KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA PENJARA
F Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH E
BAB I PENDAHULUAN
Kemerdekaan bangsa Indonesia di samping merupakan rahmat Allah Yang Maha
Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan
kebangsaaan yang bebas, dan keinginan itu dicapai dengan membentuk pemerintah
negara Indonesia yang disusun dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian
Proklamasi Kemerdekaan seperti terungkap dalam Undang-Undang Dasar 1945
mengamanatkan juga usaha pembaharuan hukum di Indonesia. Usaha untuk
memperbaharui kehidupan kebangsaan dalam suasana tertib hukum itu dimulai
dengan disusunnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Persoalan pokok dalam penelitian ini berkisar pada masalah kebijakan
perundang-undangan dalam menetapkan dan merumuskan pidana penjara guna
menunjang usaha penanggulangan tindak pidana kejahatan di Indonesia. Pemilihan
dan penetapan sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan
yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Banyak kritik yang dilontarkan orang terhadap efektivitas dan segi-segi
negatif dari pidana penjara, sehingga pidana penjara ini termasuk salah satu
jenis sanksi pidana yang diragukan kemanfaatannya dan kurang disukai. Namun
sebaliknya, sekiranya pidana penjara yang kurang disukai tidak dapat
ditinggalkan sama sekali, maka masalah berikutnya terletak pada masalah
kebijakan menetapkan dan merumuskan pidana penjara itu sendiri dalam
perundang-undangan.
Kebijakan menetapkan sanksi pidana sebagai bagian dari usaha penanggulangan
kejahatan tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, merupakan kewajiban negara untuk
di satu pihak melindungi dan mensejahterakan masyarakat pada umumnya dari
gangguan perbuatan-perbuatan jahat dan di lain pihak juga berarti melindungi
dan mensejahterakan si pelaku kejahatan. Ini berarti dalam konsepsi tujuan
untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat menurut pandangan hidup bangsa
Indonesia, sekaligus juga mengandung tujuan untuk melindungi, memperbaiki,
mendidik dan mensejahterakan si pelaku kejahatan itu sendiri.
Penetapan pidana penjara secara terbatas dalam perundang-undangan yang
berorientasi pada perlindungan masyarakat dan perbaikan individu, menunjang
usaha penanggulangan kejahatan.
Metode penelitian yang digunakan dalam buku ini yaitu metode (1) Pendekatan
Masalah : pendekatannya ditempuh lewat pendekatan yuridis-normatif yang
ditunjang dan dilengkapi dengan pendekatan yuridis-empiris, pendekatan historis
dan pendekatan yuridis-komparatif, (2) Jenis dan Sumber Data : jenis data dalam
penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, sumbernya dari sumber
primer (terpusat pada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia) dan dari sumber
sekunder (dokumen atau risalah perundang-undangan, konsep rancangan
Undang-Undang, dan lain-lain), (3) Metode Pengumpulan Data : pengumpulan data
ditemupuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen, serta (4)
Penyajian Data dan Analisa : disajikan secara kualitatif dan kuantitatif.
BAB II KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN
PIDANA PENJARA
Kejahatan sebagai masalah sosial tidak hanya merupakan masalah bagi suatu
masyarakat tertentu (nasional), tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh
seluruh masyarakat di dunia. Hal itu telah menjadi fenomena internasional.
Dikatakan sebagai masalah internasional karena kualitasnya dipandang lebih
serius dibandingkan masa-masa lalu. Hal ini juga dibahas dalam kongres keempat
PBB mengenai masalah kejahatan dan pembangunan. Kejahatan telah diakui sebagai
suatu masalah socio politik yang tidak hanya menuntut
tindakan-tindakan yang bersifat teknis, tetapi memerlukan tindakan luas yang
disusun pada tingkatan politik yang tertinggi.
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana
dengan sanksinya yang berupa pidana. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum
pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam
bidang kebijakan penegakan hukum.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara
yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Disebut pula older philosophy of crime control. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar
hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana
merupakan “peninggalan dari kebiadaban kita di masa lalu” yang seharusnya
dihindari.
Sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh
ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan
melampaui batas. Dasar pemikiran lain ialah adanya paham determinisme yang
menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu
perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan
faktor-lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan sebenarnya
merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal.
Pengaruh determinisme ini yang menjadi ide dasar dan mempengaruhi aliran
positif di dalam kriminologi dengan tokohnya, antara lain Lambroso, Garofalo,
dan Ferri. Pandangan ini berlanjut pada gerakan modern mengenai the campaign against punishment.
Kampanye anti pidana ini masih terdengar di abad XX dengan slogan baru : the struggle against punishment atau abolition of punishment.
Menurut Olof Kinberg (ahli psikiatri forensik dan kriminolog Swedia)
menyatakan bahwa kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan ketidak-normalan
atau ketidak-matangan si pelanggar yang lebih memerlukan tindakan perawatan
daripada pidana. Kriminolog lainnya, Karl Menninger, menyatakan ‘sikap
memidana’ harus diganti dengan ‘sikap mengobati’.
Pandangan kontra terhadap penghapusan pidana di atas, dianggap keliru oleh
oleh beberapa ahli kriminolog lain. Roeslan Saleh tetap mempertahankan adanya
pidana dan hukum pidana dilihat dari sudut politik kriminal dan dari sudut
tujuan, fungsi dan pengaruh dari hukum pidana itu sendiri. Istilah yang ia
pakai ialah ‘masih adanya dasar susila dari hukum pidana’.
Alf Ross yang juga dari golongan tidak setuju menyatakan bahwa konsep Karl
Menninger merupakan konssep yang tidak jelas. Ross menyatakan bahwa :
a.
Merupakan asumsi yang tidak benar bahwa pencelaan moral
dan pidana yang merupakan perwujudan dari pencelaan moral itu adalah bertentangan
atau tidak cocok dengan pemikiran suatu kekeliruan yang disebabkan oleh
pandangan filsafat yang kacau;
b.
Merupakan asumsi yang tidak benar pencelaan moral dan
pidana yang merupakan perwujudan dari pencelaan moral itu tidak ada hubungannya
dengan tujuan sistem pidana, yaitu pencegahan; hal ini merupakan suatu kekeliruan
yang timbul
dari kebingungan konseptual bahwa ‘pencegahan’ (prevention) dan ‘pembalasan’ (retribution)
merupakan tujuan-tujuan pidana yang bersifat alternatif.
c.
Merupakan asumsi yang tidak benar bahwa tidak mungkin
merumuskan dan menerapkan suatu kriteria mengenai pertanggung-jawaban mental,
hal ini merupakan tuntutan yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan yang
diperlukan untuk membuat penilaian moral dan penilaian yuridis.
Pro dan kontra kebijakan terhadap adanya hukum pidana di atas tak
seharusnya dilihat secara apriori
atau absolut. Namun, yang terpenting
ialah garis-garis kebijakan atau pendekatan yang seyogyanya ditempuh dalam
menggunakan sanksi pidana itu. Karena manusia tidak hanya membutuhkan hal-hal
yang bersifat lahiriah tetapi juga batiniah, seperti rasa aman, rasa keadilan,
dan lain-lain.
Demi mewujudkan keutuhan dan kelangsungan hidup manusia dan masyarakat yang
selaras, diperlukan adanya norma atau tatanan tata tertib. Dengan norma itu
kualitas lingkungan hidup yang sehat dapat terlindungi dari gangguan-gangguan
pencemaran lingkungan sosial budaya. Salah satu gangguan adalah perbuatan jahat
atau tindak kriminal.
Tindak kriminal merupakan gejalan patologik yang perlu ditanggulangi secara
serius dan rasional seperti gejala-gejala sosial budaya lainnya. Oleh karena
itu, kebijakan perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial harus pula
dibarengi dengan kebijakan perencanaan perlindungan sosial. Salah satu bentuk
perencanaan perlindungan sosial ialah usaha-usaha yang rasional untuk
menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan ‘politik kriminal’.
Bertolak dari konsep pemikiran dan kebijakan yang integral itu, maka ada
dua hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sanksi pidana, yaitu :
a.
Perlu ada Pendekatan Integral antara Kebijakan Penal dan
Non-Penal
Pendekatan kebijakan yang integral berarti usaha
penanggulangan kejahatan secara utuh, yaitu sanksi pidana harus dipadukan
dengan usaha-usaha lain yang bersifat non-penal. Usaha-usaha non-penal meliputi
bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau
pembangunan nasional. Tujuan utama dari usaha non-penal adalah untuk
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung
mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
b.
Perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam
penggunaan sanksi pidana.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan perbuatan apa
yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya
digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (police oriented approach). Dengan kata lain kebijakan yang integral
ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tapi juga pada pembangunan hukum
pada umumnya. Problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah
kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi
kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai
ke dalam proses pembuatan keputusan. Masalah lain terletak pada sumber keuangan
untuk melakukan kebijakan itu.
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi yang paling sering
digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan. Pidana penjara
digunakan sebagai cara untuk menghukum para penjahat yang baru dimulai pada
bagian terakhir abad ke-18 yang bersumber pada pahan individualisme. Dengan makin
berkembangnya paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka hukum
pidana penjara semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana
mati dan pidana badan yang dipandang kejam.
Walau pidana penjara telah dianggap sebagai pidana dunia, namun dalam
perkembangannya pidana ini dianggap kurang efektif. Berdasarkan penelitian R.M.
Jackson mengenai perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali
bagi orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan
usia si pelaku. Dalam kongres PBB kelima, efektivitas pidana penjara ini juga
menjadi perdebatan sengit karena ada kecenderungan mengabaikan kemampuan
lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang pengendalian atau pengurangan
kejahatan. Terdapat kritik menarik dari sudut politik bahwa orang tidak menjadi
lebih baik tetapi justru lebih jahat setelah menjalani pidana penjara, terutama
jika dikenakan kepada anak-anak atau para remaja.
Berbagai kritik tersebut menimbulkan gelombang usaha untuk mencari bentuk
alternatif dari pidana penjara. Hal ini berarti adanya kecenderungan utk
menghindari atau membatasi penerapan pidana penjara serta usaha memperbaiki
pelaksanaannya. Sebagai salah satu hasilnya adalah adanya Standart Minimum Rules yang telah disetujui oleh Kongres PBB
pertama mengenai Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum pada tahun
1955 di Geneva, yang menyatakan bahwa untuk menampung, mengawasi dan membina
narapidana, maka jumlah narapidana tidak boleh melampaui kepasitas lembaga yang
pada umumnya disebabkan oleh besarnya jumlah narapidana yang dijatuhi pidana
pendek.
Urgensi untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan
perundang-undangan pidana sehubungan dengan perkembangan masyarakat dan
meningkatnya kriminalitas, juga menjadi topik pembicaraan dalam forum
internasional yaitu dalam Kongres PBB di Kyoto Jepang dengan tema sentral Crime and Development. Dikemukakan bahwa
perencanaan perlindungan masyarakat menuntut adanya peninjauan kembali dan
pembaharuan (review and reform)
terhadap hukum pidana di masing-masing negara. Selanjutnya, suatu perbedaan
telah terjadi antara perubahan-perubahan yang cepat di dalam pola-pola
kejahatan pada dua puluh lima tahun yang lalu dengan perundang-undangan pidana.
Keadaan ini memerlukan pendekatan yang berani dan kreatif untuk suatu
pembaharuan hukum, agar negara-negara secara efektif menghadapi
tantangan-tantangan dari masyarakat modern.
Colin Howard mengemukakan, peranan badan pembuat Undang-Undang dalam hukum
pidana dan penerapannya sangat penting, peranan legislatif dalam hal pemidanaan
meliputi penentuan-penentuan kebijakan dasar yang tidak hanya mengenai pidana
yang tepat untuk tiap-tiap tindak pidana, tetapi juga mengenai tipe pidana yang
disediakan untuk kekuasaan-kekuasaan pidana lainnya dan kadar kebijakan yang
diberikan kepada mereka dalam menetapkan pidana yang tepat untuk seorang
pelanggar tertentu.
BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Legislatif dalam menetapkan sanksi pidana penjara sebagai salah satu sarana
untuk menanggulangi tindak pidana kejahatan merupakan objek dari penelitian
ini. Tahap kebijakan legislatif yang disebut juga tahap formulasi merupakan
salah satu mata rantai dari perencanaan penegakan hukum, khususnya merupakan
bagian dari proses konkretisasi pidana. Tahap kebijakan ini merupakan tahap
awal dan sekaligus merupakan sumber landasan dari proses konkretisasi pidana
berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana.
Produk perundang-undangan pidana merupakan pusat perhatian utama dalam
penelitian ini, karena pada hakikatnya produk perundang-undangan itu merupakan
wadah perumusan kebijakan legislatif yang diambil atau yang ingin ditempuh
untuk mencapai tujuan tertentu. Produk perundang-undangan pidana yang diteliti
meliputi perundang-undangan pidana dalam arti sesungguhnya maupun
peraturan-peraturan hukum pidana dalam Undang-Undang tersendiri.
Untuk perundang-undangan yang pertama dilakukan penelitian terhadap KUHP
yang sekarang berlaku dengan segala perubahan dan penambahannya; sedangkan
untuk yang kedua diteliti 18 produk perundang-undangan di luar KUHP, tujuh
diantaranya merupakan Undang-Undang pidana khusus, yaitu UU tentang Senjata Api
dan Bahan Peledak, Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Imigrasi, tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentang
Narkotika, dan tentang Tindak Pidana Suap. Adapun 11 Undang-Undang lainnya
merupakan Undang-Undang yang memuat sanksi pidana untuk bidang-bidang tertentu,
yaitu berhubungan dengan pengawasan perburuhan, penempatan tenaga asing,
paspor, pokok-pokok perbankan, pajak penjualan, pajak perseorangan, lalu lintas
devisa, pemilihan umum, lingkungan hidup, wajib daftar perusahaan, dan hak
cipta.
Adapun dokumen atau risalah resmi mengenai proses terbentuknya
perundang-undangan pidana yang diteliti ialah yang tersimpan dalam bagian
dokumentasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat di Jakarta. Karena ada
keterbatasan prosedural dan administrasi, maka risalah-risalah yang dipelajari
hanyalah mengenai beberapa produk perundang-undangan pidana tertentu. Terutama
yang berhubungan dengan materi hukum pidana, yaitu risalah mengenai tindak
pidana korupsi (1971), penertiban perjudian (1974), kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan (1976), tindak pidana narkotika
(1976), dan tindak pidana suap (1980).
Penguraian sistematis terhadap gejala atau data yang diperoleh dalam
penelitian ini, dimulai pertama-tama dengan menyajikan data yang sejauh mungkin
dikemukakan secara kuantitatif. Data yang diperoleh itu kemudian dianalisa
secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif analitis dan preskriptif,
karena penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan data
sebagaimana adanya, tetapi juga bermaksud melukiskan realitas kebijakan
legislatif sebagaimana yang diharapkan.
BAB IV HASIL
PENELITAN DAN PEMBAHASAN
Masalah pidana penjara merupakan salah satu masalah sentral dalam politik
kriminal karena masalah ini merupakan masalah kebijakan, maka pendekatannya pun
harus dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Pidana
penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak ditetapkan dalam
perundang-undangan pidana selama ini. Walaupun pidana penjara cukup banyak
ditetapkan oleh pembuat Undang-Undang, namun dalam kenyataan perundang-undangan
selama ini tidak jelas, apa alasan atau dasar ditetapkannya pidana penjara itu
sebagai salah satu jenis sanksi pidana untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Penggunaan pidana penjara dan sanksi hukum pidana pada umumnya sebagai
salah satu sarana politik kriminal selama ini dianggap sebagai hal yang wajar.
Tidak pernah dipersoalkannya penggunaan sanksi pidana dan pidana penjara pada
khususnya, terlihat dalam proses terbentuknya perundang-undangan pidana yang
tersimpan di bagian dokumentasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat.
Dasar-dasar pertimbangan kriminalisasi dalam praktek legislatif selama ini
untuk beberapa perbuatan di bawah ini yaitu :
1.
Tindak Pidana Korupsi ialah bahwa korupsi merupakan
pembuatan yang sangat merugikan keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan Nasional.
2.
Tindak Pidana Perjudian ialah karena perjudian tidak
sesuai dengan agama dan moral Pancasila; membahayakan keamanan dan ketertiban
umum serta perkembangan masyarakat, bangsa dan negara; usaha pembangunan bidang
materiil tidak boleh menelantarkan pembangunan spiritual (berdasar asas
perikehidupan dalam keseimbangan); perjudian sudah meluas dan membawa
akibat-akibat negatif, sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan
perkembangan.
3.
Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana
penerbangan ialah karena semua perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan
penerbangan dan sarana/prasarana penerbangan itu sangat merugikan kehidupan
perekonomian negara dan pembangunan pada umumnya, dan sangat merugikan
kehidupan penerbangan nasional pada khususnya.
4.
Tindak pidana narkotika ialah bahwa perbuatan,
penyimpangan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan
pengawasan yang seksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku
merupakan kejahatan.
5.
Tindak pidana suap adalah bahwa perbuatan suap dalam
berbagai bentuk dan sifatnya di luar yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah ada pada hakekatnya juga bertentangan dengan
kesusilaan dan moral Pancasila yang membahayakan kehidupan masyarakat dan
bangsa.
Dapat dikatakan bahwa walaupun penggunaan sanksi pidana di dalam praktek
perundang-undangan Indonesia selama ini tidak pernah dipersoalkan, namun
penggunaannya bersifat selektif. Hal ini terlihat dari
pertimbangan-pertimbangan kriminalisasi di atas yang tampaknya didasarkan pada
garis-garis atau pola kebijakan tertentu, yakni bahwa sanksi pidana digunakan
terhadap perbuatan-perbuatan yang :
1.
Bertentangan dengan kesusilaan, agama dan moral
Pancasila;
2.
Membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara;
3.
Menghambat tercapainya pembangunan nasional.
Dari ketiga kriteria tersebut tampak bahwa kebijakan kriminalisasi dalam
praktek selama ini ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada nilai dan
juga pendekatan kebijakan. Menurut Bassiouni : pendekatan yang berorientasi pada kebijakan harus dipertimbangkan
sebagai suatu kebijaksanaan ilmiah. Namun, di Indonesia praktek
perundang-undangannya belum dikembangkan sepenuhnya sebagai suatu kebijaksanaan
ilmiah, dalam arti kebijaksanaan yang kebenarannya ditunjang oleh data empiris.
Persoalan pada proses kebijakan pada umumnya ialah berat ringannya ancaman
pidana penjara dan sistem perumusannya yang tercantum dalam RUU. Contohnya
dalam kasus suap, ada anggota Dewan yang menanyakan kriteria perbedaan ancaman
pidana untuk penyuap dan yang disuap yaitu mengapa si penyuap dipidana dengan
sistem kumulatif sedangkan untuk si penerima suap digunakan sistem alternatif.
Dan dijawab pemerintah bahwa karena si penyuap merupakan penyebab terjadinya
tindak pidana dan ia mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat maka terhadapnya
dikenakan sistem kumulatif; sedangkan untuk si penerima suap dikenakan sistem
alternatif karena pada umumnya ia dalam keadaan ekonomi lemah.
Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat dari kejahatan serta
keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban, dan pelaku. Oleh karena itu,
pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :
1.
Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut
menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.
2.
Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat
orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia
mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan
kejahatan.
3.
Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan
adil, baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.
George F. Flecher membagi dua kelompok pandangan mengenai tujuan atau dasar
pemikiran mengenai pidana. Kelompok pertama mendasarkan pokok pikirannya pada
konsekuensi-konsekuensi pidana itu sendiri untuk tujuan perlindungan
masyarakat. Para penganutnya bisa disebut para konsekuensialis. Kelompok kedua mendasarkan pokok pikirannya tidak
pada konsekuensi atau akibat-akibat yang mengikuti pidana itu sendiri, jadi
dengan tidak memandang kebaikan sosial yang mengikutinya, tetapi semata-mata
sebagai reaksi atau respons sosial yang pantas terhadap kejahatan. Kelompok
kedua ini disebut teori retributif.
Seberapa jauh efektivitas pidana penjara untuk mewujudkan tujuan
‘memulihkan keseimbangan masyarakat’ tidak dapat diukur dengan indikator naik
turunnya frekuensi kejahatan yang lebih bersifat kuantitatif. Indikator untuk
mengetahui telah pulihnya keseimbangan masyarakat antara lain : telah ada
penyelesaian konflik, telah ada kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, telah
hilangnya noda-noda di masyarakat atau telah pulihnya kembali nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Indikator-indikator itu lebih bersifat kualitatif
dibanding kuantitatif.
Jika ukuran efektivitas pidana dilihat dari aspek yang
menitikberatkan pada perbaikan si pelaku, maka suatu pidana efektif apabila
pidana itu sebanyak mungkin dapat merubah si pelaku menjadi orang yang baik.
Dengan demikian, menjadi penting perbandingan antara jumlah orang yang
mengulangi lagi perbuatan jahatnya (residivis) dengan jumlah yang tidak
mengulanginya lagi. Jadi indikator efektivitasnya ada pada keberhasilan pidana
ada pada sikap residivis. R.M. Jackson menyatakan bahwa suatu pidana adalah
efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode
tertentu.
Empat hal yang harus dipenuhi agar hukum dapat berlaku
efektif dalam arti mempunyai dampak positif, yaitu :
a.
Hukum positif tertulis yang ada harus mempunyai taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal yang selaras;
b.
Para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik
dan dapat memberikan teladan dalam kepatuhan hukum;
c.
Fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum harus
memadai;
d.
Warga masyarakat harus dididik agar dapat mematuhi hukum.
Nilai pidana penjara yang berupa mengamankan masyarakat dari orang-orang
yang bertingkah laku jahat dengan merampas kemerdekaannya, merupakan suatu
kebutuhan bagi setiap masyarakat yang menghendaki adanya ketertiban. Walaupun
mungkin pidana penjara tidak dapat diharapkan sepenuhnya untuk merubah tingkah
laku jahat seseorang, akan tetapi masyarakat memerlukan suatu upaya untuk
mengamankan dirinya dari gangguan orang-orang yang bertingkah laku jahat itu.
Peranan badan pembuat Undang-Undang dalam hukum pidana dan penerapannya
sangatlah penting. Peranan legislatif dalam hal pemidanaan meliputi penentuan
kebijakan dasar yang tidak hanya mengenai pidana yang tepat untuk tiap-tiap
tindak pidana, tetapi juga mengenai tipe pidana yang disediakan untuk kekuasaan
pemidanaan lainnya di tingkat bawah dan kadar kebijakan yang diberikan kepada
mereka dalam menetapkan pidana yang tepat untuk seorang pelanggar tertentu.
Dalam praktek perundang-undangan selama ini ada suatu garis kebijakan umum
untuk membedakan jenis pidana perampasan kemerdekaan yang berupa pidana penjara
dan pidana kurungan. Pembedaan ini ada dalam pengoperasionalan-nya. Pidana
penjara terutama diperuntukan bagi tindak pidana kejahatan dan pidana kurungan
untuk tindak pidana pelanggaran.
Tinjauan mengenai Pembedaan
Jenis-Jenis Pidana Perampasan Kemerdekaan dan Perumusannya di beberapa KUHP
Negara Lain
a.
KUHP Norwegia
Dalam KUHP Norwegia ini pidana pokok perampasan
kemerdekaan dibedakan menjadi imprisonment
dan jailing. Imprisonment dipandang
sebagai jenis pidana yang lebih berat daripada jailing, namun keduanya
diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan maupun pelanggaran. Perbedaannya
terletak pada jumlah lamanya pidana. Menurut KUHP Norwegia :
-
Pidana perampasan kemerdekaan dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu imprisonment dan jailing; imprisonment lebih berat daripada
jailing.
-
Pidana penjara (imprisonment) juga diancamkan terhadap
tindak pidana pelanggaran, hanya saja lebih ringan daripada yang diancamkan
untuk kejahatan.
-
Kedua jenis pidana perampasan kemerdekaan itu dicantumkan
dalam tiap-tiap perumusan tindak pidana, pengancaman atau perumusannya tetap
diorientasikan pada perbuatan.
b.
KUHP Polandia
Menurut KUHP Polandia untuk tindak pidana berat maupun
ringan kedua-duanya dapat dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan (sama seperti
di Indonesia). Menurut KUHP Polandia :
-
Pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) dapat
dikenakan pada semua jenis tindak pidana.
-
Pidana perampasan kemerdekaan atau pembatasan kemerdekaan
tetap dicantumkan dalam perumusan tindak pidana.
-
Pidana perampasan kemerdekaan yang diancamkan terhadap
tindak pidana berat, lebih lama daripada yang diancamkan terhadap tindak pidana
ringan.
-
Dalam hal tindak pidana (ringan) hanya diancam dengan
pidana perampasan kemerdekaan, dalam hal-hal tertentu hakim dapat menjatuhkan
pidana pembatasan kemerdekaan.
-
Pidana pembatasan kemerdekaan hanya diancamkan terhadap
tindak pidana ringan, dan dalam hal-hal tertentu pidana pembatasan kemerdekaan
ini dapat merupakan pidana alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan
yang dirumuskan sebagai satu-satunya ancaman pidana untuk tindak pidana
(ringan).
c.
KUHP Jepang dan KUHP Korea
Kedua KUHP ini dibicarakan bersama karena banyak
persamaan. Hal ini karena KUHP Jepang pernah berlaku di Korea selama kurang
lebih 40 tahun. Intinya adalah :
-
Di Jepang dan Korea dikenal tiga jenis pidana perampasan
kemerdekaan dengan urutan-urutan kualitas yaitu : (1) Penal servitude yakni pidana perampasan kemerdekaan dengan
kewajiban melakukan pekerjaan tertentu dengan maksimum 15 tahun; (2) Imprisonment yakni pidana perampasan
kemerdekaan tanpa kewajiban melakukan pekerjaan tertentu dengan maksimum 15
tahun; (3) Detention yakni pidana
perampasan kemerdekaan tanpa melakukan pekerjaan tertentu dengan maksimum 30
hari.
-
Ketiga jenis pidana perampasan kemerdekaan yang berbeda
kualitasnya itu tercantum dalam perumusan tindak pidana yang disebut dengan
istilah ‘kejahatan’; dengan kata lain, walaupun tindak pidana tidak dibagi
dalam beberapa jenis dan hanya dikenal satu jenis tindak pidana yang disebut
‘kejahatan’, tetapi ancaman pidana perampasan kemerdekaannya dibagi-bagi dalam
beberapa jenis atau tingkatan.
Di dalam kebijakan legislatif yang ada di Indonesia cenderung memperbesar
kemungkinan dijatuhkannya pidana penjara, hal ini dikarenakan hakim cenderung
mengacu pada perumusan tunggal yang hanya memuat ancaman penjara saja. Sistem
perumusan tunggal inipun terlihat juga pada perumusan delik-delik kejahatan di
luar KUHP, walaupun jumlah perumusan tunggal di luar KUHP tidak merupakan jenis
perumusan yang terbanyak, namun cukup banyak pidana penjara di luar KUHP ini
yang dirumuskan secara alternatif atau secara kumulatif-alternatif dengan
pidana denda. Hakim cenderung lebih sering menjatuhkan pidana penjara yang
rendah daripada menjatuhkan pidana denda yang relatif dipandang kurang efektif.
Dilihat dari sudut proses pengoperasinalisasian pidana penjara secara
selektif dan fleksibel, maka perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat
perintah dan mutlak (imperatif dan absolut) seperti halnya dengan perumusan
tunggal dan kumulatif, hanya dapat dibenarkan apabila disertai dengan perumusan
kebijakan yang dapat memperlunak penerapan kebijakan yang sifatnya imperatif
dan absolut itu. Perumusan kebijakan yang memperlunak perumusan kebijakan yang
kaku itu dapat dirumuskan sebagai kebijakan preventif maupun represif.
Kebijakan preventif ialah kebijakan yang diberikan oleh Undang-Undang
kepada aparat penegak hukum untuk mencegah atau tidak mengajukan tersangka ke
pangadilan. Kebijakan itu dapat ditempuh dengan memberikan kewenangan kepada
aparat penegak hukum untuk melakukan seleksi terhadap para tersangka yang akan
diajukan ke pangadilan, walaupun orang itu jelas-jelas telah melakukan suatu
tindak pidana. Kebijakan ini terlihat dalam sistem peradilan pidana di Jepang.
Dengan adanya kebijakan preventif dapat dikatakan bahwa perkara yang diajukan
ke pengadilan merupakan perkara yang benar-benar telah melalui seleksi yang
ketat.
Kebijakan represif dimaksudkan sebagai suatu kebijakan yang ditetapkan oleh
Undang-Undang untuk memperlunak penerapan sistem perumusan pidana penjara yang
bersifat imperatif dan absolut. Yang termasuk perumusan kebijakan represif
misalnya perumusan mengenai pidana bersyarat dan perumusan pedoman bagi hakim
dalam menetapkan pidana penjara yang dirumuskan secara imperatif, baik berupa
perumusan tunggal maupun perumusan kumulatif. Kebijakan represif lainnya selain
ketentuan pidana bersyarat, dapat ditempuh dengan menetapkan suatu pedoman bagi
hakim dalam menerapkan ancaman pidana penjara yang dirumuskan secara imperatif,
baik berupa perumusan tunggal maupun perumusan kumulatif. Pedoman ini merupakan
bagian dari pedoman pemberian pidana pada umumnya dan khususnya merupakan
bagian dari pedoman untuk menerapkan sistem perumusan ancaman pidana.
BAB V
RANGKUMAN KESELURUHAN
Indonesia merupakan negara yang mempertahankan pidana penjara di dalam
stelsel pidananya meskipun ada banyak kritik tajam mengenai hukuman pidana itu.
Kebijakan untuk tetap mempertahankan pidana penjara perlu mendapat peninjauan
kembali. Usaha peninjauan kembali itu tidak dapat dilepaskan dari usaha
pembaharuan hukum karena kebijakan legislatif selama ini masih berinduk pada
KUHP warisan zaman Belanda. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah
pembaharuan hukum maka kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus
tujuan dari politik hukum dan pembaharuan hukum seperti digariskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bahan masukan untuk melakukan
peninjauan kembali.
Ada beberapa faktor pendorong atau penunjang dalam perundang-undangan
selama ini yang memperbesar kemungkinan dijatuhkannya jenis pidana penjara
tanpa suatu landasan yang rasional, terutama sistem perumusan ancaman pidana
yang bersifat imperatif. Dengan diterimanya sistem perumusan imperatif di satu
pihak, terutama perumusan tunggal dan di samping itu dianut pula konsep
pemasyarakatan di lain pihak, maka keadaan demikian dirasakan sebagai sesuatu yang mengandung kontradiksi ide. Bila
hal itu harus dipadukan atau dimodifikasikan, maka jelas merupakan suatu masalah yang
memerlukan jalan keluar.
Kritik-kritik tajam yang sering dilontarkan selama ini terhadap pidana
penjara pada umumnya berpusat pada masalah efektivitas pidana baik dilihat dari
sudut prevensi spesial maupun dari sudut prevensi general. Efektivitas suatu
sarana dalam mencapai tujuannya, memang merupakan tolak ukur yang harus diperhitungkan dalam menetapkan
suatu kebijakan yang rasional. Namun dari penelitian yang dilakukan ternyata
efektivitas pidana ini tidak dapat digunakan sebagai tolak ukur absolut untuk
menentukan dasar pembenaran ditetapkannya pidana penjara sebagai salah satu
sarana kebijakan rasional dalam menanggulangi kejahatan.
Walaupun kritik-kritik tajam banyak dilontarkan terhadap pidana penjara,
namun dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata memang masih ada
nilai-nilai positif yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai dasar pembenaran
dipertahankannya kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana
penjara. Hanya saja dalam kebijakan legislatif selama ini terdapat
kondisi-kondisi yang kurang menunjang kebijakan selektif dan limitatif dalam
penggunaan pidana penjara.
Menurut Marc Ancel, ilmu hukum pidana modern mempunyai tiga komponen yang esensiil yaitu : kriminologi,
yang mempelajari fenomena kejahatan dalam segala aspeknya; hukum pidana, yang
menerangkan dan menerapkan hukum positif sebagai suatu reaksi masyarakat terhadap
fenomena kejahatan; dan akhirnya penal
policy (kebijakan pidana) yaitu suatu
ilmu dan sekaligus juga seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan-peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
memberi petunjuk tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang yang membuta
rancangan Undang-Undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana penjara yang
melaksanakan keputusan pengadilan.
BAB VI KESIMPULAN
Berdasarkan pro dan kontra hukum pidana yang ada, dalam situasi makin
meningkatnya frekuensi kejahatan dan adanya kecenderungan tindakan-tindakan
kekerasan di luar hukum, masyarakat masih memerlukan pidana penjara sebagai
suatu alternatif dari upaya pengamanan masyarakat yang di samping mempunyai
sifat keras (sebagai ciri khas dari hukum pidana) juga masih lebih manusiawi
daripada tindakan sewenang-wenang di luar hukum.
Dalam kongres-kongres PBB tentang The Preventation
of Crime and Threatment of Offenders selalu menekankan perlunya
usaha-usaha untuk mengembangkan dan memanfaatkan bentuk-bentuk alternatif dari pidana
penjara serta menekankan perlunya kebijakan terpadu dalam usaha penanggulangan
kejahatan, namum sampai dua kongresnya
yang terakhir pada tahun 1975 dan 1980 tetap mengakui dan mempertahankan adanya
pidana penjara yang tidak dapat dihapuskan sama sekali walaupun penggunaannya
harus dibatasi.
Dalam merumuskan ancaman pidana penjara sejauh mungkin dihindari perumusan
secara imperatif, terutama perumusan tunggal. Namun, apabila tidak dapat
dihindari maka perlu diimbangi dengan kebijakan legislatif yang bersifat
preventif maupun represif untuk menghindari, membatasi atau memperlunak
perumusan imperatif itu. Kebijakan yang bersifat preventif dapat ditempuh
dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penggunaan
penuntutan bersyarat. Kebijakan yang bersifat represif dapat ditempuh dengan
menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pidana bersyarat,
sehingga operasionalisasinya dapat lebih efektif; serta menyediakan ketentuan
bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara terhadap orang yang hanya
diancam dengan pidana penjara terhadap orang yang hanya diancam dengan pidana
penjara secara tunggal dengan menyediakan alternatif pidana atau tindakan lain
yang lebih ringan. JJJJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar