A.
Latar
Belakang
Pada
makalah sederhana ini kami berupaya memberikan gambaran tentang keadaan sistem
hukum yang berlaku di Indonesia sebelum Perang Dunia II. Sistem hukum yang
berlaku pada saat itu adalah sistem hukum kolonial. Namun demikian tidak semua sistem
hukum kolonial kami uraian di makalah sederhana ini. Pada makalah sederhana ini
kami berpijak pada rujukan utama yaitu buku legenda hukum Indonesia yaitu Prof.
Dr. R. Supomo, S.H., yang berjudul “SISTEM HUKUM di INDONESIA: SEBELUM PERANG DUNIA II”
yang pertama kali terbit pada tahun 1953. Oleh karenanya sistem hukum yang akan
kami uraikan pada makalah sederhana ini terbatas pada sistem hukum kolonial
Belanda. Itupun terbatas pada hukum yang berlaku sesudah era VOC, yaitu era
Kerajaan Belanda memerintah secara efektif dalam suatu wilayah yang dahulu
dikenal dengan nama “Hindia Belanda”.
Sistem
hukum tersebut memang tidak lagi efektif berlaku di Indonesia. Sistem hukum
tersebut telah diganti secara radikal[1]
oleh sistem hukum baru sejak berdirinya Republik Indonesia. Contoh hukum yang
sudah tidak laku tersebut adalah semisal hukum mengenai susunan dan sistem
pemerintahan serta hukum yang mengatur tentang sistem perundang-undangan. Juga
tentang dualism sistem peradilan yang dulu berlaku kini sudah lenyap dan
diganti dengan sistem kesatuan peradilan negara bagi segala golongan penduduk. Namun
demikian tidak bisa serta merta kemudian dikatakan tidak ada hubungannya lagi.
Dalam
lapangan akademik hukum, senantiasa ada hubungan antara hukum yang diganti
dengan hukum yang mengganti. Hubungan tersebut bisa merupakan hubungan
komplementer yang sifatnya melengkapi dan menyempurnakan sehingga bahkan
kadang-kadang bisa berjalan beriringan. Ada pula hubungan yang bersifat
substitusi alias yang baru menggantikan yang lama.[2]
Sebagai catatan tambahan, hukum yang merupakan antithesis dari hukum yang lain
akan senantiasa bersifat substitusi. Namun demikian tidak selalu hukum baru[3]
senantiasa bersifat antithesis. Kadang-kadang hukum yang sejatinya bersifat
komplementer ternyata kemudian diberlakukan untuk menggantikan[4]
hukum yang lama. Hal itu karena kadang-kadang materi yang ditambahkan[5]
ternyata lebih banyak daripada yang dipertahankan.
Meskipun
sistem hukum telah telah berubah secara radikal, fakta empirik membuktikan
bahwa perubahan sistem hukum tidak sepenuhnya terjadi secara radikal. Bahkan
sebagian besar hukum-hukum yang sifatnya mendasar ternyata masih berlaku. Hukum-hukum
mendasar tersebut antara lain, wetboek
van strafrecht, burgerlijk wetboek,
Herziene Inlands Reglement dan
lain-lain.
Dalam
lapangan hukum perdata, burgerlijk
wetboek masih berlaku. Penyebutan burgerlijk
wetboek menjadi kitab undang-undang perdata malah semakin mengesankan bahwa
undang-undang tersebut telah dinaturalisasi.[6]
Ke-ajeg-an keberlakukan itu tidak
hanya pada undang-undangnya saja, tetapi juga pada keberlakuan sifat
keberagamannya.[7]
Keberlakuan itu tidak hanya pada hukum materiilnya saja (BW) tetapi juga pada
hukum acaranya yaitu hukum acara perdata (Herziene
Inlands Reglement yang dikenal singkat H.I.R). Untuk pemeriksaan perkara
perdata, H.I.R masih berlaku secara mutatis
mutandis[8],
sedangkan untuk pemeriksaan perkara pidana, H.I.R. harus dipakai sebagai
pedoman. Menyedihkan memang tapi begitulah kenyataannya.
Dalam
lapangan hukum pidana, Wetboek van
strafrecht pun masih berlaku. Sebenarnya upaya untuk mengubah WvS ini sudah
berkali-kali dilakukan namun hingga kini nampaknya tak kunjung membuahkan
hasil. Pada pemerintahan saat ini[9],
upaya pembaruan ini masih berjalan melanjutkan pembahasan RUU KUHP yang
diajukan (dan sudah dibahas namun tidak selesai) oleh pemerintahan sebelumnya[10]. Hal
yang dirasakan sangat mengenaskan adalah penggunaan hukum kolonial pada
penjatuhan pidana seakan-akan hukuman pidana tersebut dijatuhkan oleh aparat
kolonial dengan “pemerintah yang bertindak sebagai kolonialis”.[11]
Memang
benar perkataan Karl Mannheim dalam bukunya “Man and Society in an age of reconstruction”, bahwa meski di jaman
revolusi adalah suatu kenyataan, hal-hal yang lama dan hal-hal yang baru adalah
campur-baur. (even in so called
revolutionary the old and the new are blended).
Jika
dikaitkan dengan teori Rescoe Pound[12]
bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial (law
as a tool of social engineering) maka ada juga pemikiran bahwa
jangan-jangan masyarakat Indonesia ini didesain agar tetap berpola sebagaimana
masyarakat tahun 1800-an. Karena bisa undang-undang yang bersifat mendasar
seperti KUH Pidana, KUH Perdata dan KUHA Perdata-nya masih menggunakan UU abad
18 maka mau-nggak-mau perilakunya
(termasuk pola pikirnya) pun mencerminkan jiwa hukum abad 18.[13]
Hal-hal tersebut-lah yang kemudian ditengarai sebagai salah satu penghambat
kemajuan Indonesia.
Dengan
demikian, supaya kita menginsafi betul jalannya perkembangan proses pembaharuan
sistem hukum di Indonesia, maka perlulah kita untuk mengetahui sistem hukum
yang lama. Dengan mengenal sistem hukum yang lama itu kita dapat menganalisis,
seberapa jauh sistem itu mempengaruhi hukum baru.
Mudah-mudahan,
makalah sederhana ini dapat menjawab pertanyaan besar yaitu bagaimana gambaran
mengenai sistem hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial pada era
Hindia Belanda.
B.
Pembahasan
1.
Rakyat
Indonesia
a.
Kaulanegara
Belanda dan orang asing
Kewarga-negaraan
Belanda
Landasan
hukum yang digunakan adalah UU 28 Juli 1850 staatsblad
No. 44 yang kemudian diubah dengan UU 3 Mei 1851 S. No. 46 dan pasal 5 BW tahun
1838. Undang-undang tersebut adalah yang pertama memuat ketentuan-ketentuan
tentang kebangsaan belanda. Dalam undang-undang tersebut ditentukan pemakaian
hak-hak kewarga-negaraan. Sedangkan pengaturan pada BW adalah acuan yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban yang lain.
B.W.
menganut asas daerah kelahiran (ius soli).
Pada ketentuan pasal 5 no. 1 disebutkan bahwa “siapa saja yang di dalam
kerajaan atau daerah-daerah jajahannya dilahirkan dari orang tua yang bertempat
tinggal tetap di sana adalah orang belanda”. Pada pasal 5 no. 3 ditambahkan
ketentuan, “semua anak yang dilahirkan di dalam kerajaan belanda, dari orang
tua yang tidak bertempat tinggal tetap di sana, adalah orang belanda, jika
mereka sendiri (anak tersebut, penulis) bertempat tinggal tetap di sana
(wilayah yuridiksi[14]
belanda, penulis)”.
UU
28 Juli 1850 (S. No. 44) pada dasarnya juga berasaskan ius soli sampai berlakunya UU 12 Desember 1892 (S. No. 268).
Menurut pasal BW Bld. Mereka yang lahir di Hindia Belanda adalah juga orang
Belanda. Hal tersebut berpengaruh besar karena berkaitan dengan perlindungan
diplomatik di luar negeri. Orang-orang yang dilahirkan dalam “negara”, tidak
dapat diserahkan karena hal itu hanya dapat dilakukan terhadap orang asing
(Sabda Raja tanggal 8 Mei 1883, S. 1883 No. 188). Akan tetapi untuk urusan
dalam negeri[15],
kebangsaan belanda bagi orang-orang yang dilahirkan di dalam negeri hampir
tidak mempunyai arti sama sekali, karena dasar melakukan hak di Hindia Belanda
adalah bukan kedudukan sebagai orang belanda, melainkan kedudukan sebagai
penduduk negeri belanda.
Perubahan
asas ius soli menjadi ius sanguinis dimulai ketika UU tanggal
12 Desember 1892 berlaku efektif di Hindia Belanda. Meski menganut ius sanguinis, UU tersebut tidak
menghapuskan ius soli sama sekali.
Asas ius soli masih dapat digunakan
dalam rangka menghindarkan status kewarga-negaraan rangkap maupun nihil.
Menurut UU tersebut, dasar untuk memperoleh kebangsaan Belanda adalah
kelahiran, pengedahan, perkawinan dan naturalisasi. Menurut UU ini, anak sah,
anak yang sidahkan dan anak luar kawin yang diakui ayahnya dari orang belanda
adalah orang belanda dengan tidak memandang tempat kelahirannya.
Asas
daerah kelahiran (ius soli)
diberlakukan bagi anak luar kawin yang tidak diakui oleh ayah maupun ibunya.[16]
Asas tersebut juga berlaku untuk anak-anak pungutan yang diketemukan atau
dibuang di kerajaan belanda.[17]
Hal
lain yang bisa menjadi dasar untuk menjadi warga negara belanda adalah dengan
perkawinan. Namun demikian dasar hukum ini sangat bias jender dan beraroma
busuk menyengat. Dijelaskan bahwa perkawinan perempuan asing dengan orang
belanda dengan sendirinya mengubah status perempuan tersebut menjadi warga
negara belanda. Kewarga-negaraan tersebut tetap berlaku meski perkawinan telah
putus. Akan tetapi lewat satu tahun setelah perkawinan tersebut diputuskan, ia
dapat melepaskan kebangsaan belanda itu.
Orang
asing
Menurut
pasal 12 dari undang-undang kedudukan kaulanegara tahun 1892, semua orang yang
bukan orang belanda atau bukan kaulanegara belanda adalah orang asing.
Dalam
lapangan hukum tata negara dan hukum administrasi negara, kedudukan orang asing
ditegaskan bahwa semua orangyang ada dalam Hindia Belanda berhak menuntut
perlindungan untuk diri dan harta-bendanya. Namun pada orang asing tidak
mendapatkan hak-hak istimewa dan kewajiban-kewajiban khusus.
Hak-hak
istimewa itu adalah semisal: (1) hak menjadi pegawai negeri/pejabat publik[18],
(2) hak memilih dan dipilih , (3) hak menjadi anggota partai politik, (4) hak
menangkap ikan di pantai, (5) hak diperkenankan menjadi pengusaha pertanian,
(6) dan hak-hak istimewa lainnya.
Kewajiban
khusus itu adalah semisal kewajiban masuk tentara dan kewajiban bekerja dalam
jabatan sipil. Walaupun judulnya kewajiban namun kewajiban tersebut sebenarnya
adalah keistimewaan (privilege).
Karena tak terbayangkan dampaknya bila ada orang asing diperkenankan ikut masuk
tentara misalnya.
Pada
prinsipnya, setiap hak istimewa yang hanya diberikan pada kaula negara belanda
bisa dimaknai secara a contrario[19]
sebagai larangan bagi orang asing. Namun demikian ada larangan-larangan lain
yang dibebankan pada orang asing semisal (1) adanya kewajiban izin kerja bagi
orang asing yang hendak bekerja, (2) orang asing tidak diperkenankan meminta
konsesi tambang,[20]
(3) dalam hal mengajukan gugatan perdata wajib memberikan jaminan biaya
perkara, (4) dalam hal berutang kepada kaulanegara belanda, orang asing dapat
dikenakan paksa badan, (5) dan berbagai hal lain yang menyulitkan orang asing.
b. Penduduk
negara dan bukan penduduk negara
Menurut
pasal 160 ayat (2) “Indische
Staatsregeling”, penduduk Hindia Belanda adalah mereka yang dengan sah
bertempat tinggal tetap di sana. Yang dimaksud “SAH” adalah tidak bertentangan dengan ketentuan mengenasi masuk dan
mengadakan tempat tinggalnya yang tetap di Hindia Belanda. Pasal 160 ayat (6) “Indische Regeling” juga menerangkan
bahwa kedudukan sebagai penduduk negara[21]
yang terdapat di peraturan yang lain, hanya berlaku terbatas pada hal-hal yang
diatur dalam peraturan-peraturan itu.
Menurut
ketentuan, orang belanda yang orang tuanya tidak bertempat tinggal tetap di
Indonesia waktu lahirnya dan tidak dikirimkan oleh negara ke Hindia Belanda dan
orang asing. Selama belum ditetapkan sebagai penduduk negeri maka memerlukan
izin masuk ke Indonesia.
Orang-orang
dengan cara tersebut dapat tinggal di Hindia Belanda paling lama 2 (dua) tahun.
Selanjutnya dalam periode 2 (dua) tahun tersebut, izin dapat diperpanjang 2
(dua) kali untuk masa 1 (satu) tahun pada setiap perpanjangan. Kemudian terakhir
dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) tahun. Sesudah itu tidak ada lagi izin
perpanjangan.
Izin
untuk bertempat tinggal tetap diberikan oleh Gubernur-Jenderal atau Residen.
Untuk bertempat tinggal tetap di Jawa dan Madura izin diajukan/ditetapkan oleh
Gubernur Jenderal. Izin bertempat tinggal di luar Jawa dan Madura
diajukan/ditetapkan oleh Residen[22].
Dalam prakteknya izin tidak akan dipertimbangkan bila belum lewat 9 (Sembilan)
tahun dari waktu berlakunya kartu masuk yang diberikan ketika masuk ke Hindia
Belanda. Ketentuan izin tersebut dikecualikan kepada para ahli hukum dari
negeri Belanda yang ingin menjadi advokat di Hindia Belanda karena bertempat
tinggal tetap adalah syarat untuk menjadi advokat di Hindia Belanda.
c. Orang
eropa, bumiputera dan orang timur asing
Hindia
belanda pada masa itu menganut kodifikasi hukum yang disimpang-simpangkan
sehingga yang nampak dan terasa betul adalah pluralisme hukum. Subyek hukum
pada saat itu dibeda-bedakan menjadi 3 (tiga) golongan rakyat[23].
Setiap orang (termasuk orang asing) yang mempunyai sangkut-paut hukum dengan
Hindia Belanda dimasukan ke dalam salah satu dari golongan-golongan tersebut.
Pada pokoknya pembedaan itu didasarkan pada jenis kebangsaan (khususnya ciri
fisik) sehingga dikataskan ada “ras-diskriminasi[24]”.
Diskriminasi tersebut kemudian mengarah pada diskriminasi agama.[25]
Pada umumnya golongan eropa mempunyai kedudukan kelas satu sehingga menyebabkan
sakit hati golongan yang lain bahkan mendorong terjadinya perpindahan agama
menjadi kristen.
Orang
eropa:
Sebetulnya
pasal 163 “Indische Staatsregeling”
tidak mendefisinikan “siapa” orang eropa itu melainkan siapa saja yang tunduk
pada ketentuan-ketentuan orang eropa. Yang termasuk golongan orang eropa
adalah:
(1) semua orang belanda;
(2) semua orang (selain orang belanda) yang
berasal[26]
dari eropa;
(3) semua orang jepang[27];
(4) semua orang yang berasal dari tempat selain
eropa yang di negerinya tunduk pada hukum keluarga[28]
yang pada pokoknya berdasarkan asas-asas yang sama dengan hukum belanda;
(5) anak sah atau yang diakui menurut
undang-undang dan keturunan dari (2), (3), (4) yang lahir di Hindia Belanda;
(6) orang yang dipersamakan dengan orang eropa[29].
Timur
Asing:
Golongan
timur asing dirumuskan secara negatif[30].
Singkatnya mereka yang tidak masuk golongan eropa dan bumiputera[31]
masuk dalam golongan timur asing. Meskipun semisal dia adalah orang barat
semisal warga negara Turki, meski berwajah eropa dan negaranya berada di
sebelah barat Hindia Belanda, tetaplah ia masuk golongan timur asing. Hal ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi ada orang yang tidak masuk ke dalam golongan
rakyat. Dengan demikian bila ada orang belanda (secara fisik) sekalipun jakalau
ayah dan ibunya tidak diketahui (secara hukum) maka dia dipandang sebagai
golongan timur asing.
Pribumi/
bumiputera:
Secara
umum yang termasuk golongan bumiputera adalah rakyat pribumi dari
Hindia-Belanda. Pribumi tidak berarti dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia
atau dilahirkan oleh orang Indonesia sebab kalo demikian maka orang-orang Indo-Tinghoa
dan Indo-eropa harus juga dimasukan dalam golongan bumiputera. Pribumi tidak
hanya sebatas dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia tetapi dibatasi bahwa
pribumi ini adalah hanya orang Indonesia asli[32].
Selain
karena kelahiran (gen dna), cara lain menjadi bumiputera adalah dengan
“percampuran”. Mula-mula kemungkinan perubahan dari golongan eropa atau
golongan timur asing ke golongan bumiputera dianggap tidaklah mungkin terjadi.[33]
Karena itu peraturannya tidak diadakan yang kemudian berakibat pengaturannya
pun tidak dimungkinkan. Karena itu pula Gubernur Jenderal tidak dapat
mengembalikan status “eropa staatsblad”
ke dalam golongan rakyat semua.[34]
Karena itu disusunlah aturan pencampuran. Pencampuran itu terjadi bila ada
orang eropa atau timur asing memeluk agama islam maka seketika itu pula dia
beralih golongan ke dalam golongan bumiputera.
Peralihan
dari golongan rakyat yang satu kepada yang lain selanjutnya adalah:
1)
naturalisasi;
2) kawin campur;
3)
pengakuan dan pengesahan.
d.
Orang
belanda, kaulanegara pribumi-bukan orang belanda dan kaulanegara
mancabumi-bukan orang belanda
Untuk
susunan dan pemilihan lembaga-lembaga perkawinan, rakyat indonesia dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu:
Ø Orang
belanda
Ø Kaula
negara pribumi-non belanda
Ø Kaulamancabumi-non
belanda
Dalam
praktik perbedaan ini linier dengan
pembedaan berdasarkan pasal 163 I.S. Perbedaannya hanya soal hak pilih.
Kaulanegara orang eropa yang bukan belanda termasuk golongan yang sama dengan
orang timur asing. Orang-perseorangan yang sesuai ayat 5 pasal 163 I.S.
dipersamakan dengan orang eropa, termasuk golongan kaula-negara bukan orang
Belanda (pribumi atau mencabumi).
2.
Urusan
Hukum
a.
Peradilan
Gubernemen
Peradilan
gubernemen menggunakan asas dualisme
di dalam penyelenggaraan hukum. Ada pengadilan eropa dan pengadilan bumiputera.
Yang menentukan pembedaan pengadilan adalah golongan rakyat yang berkedudukan
sebagai tergugat atau terdakwa. Bila tergugat atau terdakwa adalah orang eropa
maka pengadilan eropa yang memeriksa dan memutus perkara. Bila tergugat atau
terdakwa adalah golongan bumiputera maka pengadilan bumi putera yang memeriksa
dan memutus perkara. Adapun orang timur asing diadili pada pengadilan eropa
pada perkara perdata. Dalam perkara pidana orang timur asing diadili pada
pengadilan bumiputera.
Pengadilan-pengadilan
adalah:
1) Residentiegerecht
2) Raad
van Justitie
3) Hooggerechtshof
Pengadilan-pengadilan
bumiputera:
1) Districtgerecht
2) Regentschapsgerecht
3) landraad
Terobosan
terhadap asas dualistis ialah pembentukan suatu pengadilan bagi semua golongan rakyat
untuk mengadili perbuatan pidana kecil-kecil, “landgerecht” namanya.
Forum privilegiatum
untuk bumiputera diadakan dalam hal kedudukannya atau pangkatnya harus
menghadap kepada hakim yang lebih tinggi daripada menurut ketentuan-ketentuan
biasa dari peraturan susunan kehakiman.
Koneksitas
juga diberlakukan dalam hal orang-orang yang berkedudukan sebagai tergugat atau
terdakwa berada pada berbagai tingkatan maka mereka diadili oleh pengadilan
yang tertinggi di antara pengadilan-pengadilan mereka.
b.
Peradilan
Pribumi
Pada
pokoknya peradilan pribumi itu tidak lain adalah suatu sistem peradilan gubernemen
yang disederhanakan. Untuk urusan hukum pribumi, hakim-hakimnya dibagi menjadi
hakim desa dan hakim yang lebih tinggi. Ada kalanya dibentuk hakim agama. Dengan
persetujuan Direktur Kehakiman di Jakarta, Residen mengundangkan
peraturan-peraturan untuk mengatur susunan dan kekuasaan mengadili menurut
perkara dan daerah dari masing-masing pengadilan pribumi.
Sistem
peradilan ini mengandung 2 (dua) kelemahan pokok yaitu:
1)
Pada pokoknya peradilan
ini dijalankan oleh pegawai-pegawai pemerintahan;
2)
Peradilan dilakukan
oleh orang-orang yang bukan ahli hukum.
c.
Peradilan
Swapraja
Peradilan
ini hanya mempunyai kekuasaan untuk mengadili keluarga sedarah dan keluarga
karena perkawinan sampai dengan pupu ke empat dari raja-raja dan
pegawai-pegawai tertinggi dari raja. Kaula selainnya termasuk yuridiksi
peradilan gubernemen. Daerah-daerah swapraja di luar jawa dan Madura mempunyai
hak melakukan peradilan atas kaulanya sendiri, kecuali mengenai golongan
perkara-perkara tertentu.
d.
Peradilan
Agama
Untuk
mencegah syariah islam agar tidak melebar kemana-mana maka dibentuklah
peradilan agama. Jadi jelas bahwa peradilan agama ini tidak untuk semua agama
melainkan khusus untuk agama islam.[35]
Kriteria untuk pengadilan agama ini adalah:
1)
Perkaranya[36]
harus antara orang islam, artinya semua pihak yang bersengketa harus orang
islam.
2)
Menurut hukum adat
mereka perkara itu harus diajukan kepada hakim agama.
e.
Peradilan
Desa
Politik
hukum adat baru dari pemerintah hindia belanda yang dijalankan sejak tahun 1928
di bawah pengaruh ahli-ahli hukum adat[37]
sehingga hukum adat mulai banyak mendapat perhatian.
Menurut
pasal 3a R.O.[38]:
1)
Perkara-perkara yang
pemeriksaannya menurut hukum adat menjadi wewenang hakim dari masyarakat hukum
kecil-kecil (hakim-hakim desa) tetap diserahkan kepada pemeriksaan mereka itu.
2)
Hal yang ditentukan
dalam ayat di muka ini sekali-kali tidak mengurangi wewenang dari pihak-pihak
untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada pemutusan hakim-hakim[39]
yang dimaksud dalam pasal-pasal 1, 2 dan 3.
3)
Hakim-hakim yang
dimaksud dalam ayat pertama mengadili menurut hukum adat. Mereka tidak boleh
mengenakan hukuman[40].[41]
3. Hukum
Materiil dan Hukum Acara Pengadilan
a. Peradilan
gubernemen
Dalam
hal kebutuhan masyarakat menghendaki maka pembentuk ordonansi dapat:
1)
Menyatakan bahwa hukum
yang berlaku bagi orang eropa dengan tiada perubahan atau dengan perubahan
seperlunya juga berlaku terhadap seluruh golongan rakyat Hindia Belanda atau
terhadap bagian-bagian tersendiri dari golongan itu dan terhadap orang timur
asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan ini.
2)
Ataupun mengadakan
aturan-aturan bersama yang berlaku bagi orang Hindia Belanda dan timur asing
atau bagian-bagian tersendiri dari mereka itu bersama-sama dengan orang eropa.
Dalam
hal kebutuhan masyarakat menghendaki demikian atau berdasarkan kepentingan
umum, pembentuk ordonasi dapat mengadakan hukum yang berlaku bagi orang hindia
belanda dan orang timur asing atau bagian-bagian tersendiri dari
golongan-golongan itu, yang bukan hukum adat, bukan hukum eropa, melainkan
hukum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang sendiri.
b. Peradilan
pribumi
Pasal
131 ayat 5 I.S. mengatakan bahwa ordonasi-ordonansi yang berdasarkan pasal itu
dalam daerah dengan peradilan pribumi hanya berlaku sekedar dapat berdampingan
dengan itu. Hal itu berarti ordonansi-ordonanasi tidak dapat begitu saja
diberlakukan oleh pengadilan-pengadilan pribumi. Dalam pengadilan pribumi
berlaku peradilan sendiri baik formil maupun materiil.
c. Peradilan
swapraja
Dalam
perkara perdata:
1)
Hukum adat dan aturan
undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah swapraja diumumkan dalam
pranatan/rijksblad.
2)
Peraturan umum yang
memuat aturan hukum perdata, sekedar aturan-aturan itu berlaku terhadap rakyat
Indonesia dalam daerah Gubernemen, kecuali jika berlakunya itu oleh peraturan
sendiri atau oleh Gubernur-Jenderal dikecualikan seluruhnya atau sebagian.
Dalam
perkara pidana:
1)
Wetboek
van Strafrecht dan peraturan-peraturan umum
lainnya mengenai hukum pidana umum, kecuali ditentukan sebaliknya oleh Gubernur
Jenderal.
2)
Peraturan pemerintah
daerah swapraja sepanjang mengenai hal-hal yang diatur dalam
peraturan-peraturan umum yang berlaku.
Adapun
hukum acara pengadilan-pengadilan daerah swapraja diatur oleh pemerintah daerah
swapraja. Pada umumnya hukum acara pengadilan swapraja sesuai dengan hukum
acara pengadilan-pengadilan pribumi.
d. Peradilan
agama
Hukum
materiil yang harus berlaku dalam pengadilan agama adalah hukum islam. Hukum acara yang harus berlaku dalam
pengadilan agama adalah hukum islam.
Jikalau suami-isteri orang islam menundukan diri atas kemauan sendiri
kepada hukum eropa maka berlaku Burgerlijk
Wetboek.
e. Peradilan
desa
Para
hakim desa memberlakukan hukum adat baik formil maupun materiilnya. Mereka juga
hanya diperkenankan memberlakukan hukuman kecil-kecil dengan larangan keras
mengambil tindakan yang ada di dalam WvS.
4. Penundukan
atas kemauan sendiri kepada hukum perdata eropa
Ada
empat jenis penundukan yaitu:
a. Penundukan
untuk seluruhnya sehingga hukum perdata dan hukum dagang eropa berlaku
sepenuhnya.[42]
b. Penundukan
sebagian artinya penundukan tersebut hanya terbatas pada bagian-bagian dari
hukum perdata eropa yang menurut undang-undang diberlakukan kepada orang timur
asing non-tionghoa.
c. Penundukan
untuk suatu perbuatan hukum tertentu sehingga yang berlaku padanya hanya ketentuan-ketentuan
hukum eropa yang mengatur perbuatan hukum itu dan ketentuan-ketentuan yang
langsung berhubungan dengan itu.[43]
d. Penundukan
anggapan.[44]
Menurut
riwayat terjadinya lembaga ini, maksud pembentukan undang-undang ini ialah
supaya mereka yang terasing dari hukumnya sendiri mendapatkan kesempatan untuk
menggunakan hukum perdata eropa.
5. Asas-asas
terpenting dari tatanan hukum
a. Asas-asas
Burgerlijk Wetboek Hindia Belanda
Asas-asas
yang menguasai sistem Code Civil Perancis seluruhnya dimasukan ke dalam sistem
BW Belanda yang kemudian diberlakukan di Hindia. Asas-asas terpenting adalah:
1)
Anggapan
individualistis terhadap hak eigendom[45]
2)
Kebebasan berkontrak
3)
Sifat sekularisme,
dengan kata lain agama bukanlah suatu unsur hukum[46]
4)
Hukum keluarga berlaku tatanan
matrimonial dan ketidakmampuan bertindak dari wanita yang bersuami
5)
Dalam perkawinan
berlaku asas monogami
b. Asas-asas
Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering Eropa
Pada
pokoknya mengikuti Code de procedure Civile Perancis.
c. Asas-asas
Wetboek van Strafrecht
1)
Subyek hukum adalah
orang baik manusia maupun badan hukum yang cakap melakukan tindakan hukum;
2)
Tiada hukuman tanpa
kesalahan;
3)
Tiada kesalahan tanpa
undang-undang;
4)
Pembedaan pelanggaran
dengan kejahatan.
d. Asas-asas
Reglement de op Strafvordering (hukum
acara pidana)
1)
Badan penuntut umum
memegang monopoli penuntutan.[47]
2)
Asas oportunitas
artinya badan penuntutan umum berwenang tidak melaksanakan penuntutan bila
tidak ada manfaat bagi masyarakat atau bila malah berdampak negatif terhadap
masyarakat.
3)
Pemeriksaan permulaan
bersifat inquisitoir[48]
sedangkan pemeriksaan pada sidang pengadilan cenderung accusatoir[49].
4)
Prosedur pembuktian
berlaku sistem negatif menurut undang-undang.[50]
5)
Tidak mengenal
peradilan “juri”
e. Beberapa
asas hukum adat materiil[51]
1)
Sifat kebersamaan (communal)
2)
Bercorak
“magis-relijius” sesuai dengan pandangan hidup alam
3)
Hukum adat cenderung
bersifat konkret dan berulang
4)
Hukum adat bersifat
visual.[52]
5)
Dibentuk dari
putusan-putusan yang terdahulu.[53]
f. Hukum
Acara perdata landraad[54]
1)
Hakim bersifat aktif[55]
2)
Seluruh acara diadakan
dengan lisan[56]
g. Hukum
Acara regentchapsgerecht dan districtsgerech di Jawa
Hampir
tidak ada aturannya yang berarti hampir sama dengan peradilan bebas dan
pembuktian bebas.
h. Hukum
acara perdata pengadilan pribumi di luar jawa dan Madura
Lebih
bebas daripada hukum acara perdata di landraad.
Aturan-aturan adat berlaku sepanjang tidak ada aturan udang-undang yang
mengatur. Jika aturan adat pun tidak ada maka bebas dalam pemilihan dan
penghargaan alat bukti.
i.
Hukum acara perdata
pengadilan swapraja
Secara
umum diatur sama dengan hukum acara perdata pengadilan pribumi.
j.
Hukum acara pidana landraad
1)
Dalam daerah-daerah di
Jawa dan Madura dimana Inlands Reglement
berlaku tidak ada pemisahan penuntut umum dengan pegawai-pegawai pemerintahan.
2)
Perkara-perkara ringan
yang menurut pendapat jaksa tidak akan dijatuhi hukuman pokok lebih dari 1
(satu) tahun penjara dapat diajukan dengan acara
singkat tanpa formalitas apa-apa.
Dakwaan pun dilakukan dengan lisan.
3)
Terdakwa tidak berhak
atas bantuan hukum seorang ahli
4)
Pembuktiannya seperti
hukum acara eropa
k. Hukum
acara pidana landgerecht
1)
Tidak ada badan
penuntut umum
2)
Pemeriksaan permulaan
bergantung pada golongan rakyat tersangka
3)
Hak menjalankan putusan
ada pada asisten residen atau magistraat
4)
Acara singkat hanya
bila tertangkap tangan
5)
Pembuktian negatif
menurut undang-undang yang lebih disederhanakan
l.
Hukum acara pidana
pengadilan pribumi
Dalam
lingkungan peradilan pribumi perkara tidak dibagi-bagi menurut hukum pidana
atau perdata. Pemeriksaan diselesaikan secara keseluruhannya.
m. Hukum
acara pidana pengadilan swapraja
Hukum
acara pidana pengadilan swapraja sama dengan pengadilan pribumi secara mutatis-mutandis[57].
C.
Penutup
Dari
uraian sederhana tersebut di atas maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan
yaitu:
1. Rakyat
Indonesia
Hindia Belanda bukanlah suatu negara, oleh karena
itu maka secara otomatis tidak memiliki warga negara sendiri.[58]
Isi negeri Hindia Belanda yang bukan orang asing adalah “kaulanegara Belanda”.
Orang-orang yang bertempat tinggal di daerah Hindia Belanda menurut hukum
Hindia Belanda dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Kaulanegara
Belanda dan orang asing;
b. Penduduk
negara dan bukan penduduk negara;
c. Orang
eropa, bumiputera dan orang timur asing;
d. Orang
belanda, kaulanegara pribumi-bukan orang belanda dan kaulanegara
mancabumi-bukan orang belanda.
2. Urusan
Hukum
Di
Hindia Belanda tidak ada peraturan hukum yang seragam tentang urusan hukum. Di
dalam lingkungan berbagai peraturan terdapat berbagai tatanan yang sangat
meruwetkan hukum Hindia Belanda. Ada 5 (lima) buah tatanan peradilan yaitu:
a. Pertama,
tatanan peradilan gubernemen
b. Kedua,
peradilan pribumi
c. Ketiga,
peradilan swapraja
d. Keempat,
peradilan agama
e. Kelima,
peradilan desa.
3. Hukum
Materiil dan Hukum Acara Pengadilan
a. Peradilan
gubernemen
Hukum
materiil dan hukum formil (hukum acara) yang berlaku pada pengadilan Gubernemen adalah sistem hukum dualistic
atau pluralistic.
b. Peradilan
pribumi
Dalam
ordonansi tentang peradilan pribumi, ditetapkan beberapa aturan hukum acara
yang kata-katanya disusun dengan hati-hati dan lunak supaya bersesuaian dengan
hukum adat.
c. Peradilan
swapraja
Kaula
daerah swapraja menghadap hakim gurbernemen kecuali golongan keluarga sedarah
dan keluarga semenda dan beberapa pegawai tinggi yang tunduk pada peradilan
daerah swapraja. Akan tetapi hukum perdata dan pidana materiil untuk semua
kaula daerah swapraja sama. Tidak peduli apakah mereka masuk yurisdiksi hakim
gubernemen atau hakim daerah swapraja.
d. Peradilan
agama
Hukum
materiil dan formil yang harus berlaku dalam pengadilan agama adalah hukum
islam kecuali bila ada penundukan diri kepada hukum eropa.
e. Peradilan
desa
Berlaku
hukum adat baik materiil maupun formil.
4. Penundukan
atas kemauan sendiri kepada hukum perdata eropa
Untuk
golongan orang Hindia Belanda berlaku hukum perdata adat sepanjang
aturan-aturan undang-undang tidak berlaku bagi mereka. Dengan ketentuan pasal
131 ayat 4 I.S. orang-orang Hindia Belanda dapat menghapuskan keberlakuan hukum
adat dengan jalan menundukan diri atas kemauan sendiri kepada hukum perdata
eropa. Penundukan tersebut diatur lebih lengkap dalam sabda raja tanggal 15
Desember 1916, S. 1917 No. 12 yang diubah dengan S. 1926 No, 360.
5. Asas-asas
terpenting dari tatanan hukum sebelum perang yang berlaku di Hindia Belanda
adalah sejauh mungkin meneladani hukum yang berlaku di Kerajaan Belanda.
Daftar
Pustaka
R.
Supomo, 1953, SISTEM HUKUM di INDONESIA:
Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta.
[1] Perubahan Radikal adalah perubahan yang secara mendasar (sampai
kepada hal yang prinsip). Perubahan yang
menyangkut konstitusi tentu adalah perubahan radikal karena konsitusi adalah
undang-undang dasar. Dalam konteks ini, perubahan UUD yang dimaksud adalah
munculnya UUD NRI 1945 dari sebelumnya tanpa UUD.
[2] Lex posterior derogate legi priori.
[3] Hukum yang menggantikan hukum yang lama.
[4] Mengganti dalam perspektif legisme-positivistik adalah mencabut
undang-undang lama.
[5] Substansi/materi hukum yang ditambahkan tidak hanya terbatas pada
penambahan ketentuan atau aturan pada pasal-pasal, tetapi juga penghapusan
pasal-pasal tertentu dalam undang-undang yang diubah.
[6] Hal yang sama juga terjadi pada wetboek van strafrecht yang kini lebih
dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Pidana.
[7] Di masa lalu keberagaman hukum itu diistilahkan penggolongan hukum,
di masa kini istilah penggolongan hukum itu lebih sering disebut pluralisme
hukum.
[8] Dengan perubahan yang perlu-perlu.
[9] Pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla, periode 2014-2019
[10] Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, SBY-Boediono, periode
2009-2014
[11] Government acting as
colonialist. Frasa “pemerintah
yang bertindak sebagai kolonialis” lebih tepat bila
disajikan dalam Bahasa inggris, yaitu “Government
acting as colonialist”.
[12] Pakar botani Amerika yang belajar hukum secara otodidak namun
diakui sebagai salah satu pemikir hukum yang berpengaruh baik di Amerika maupun
di Indonesia.
[13] Hukum memiliki daya ikat dan daya paksa. Hal tersebut mampu
memaksakan perilaku/sikap tindak para subyek hukum (orang) untuk menyesuaikan
dengan tuntunan/tuntutan hukum yang mengikatnya. Hal tersebut membuat norma
hukum menjadi memiliki superioritas atas 3 (tiga) norma yang lain semisal norma
agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Pada press conference kasus “papa
minta saham”, Presiden Jokowi menambahkan norma baru yaitu norma kepatutan.
Namun demikian perlu diingat bahwa norma hukum tidak hanya terbatas pada norma
hukum tertulis namun juga meliputi norma hukum tidak tertulis semisal hukum
adat, hukum kebiasaan (customary law)
bahkan hukum keluarga sendiri serta hukum-hukum lain.
[14] Wilayah hukum atau tempat-tempat atau daerah-daerah yang di
dalamnya berlaku suatu hukum. Semisal yuridiksi Indonesia adalah seluruh tempat
atau wilayah atau daerah yang di dalamnya berlaku hukum Indonesia.
[15] Urusan sipil dalam negeri.
[16] Maksudnya anak-anak yang dalam arti hukum (de jure) tidak diketahui orang tuanya.
[17] Maksudnya anak-anak yang dalam kenyataan (de facto) tidak diketahui orang tuanya.
[18] Termasuk pejabat publik yang tidak digaji negara semisal notaris,
advokat bahkan untuk menjadi pegawai/pekerja/usahawan sektor privat pun ada
diberikan kesulitan tersendiri. Semua itu adalah dalam rangka perlindungan
kepentingan dalam negeri.
[19] Penafsiran hukum a contrario
adalah pemaknaan dengan makna sebaliknya dalam hal kondisi berlawanan. Misal
pada lapangan hukum perdata, karena secara tertulis kewajiban masa tunggu (iddah) kawin paska cerai hanya dibebankan
pada wanita maka meskipu tidak ada keterangan tertulis, laki-laki tidak
dibebankan masa tunggu. Contoh pada lapangan hukum pidana adalah karena
kewajiban menyidik dibebankan pada penyidik baik penyidik polri maupun penyidik
ASN (termasuk jaksa penyidik) maka tidak ada penyidik swasta (private investigator/detective) dalam
yuridiksi hukum Indonesia.
[20] Seandainya peraturan ini tetap dipertahankan maka bisa dipastikan
tidak ada penguasaan asing atas tambang Indonesia semisal yang dilakukan oleh Freeport,
Exxon, Newmont dan lain-lain.
[21] Negara dalam konteks ini jangan diartikan sebagaimana makna country/nation tapi hanya sebatas state(s).
[22] Sekarang istilah tersebut adalah Kepala Bakorwil.
[23] Rakyat yang dimaksud di sini bukanlah rakyat dalam artian ilmu
negara atau politik yang menjadi syarat berdirinya negara melainkan rakyat
dalam artian kumpulan orang-orang (peoples)
yang menduduki kasta-kasta tertentu.
[24] Yang kini dikenal dengan istilah rasisme
[25] Besar kemungkinan bahwa hal ini terkait dengan slogan kolonialisme
gold, gospel, glory. Slogan gospel adalah lambing upaya kolonialis untuk
menyebarkan ajaran gospel (injil.
[26] Berasal ini hendaknya jangan dianggap tempat kediaman yang terakhir
sebelum ke Hindia Belanda. Makna kata “berasal” adalah mereka yang
berkewarga-negaraan eropa.
[27] Ini terkait dengan perjanjian dagang dan pelayaran antara Kerajaan
Belanda dengan Kerajaan Jepang pada tahun 1898 (S. No. 49)
[28] Asas dari hukum keluarga belanda adalah: a. Monogami, b. pembatasan
belum cukup umur dan sudah cukup umur berdasarkan undang-undang, c. perbedaan
kedudukan hukum antara anak sah dan anak luar kawin, d. sistem hubungan
kerabat, e. pengakuan kepribadian sendiri dari anak dan istri. Sebagian besar
asas hukum ini merupakan antithesis hukum keluarga islam.
[29] Mengingat kedudukan status orang eropa ini mendapatkan privilege yang cukup signifikan maka
banyak orang yang berupa mendapatkan status orang eropa. Kedudukan orang eropa
itu bisa diraih antara lain dengan cara masuk kristen (sesuai misi gospel) atau
melalui perkawinan. Dampak signifikan dari aturan ini adalah banyaknya migrasi
orang Indonesia dan Thionghoa ke dalam agama kristen. Ketika syarat agama ini
diubah menjadi syarat kecakapan, banyak orang (khususnya jawa) yang kemudian kecele karena sudah terlanjur masuk
kristen namun tidak lagi mendapat status orang eropa. Sehingga ada ungkapan “londo durung, jowo wurung“(belum jadi
belanda tapi sudah batal jadi orang jawa).
[30] Yang dimaksud negatif bukanlah negatif dalam artian citra atau
nilai melainkan dengan metode menegatifkan dengan menggunakan teori residu.
Penggunakan teori residu ini dapat digambarkan dalam rumusan: bila seluruh
rakyat digolongkan dalam a, b, c. Golongan a memiliki definisi yang mengandung
batasan-batasan. Golongan b juga memiliki definisi yang mengandung
batasan-batasan. Maka golongan c tidak perlu didefinisikan dan tidak dibatasi
sehingga sisa (residu) dari a dan b adalah c.
[31] Bumi putera popular disebut inlander.
[32][32] Tanpa keterangan/ penjelasan lebih lanjut dari kata “asli” ini
berdampak pada pengenalan / pendefinisian pribumi ini menggunakan pendekatan
ras (fisik). Sehingga nuansa rasisme ini semakin menjadi-jadi. Kabar buruknya semangat rasisme ini
diadopsi uu otsus papua yang mendefinisikan bahwa orang asli papua adalah orang
yg berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di papua,
orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli papua oleh masyarakat adat
papua.
[33] Karena begitu besarnya superioritas golongan eropa terhadap
golongan pribumi.
[34] Contoh kasus orang golongan bumiputera murtad masuk kristen untuk mendapatkan status eropa lalu kembali
menjadi mualaf sesuai hati nurani dan
akal sehat sendiri. Dia tidak dapat dikembalikan ke dalam status bumiputera.
Hal itu mengesalkan para amptenaar
belanda.
[35] Hal ini mungkin akibat sumbangsih pemikiran orientalis islam asal
Belanda, Snouck Hurgronje. Dengan pendirian peradilan islam ini akan
mendekatkan kaum ulama dengan pemerintah sekaligus membatasi keberlakuan
syariah islam yang bersifat universal menjadi parsial dan sekuler. Uniknya
setelah merdeka pun pengadilan agama di Indonesia masih bersifat sekuler dan
parsial karena tidak bisa sepenuhnya menerapkan syariah islam.
[36] Perkara ini hanya terbatas pada perkara perdata.
[37] Semisal Van Vollenhoven dan Ter Haar
[38] Reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der
justitie, staatblad 1847 no. 63 (peraturan kekuasan kehakiman.
[39] Jadi tidak ada daya paksa dan daya ikat dari undang-undang untuk
mengajukan perkara kepada hakim desa. Bahkan jikapun sudah diputus oleh hakim
desa, maka perkara tersebut masih bisa diajukan kepada hakim gurbernemen maupun
hakim agama. Dengan demikian bisa dibilang putusan-putusan hakim desa tidak
memiliki kekuatan hukum.
[40] Hukuman yang dimaksud adalah pidana. Karena sesuai asas legalitas
hukum pidana, nullum delictum nulla poena
sine praevia lege poenali, yang berarti tidak ada delik (perbuatan) pidana,
tidak ada hukuman pidana tanpa di dasari peraturan yang mendahuluinya. Asas
tersebut termaktub pada WvS pasal 1 yang kira-kira berbunyi “Suatu perbuatan
tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada”.
[41] Karena dilarang mengenakan hukuman pidana maka seringkali
putusannya berisi hukuman semisal supaya diadakan upacara adat bersih desa atau
selamatan atau kadang-kadang putusannya adalah kewajiban menyampaikan
permohonan maaf saja sudah dianggap cukup dan hal-hal lain yang cenderung
bercorak sanksi sosial.
[42] Penundukan untuk seluruhnya itu tidak dapat ditarik kembali dan
meliputi isteri dan anak yang belum cukup umur dan keturunan-keturunan
selanjutnya dari yang menyatakan menundukan diri untuk seluruhnya. Namun
penundukan diri tersebut tidak membuat orang bumiputera berpindah golongan
menjadi golongan orang eropa. Dalam sengketa perdata bila ia berkedudukan
sebagai tergugat maka ia menghadap pengadilan-pengadilan eropa. Namun ketika
menghadapi tuntutan pidana maka dia diperiksa di pengadilan-pengadilan
Bumiputera.
[43] Adanya kebijakan ini adalah untuk memfasilitasi orang eropa yang
hendak mengadakan perjanjian dengan golongan rakyat lainnya. Karena kemungkinan
besar mereka meminta syarat agar pihak lawn menundukan diri kepada hukum eropa.
[44] Kalau seorang Hindia Belanda melakukan perbuatan hukum yang tidak
dikenal dalam hukum adat namun diatur dalam hukum perdata eropa maka ia
dianggap atas kemauan sendiri menundukan diri kepada hukum perdata eropa.
[45] Hak milik (eigendom) merupakan salah satu jenis hak kebendaan yang
diatur dalam BW (KUH Perdata). Dengan berlakunya UUPA, hak milik atas tanah
dicabut dari Buku II KUH Perdata. Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan
suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu
dengan kedaulatan sepenuhnya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak mengganggu hak-hak orang lain dengan
tidak mengurangi kemungkinan akan adanya pencabutan hak tersebut demi
kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dengan disertai
pembayaran ganti rugi (pasal 570 KUH Perdata).
[46] Oleh sebab itu perkawinan menurut undang-undang hanya sebagai
kontrak perdata.
[47] Badan penuntutan ini adalah kejaksaan. Yang karena perannya
memonopoli penuntutan berdampak pada timbulnya peran sebagai pengendali perkara
(dominis litis).
[48] Asas ini mendudukan tersangka sebagai objek pemeriksaan. Fase ini
biasa terjadi saat proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum.
[49] Asas ini mendudukan tersangka sejajar dengan penuntut, hakim wajib
bersifat netral, tidak memihak.
[50] Menurut undang-undang bukti harus berupa alat-alat bukti sesuai
yang dikehendaki undang-undang baik jenis maupun jumlahnya. Namun alat bukti
tidak mewajibkan hakim untuk menganggap bahwa bukti sudah diberikan. Hal
terpenting adalah keyakinan hakim.
[51] Corak hukum adat berbeda dengan corak hukum eropa yang individualistis-liberalis
[52] Artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi karena suatu
ikatan yang kelihatan (tandanya).
[53] Dari perspektif ini sistem hukum common law termasuk dalam hukum adat.
[54] Pengadilan tingkat pertama untuk bumiputera. Kini semacam
pengadilan negeri.
[55] Ketua landraad berwenang
memberikan nasihat dan pertolongan kepada penggugat demi mengajukan gugatnya.
Bahkan bila dianggap perlu, ia berwenang memberikan penerangan seperlunya dan
mengingatkan soal upaya-upaya hukum dan alat bukti.
[56] Hakim mempimpin seluruh acara. Tidak ada kewajiban menggunakan
advokat.
[57] Dengan perubahan yang perlu-perlu.
[58] Dalam artian tidak ada warga negara Hindia Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar