khusus ;
Untuk mengetahui kedudukan hukum Legal Standing pemohon perorangan pada pengujin Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, oleh Mahkakamah Konstitusi.
2. Tujuan Umum
Untuk memperluas dan mengembangkan wawasan pengetahuan, serta memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan karya ilmiah hukum sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan karya ilmiah selain mempunyai tujuan yang jelas, juga diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut ;
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum serta dapat menambah informasi yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut.
b. Diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi penulis.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak terkait mengenai penafsiran
dalam pemenuhan kedudukan hukum permohonan perorangan pada pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar 1945, oleh Mahkamah
Kosntitusi
c. Bagi penulis merupakan pengalaman awal yang sangat berharga dalam penulisan karya ilmiah.
E. Kerangka Teori
Dalam perkara pengujian undang- undang, “kedudukan hukum" lasim dibahasankan sebgai legal standing
atau hak untuk mengajukan suatu gugatan, merupakan hal yang mendasari
pembenaran pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke hadapan Mahkamah Kosntitusi,
sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkmah Konstitusi.
Pengertian
Legal Standing dalam hukum acara pengujian Undang-Undang pada Mahkamah
Kosntitusi adalah kemampuan subyek hukum untuk memenuhi persyaratan
menurut Undang-Undang untuk mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap konstitusi kepada Mahkamah Kosntitusi. Syarat yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki Legal Standing adalah :
a. Kualifikasi
pemohon sebagaimana ditentukan Undang-Undang Mahkamah Kosntitusi
(syarat formal), yaitu sebagai (a) Perorangan Warga Negara Indonesia;
(b) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Sepanjang Masih Hidup Dan Sesuai
Dengan Perkembangan Masyarakat Dan Prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia Yang Diatur Dalam Undang-Undang; (c) Badan Hukum Publik Atau
Privat; atau (d) Lembaga Negara.
b. Terdapat hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang (syarat materil)
Kerugian
konstitusional terjadi apabila hak-hak yang dijamin oleh Undang-Undang
dasar 1945 tersebut ternyata dikurangi, dibatasi atau menjadi tidak
dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Hakim Mahkamah Kosntitusi
memberikan lima syarat terhadap pengertian kerugian konstitusional,
yaitu :
a. Adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang dasar 1945 ;
b. Hak dan/ atau kewenangan tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ;
c. Kerugian
konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi ;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya pemohon maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan
persyaratan tersebut, pemohon harus terlebih dahulu menguraikan hak-hak
konstitusional pemohon yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Apa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak yang diatur
dalam Undang-Undang dasar 1945. Tanpa menyebutkan dan menguraikan
hak-hak kosntitusional pemohon maka unsur kerugian konstitusional tidak
akan terpnuhi, yang menyebabkan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
Legal Standing.
Selanjutnya
pemohon harus menguraikan bahwa hak dan atau keweanangan konstitusional
pemohon tersebut dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Pemohon
sebelum mengajukan permohonan juga memastikan bahwa terhadap kerugian
konstitusionalnya memang tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh
kecuali dengan permohonan (constitusional review) kepada
Mahkamah Kosntitusi. Pemohon juga diharapkan dapat memahami resiko
dibalik pembuatan Undang-Undang dan bagian atau Pasal yang
dimohonkannya, untuk dapat merumuskan secara lebih baik akan kerugian
konstitusional yang dialaminya. Kerugian yang dialami pemohon harus
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau sudah eksis.
Namun
demikian, apabila kerugian tersebut belum terjadi, akan tetapi dengan
suatu penalaran yang wajar dapat diperkirakan kerugian konstitusional
tersebut potensial akan terjadi, maka hal itu dapat diterima.
Didalam merumuskan permohonan, setelah menguraikan adanya hak
konstitusional yang diberikan dan kerugian yang dialami, wajib
dipehatikan bahwa antara keduanya mutlak harus ada hubungan
sebab-akibat (causal verband) mungkin saja terjadi, pemohon
memang benar memiliki hak dan atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh Undang-Undang dasar 1945 dan pemohon juga mengalami
kerugian, namun kerugian tersebut tidak ada hubungan sebab-akibat
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan, sehingga
permohonannya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Kosntitusi.
Pasal
24 c Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan pasa 10 Ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan
tegas memberikan kewenangan kepada Mahkamah Kosntitusi untuk “menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar”. Dimana pada umumnya
pengujian Undang-Undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan)
Undang-Undang yang dianggap inkonstitusional oleh pemohon.
Dalam
Pasal 51 Ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasasr 1945 untuk menguraikan
dengan jelas materi muatan dalam Ayat, Pasal, dan/ atau bagian dari
Undang-Undang yang dianggapnya bertentangan dengan Undang-Undang dasar
1945. Pemenuhan terhadap ketentuan Pasal 51 Ayat (3) huruf b
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusimenjadi
wajib sebab, menurut Pasal 56 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Kosntitusi, jika mahkamah mengabulkan permohonan
maka mahkamah harus menyatakan dengan tegas materi muatan Pasal, Ayat,
dan/ atau bagian dari suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang dasar 1945.
Sebagai
akibat selanjutnya menurut Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Kosntitusi, materi muatan Ayat, Pasal dan/
atau bagian dari Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang
dasar 1945 itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Artinya ketentuan yang (hendak) dinyatakan “bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945” dan “tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat” itu harus ada secara konkret ketiadaan norma diartikan
sebagai obyek pengujian dalam pengujian Undang-Undang di Mahkamah
Kosntitusi. Dimana dalam mengajukan pengujian Undang-Undang, pemohon
harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai dasar dalam
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 , bila tidak maka Mejelis Hakim Konstitusi dapat menyatakan
bahwa permohonan dinyatakan tidak dapat diterima NO (Niet Ontvankelijke Verklaard).
F. Metode Penelitian
Untuk
membahas permasalahan yang akan dikemukakan penulis di atas, maka
metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perUndang-Undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, dan menganalisa permasalahan, seperti apa yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
2. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yakni:
1. Bahan
hukum primer berupa ketentuan perUndang-Undangan yang meliputi
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahakamh Konstitusi, Peraturan Mahkamah Kosntitusi, Jurispudensi
(Keputusan Pengadilan).
2. Bahan
hukum sekunder yaitu bahan hukum yang ada hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat digunakan untuk membantu menganalisis serta
memahami bahan hukum primer tersebut, yang meliputi buku-buku, literatur, laporan-laporan, teori-teori, dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalah dalam penulisan karya ilmiah ini.
Ahmad Syahrizal.2006.Peradilan Konstitusi.Cet I. Jakarta. Pradnya Paramit, hal 259
Arifin, firmansyah. Julius wandi. Penyunting. 2003. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia. Diterbitkan oleh : KRHN (konsorsium repormasi hukum nasional.
M. Yahya Harahap, 1996, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 47
Arifin, firmansyah. Julius wandi. Penyunting. 2003. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia. Diterbitkan oleh : KRHN (konsorsium repormasi hukum nasional.hal 25
Haliman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. 60-63.
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1986, hal. 9.
KOPAS DARI : http://ipankmiah-911help.blogspot.com/2010/10/kedudukan-hukum-legal-standing-pemohon.html (semoga Allah membalas amal beliau dengan lebih baik)