Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

RESUME BUKU KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA PENJARA

KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA PENJARA
F Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH E

BAB I  PENDAHULUAN
Kemerdekaan bangsa Indonesia di samping merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaaan yang bebas, dan keinginan itu dicapai dengan membentuk pemerintah negara Indonesia yang disusun dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian Proklamasi Kemerdekaan seperti terungkap dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan juga usaha pembaharuan hukum di Indonesia. Usaha untuk memperbaharui kehidupan kebangsaan dalam suasana tertib hukum itu dimulai dengan disusunnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Persoalan pokok dalam penelitian ini berkisar pada masalah kebijakan perundang-undangan dalam menetapkan dan merumuskan pidana penjara guna menunjang usaha penanggulangan tindak pidana kejahatan di Indonesia. Pemilihan dan penetapan sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Banyak kritik yang dilontarkan orang terhadap efektivitas dan segi-segi negatif dari pidana penjara, sehingga pidana penjara ini termasuk salah satu jenis sanksi pidana yang diragukan kemanfaatannya dan kurang disukai. Namun sebaliknya, sekiranya pidana penjara yang kurang disukai tidak dapat ditinggalkan sama sekali, maka masalah berikutnya terletak pada masalah kebijakan menetapkan dan merumuskan pidana penjara itu sendiri dalam perundang-undangan.
Kebijakan menetapkan sanksi pidana sebagai bagian dari usaha penanggulangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, merupakan kewajiban negara untuk di satu pihak melindungi dan mensejahterakan masyarakat pada umumnya dari gangguan perbuatan-perbuatan jahat dan di lain pihak juga berarti melindungi dan mensejahterakan si pelaku kejahatan. Ini berarti dalam konsepsi tujuan untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat menurut pandangan hidup bangsa Indonesia, sekaligus juga mengandung tujuan untuk melindungi, memperbaiki, mendidik dan mensejahterakan si pelaku kejahatan itu sendiri.
Penetapan pidana penjara secara terbatas dalam perundang-undangan yang berorientasi pada perlindungan masyarakat dan perbaikan individu, menunjang usaha penanggulangan kejahatan.
Metode penelitian yang digunakan dalam buku ini yaitu metode (1) Pendekatan Masalah : pendekatannya ditempuh lewat pendekatan yuridis-normatif yang ditunjang dan dilengkapi dengan pendekatan yuridis-empiris, pendekatan historis dan pendekatan yuridis-komparatif, (2) Jenis dan Sumber Data : jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, sumbernya dari sumber primer (terpusat pada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia) dan dari sumber sekunder (dokumen atau risalah perundang-undangan, konsep rancangan Undang-Undang, dan lain-lain), (3) Metode Pengumpulan Data : pengumpulan data ditemupuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen, serta (4) Penyajian Data dan Analisa : disajikan secara kualitatif dan kuantitatif.
BAB II KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA PENJARA
Kejahatan sebagai masalah sosial tidak hanya merupakan masalah bagi suatu masyarakat tertentu (nasional), tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia. Hal itu telah menjadi fenomena internasional. Dikatakan sebagai masalah internasional karena kualitasnya dipandang lebih serius dibandingkan masa-masa lalu. Hal ini juga dibahas dalam kongres keempat PBB mengenai masalah kejahatan dan pembangunan. Kejahatan telah diakui sebagai suatu masalah socio politik yang tidak hanya menuntut tindakan-tindakan yang bersifat teknis, tetapi memerlukan tindakan luas yang disusun pada tingkatan politik yang tertinggi.
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Disebut pula older philosophy of crime control. Ada pendapat yang menyatakan bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan “peninggalan dari kebiadaban kita di masa lalu” yang seharusnya dihindari.
Sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Dasar pemikiran lain ialah adanya paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor-lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal.
Pengaruh determinisme ini yang menjadi ide dasar dan mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi dengan tokohnya, antara lain Lambroso, Garofalo, dan Ferri. Pandangan ini berlanjut pada gerakan modern mengenai the campaign against punishment. Kampanye anti pidana ini masih terdengar di abad XX dengan slogan baru : the struggle against punishment atau abolition of punishment.
Menurut Olof Kinberg (ahli psikiatri forensik dan kriminolog Swedia) menyatakan bahwa kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan ketidak-normalan atau ketidak-matangan si pelanggar yang lebih memerlukan tindakan perawatan daripada pidana. Kriminolog lainnya, Karl Menninger, menyatakan ‘sikap memidana’ harus diganti dengan ‘sikap mengobati’.
Pandangan kontra terhadap penghapusan pidana di atas, dianggap keliru oleh oleh beberapa ahli kriminolog lain. Roeslan Saleh tetap mempertahankan adanya pidana dan hukum pidana dilihat dari sudut politik kriminal dan dari sudut tujuan, fungsi dan pengaruh dari hukum pidana itu sendiri. Istilah yang ia pakai ialah ‘masih adanya dasar susila dari hukum pidana’.
Alf Ross yang juga dari golongan tidak setuju menyatakan bahwa konsep Karl Menninger merupakan konssep yang tidak jelas. Ross menyatakan bahwa :
a.       Merupakan asumsi yang tidak benar bahwa pencelaan moral dan pidana yang merupakan perwujudan dari pencelaan moral itu adalah bertentangan atau tidak cocok dengan pemikiran suatu kekeliruan yang disebabkan oleh pandangan filsafat yang kacau;
b.      Merupakan asumsi yang tidak benar pencelaan moral dan pidana yang merupakan perwujudan dari pencelaan moral itu tidak ada hubungannya dengan tujuan sistem pidana, yaitu pencegahan; hal ini merupakan suatu kekeliruan yang timbul dari kebingungan konseptual bahwa ‘pencegahan’ (prevention) dan ‘pembalasan’ (retribution) merupakan tujuan-tujuan pidana yang bersifat alternatif.
c.       Merupakan asumsi yang tidak benar bahwa tidak mungkin merumuskan dan menerapkan suatu kriteria mengenai pertanggung-jawaban mental, hal ini merupakan tuntutan yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk membuat penilaian moral dan penilaian yuridis.
Pro dan kontra kebijakan terhadap adanya hukum pidana di atas tak seharusnya dilihat secara apriori atau absolut. Namun, yang terpenting ialah garis-garis kebijakan atau pendekatan yang seyogyanya ditempuh dalam menggunakan sanksi pidana itu. Karena manusia tidak hanya membutuhkan hal-hal yang bersifat lahiriah tetapi juga batiniah, seperti rasa aman, rasa keadilan, dan lain-lain.
Demi mewujudkan keutuhan dan kelangsungan hidup manusia dan masyarakat yang selaras, diperlukan adanya norma atau tatanan tata tertib. Dengan norma itu kualitas lingkungan hidup yang sehat dapat terlindungi dari gangguan-gangguan pencemaran lingkungan sosial budaya. Salah satu gangguan adalah perbuatan jahat atau tindak kriminal.
Tindak kriminal merupakan gejalan patologik yang perlu ditanggulangi secara serius dan rasional seperti gejala-gejala sosial budaya lainnya. Oleh karena itu, kebijakan perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial harus pula dibarengi dengan kebijakan perencanaan perlindungan sosial. Salah satu bentuk perencanaan perlindungan sosial ialah usaha-usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan ‘politik kriminal’.
Bertolak dari konsep pemikiran dan kebijakan yang integral itu, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, yaitu :
a.       Perlu ada Pendekatan Integral antara Kebijakan Penal dan Non-Penal
Pendekatan kebijakan yang integral berarti usaha penanggulangan kejahatan secara utuh, yaitu sanksi pidana harus dipadukan dengan usaha-usaha lain yang bersifat non-penal. Usaha-usaha non-penal meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama dari usaha non-penal adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
b.      Perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi pidana.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (police oriented approach). Dengan kata lain kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai ke dalam proses pembuatan keputusan. Masalah lain terletak pada sumber keuangan untuk melakukan kebijakan itu.
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan. Pidana penjara digunakan sebagai cara untuk menghukum para penjahat yang baru dimulai pada bagian terakhir abad ke-18 yang bersumber pada pahan individualisme. Dengan makin berkembangnya paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka hukum pidana penjara semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam.
Walau pidana penjara telah dianggap sebagai pidana dunia, namun dalam perkembangannya pidana ini dianggap kurang efektif. Berdasarkan penelitian R.M. Jackson mengenai perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali bagi orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia si pelaku. Dalam kongres PBB kelima, efektivitas pidana penjara ini juga menjadi perdebatan sengit karena ada kecenderungan mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang pengendalian atau pengurangan kejahatan. Terdapat kritik menarik dari sudut politik bahwa orang tidak menjadi lebih baik tetapi justru lebih jahat setelah menjalani pidana penjara, terutama jika dikenakan kepada anak-anak atau para remaja.
Berbagai kritik tersebut menimbulkan gelombang usaha untuk mencari bentuk alternatif dari pidana penjara. Hal ini berarti adanya kecenderungan utk menghindari atau membatasi penerapan pidana penjara serta usaha memperbaiki pelaksanaannya. Sebagai salah satu hasilnya adalah adanya Standart Minimum Rules yang telah disetujui oleh Kongres PBB pertama mengenai Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum pada tahun 1955 di Geneva, yang menyatakan bahwa untuk menampung, mengawasi dan membina narapidana, maka jumlah narapidana tidak boleh melampaui kepasitas lembaga yang pada umumnya disebabkan oleh besarnya jumlah narapidana yang dijatuhi pidana pendek.
Urgensi untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan perundang-undangan pidana sehubungan dengan perkembangan masyarakat dan meningkatnya kriminalitas, juga menjadi topik pembicaraan dalam forum internasional yaitu dalam Kongres PBB di Kyoto Jepang dengan tema sentral Crime and Development. Dikemukakan bahwa perencanaan perlindungan masyarakat menuntut adanya peninjauan kembali dan pembaharuan (review and reform) terhadap hukum pidana di masing-masing negara. Selanjutnya, suatu perbedaan telah terjadi antara perubahan-perubahan yang cepat di dalam pola-pola kejahatan pada dua puluh lima tahun yang lalu dengan perundang-undangan pidana. Keadaan ini memerlukan pendekatan yang berani dan kreatif untuk suatu pembaharuan hukum, agar negara-negara secara efektif menghadapi tantangan-tantangan dari masyarakat modern.
Colin Howard mengemukakan, peranan badan pembuat Undang-Undang dalam hukum pidana dan penerapannya sangat penting, peranan legislatif dalam hal pemidanaan meliputi penentuan-penentuan kebijakan dasar yang tidak hanya mengenai pidana yang tepat untuk tiap-tiap tindak pidana, tetapi juga mengenai tipe pidana yang disediakan untuk kekuasaan-kekuasaan pidana lainnya dan kadar kebijakan yang diberikan kepada mereka dalam menetapkan pidana yang tepat untuk seorang pelanggar tertentu.
BAB III  DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Legislatif dalam menetapkan sanksi pidana penjara sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi tindak pidana kejahatan merupakan objek dari penelitian ini. Tahap kebijakan legislatif yang disebut juga tahap formulasi merupakan salah satu mata rantai dari perencanaan penegakan hukum, khususnya merupakan bagian dari proses konkretisasi pidana. Tahap kebijakan ini merupakan tahap awal dan sekaligus merupakan sumber landasan dari proses konkretisasi pidana berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana.
Produk perundang-undangan pidana merupakan pusat perhatian utama dalam penelitian ini, karena pada hakikatnya produk perundang-undangan itu merupakan wadah perumusan kebijakan legislatif yang diambil atau yang ingin ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Produk perundang-undangan pidana yang diteliti meliputi perundang-undangan pidana dalam arti sesungguhnya maupun peraturan-peraturan hukum pidana dalam Undang-Undang tersendiri.
Untuk perundang-undangan yang pertama dilakukan penelitian terhadap KUHP yang sekarang berlaku dengan segala perubahan dan penambahannya; sedangkan untuk yang kedua diteliti 18 produk perundang-undangan di luar KUHP, tujuh diantaranya merupakan Undang-Undang pidana khusus, yaitu UU tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Imigrasi, tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentang Narkotika, dan tentang Tindak Pidana Suap. Adapun 11 Undang-Undang lainnya merupakan Undang-Undang yang memuat sanksi pidana untuk bidang-bidang tertentu, yaitu berhubungan dengan pengawasan perburuhan, penempatan tenaga asing, paspor, pokok-pokok perbankan, pajak penjualan, pajak perseorangan, lalu lintas devisa, pemilihan umum, lingkungan hidup, wajib daftar perusahaan, dan hak cipta.
Adapun dokumen atau risalah resmi mengenai proses terbentuknya perundang-undangan pidana yang diteliti ialah yang tersimpan dalam bagian dokumentasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat di Jakarta. Karena ada keterbatasan prosedural dan administrasi, maka risalah-risalah yang dipelajari hanyalah mengenai beberapa produk perundang-undangan pidana tertentu. Terutama yang berhubungan dengan materi hukum pidana, yaitu risalah mengenai tindak pidana korupsi (1971), penertiban perjudian (1974), kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan (1976), tindak pidana narkotika (1976), dan tindak pidana suap (1980).
Penguraian sistematis terhadap gejala atau data yang diperoleh dalam penelitian ini, dimulai pertama-tama dengan menyajikan data yang sejauh mungkin dikemukakan secara kuantitatif. Data yang diperoleh itu kemudian dianalisa secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif analitis dan preskriptif, karena penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan data sebagaimana adanya, tetapi juga bermaksud melukiskan realitas kebijakan legislatif sebagaimana yang diharapkan.

BAB IV  HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN
Masalah pidana penjara merupakan salah satu masalah sentral dalam politik kriminal karena masalah ini merupakan masalah kebijakan, maka pendekatannya pun harus dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak ditetapkan dalam perundang-undangan pidana selama ini. Walaupun pidana penjara cukup banyak ditetapkan oleh pembuat Undang-Undang, namun dalam kenyataan perundang-undangan selama ini tidak jelas, apa alasan atau dasar ditetapkannya pidana penjara itu sebagai salah satu jenis sanksi pidana untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Penggunaan pidana penjara dan sanksi hukum pidana pada umumnya sebagai salah satu sarana politik kriminal selama ini dianggap sebagai hal yang wajar. Tidak pernah dipersoalkannya penggunaan sanksi pidana dan pidana penjara pada khususnya, terlihat dalam proses terbentuknya perundang-undangan pidana yang tersimpan di bagian dokumentasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat.
Dasar-dasar pertimbangan kriminalisasi dalam praktek legislatif selama ini untuk beberapa perbuatan di bawah ini yaitu :
1.      Tindak Pidana Korupsi ialah bahwa korupsi merupakan pembuatan yang sangat merugikan keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan Nasional.
2.      Tindak Pidana Perjudian ialah karena perjudian tidak sesuai dengan agama dan moral Pancasila; membahayakan keamanan dan ketertiban umum serta perkembangan masyarakat, bangsa dan negara; usaha pembangunan bidang materiil tidak boleh menelantarkan pembangunan spiritual (berdasar asas perikehidupan dalam keseimbangan); perjudian sudah meluas dan membawa akibat-akibat negatif, sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan.
3.      Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan ialah karena semua perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan penerbangan dan sarana/prasarana penerbangan itu sangat merugikan kehidupan perekonomian negara dan pembangunan pada umumnya, dan sangat merugikan kehidupan penerbangan nasional pada khususnya.
4.      Tindak pidana narkotika ialah bahwa perbuatan, penyimpangan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan.
5.      Tindak pidana suap adalah bahwa perbuatan suap dalam berbagai bentuk dan sifatnya di luar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada hakekatnya juga bertentangan dengan kesusilaan dan moral Pancasila yang membahayakan kehidupan masyarakat dan bangsa.
Dapat dikatakan bahwa walaupun penggunaan sanksi pidana di dalam praktek perundang-undangan Indonesia selama ini tidak pernah dipersoalkan, namun penggunaannya bersifat selektif. Hal ini terlihat dari pertimbangan-pertimbangan kriminalisasi di atas yang tampaknya didasarkan pada garis-garis atau pola kebijakan tertentu, yakni bahwa sanksi pidana digunakan terhadap perbuatan-perbuatan yang :
1.      Bertentangan dengan kesusilaan, agama dan moral Pancasila;
2.      Membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara;
3.      Menghambat tercapainya pembangunan nasional.
Dari ketiga kriteria tersebut tampak bahwa kebijakan kriminalisasi dalam praktek selama ini ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada nilai dan juga pendekatan kebijakan. Menurut Bassiouni : pendekatan yang berorientasi pada kebijakan harus dipertimbangkan sebagai suatu kebijaksanaan ilmiah. Namun, di Indonesia praktek perundang-undangannya belum dikembangkan sepenuhnya sebagai suatu kebijaksanaan ilmiah, dalam arti kebijaksanaan yang kebenarannya ditunjang oleh data empiris.
Persoalan pada proses kebijakan pada umumnya ialah berat ringannya ancaman pidana penjara dan sistem perumusannya yang tercantum dalam RUU. Contohnya dalam kasus suap, ada anggota Dewan yang menanyakan kriteria perbedaan ancaman pidana untuk penyuap dan yang disuap yaitu mengapa si penyuap dipidana dengan sistem kumulatif sedangkan untuk si penerima suap digunakan sistem alternatif. Dan dijawab pemerintah bahwa karena si penyuap merupakan penyebab terjadinya tindak pidana dan ia mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat maka terhadapnya dikenakan sistem kumulatif; sedangkan untuk si penerima suap dikenakan sistem alternatif karena pada umumnya ia dalam keadaan ekonomi lemah.
Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban, dan pelaku. Oleh karena itu, pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :
1.      Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.
2.      Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
3.      Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.
George F. Flecher membagi dua kelompok pandangan mengenai tujuan atau dasar pemikiran mengenai pidana. Kelompok pertama mendasarkan pokok pikirannya pada konsekuensi-konsekuensi pidana itu sendiri untuk tujuan perlindungan masyarakat. Para penganutnya bisa disebut para konsekuensialis. Kelompok kedua mendasarkan pokok pikirannya tidak pada konsekuensi atau akibat-akibat yang mengikuti pidana itu sendiri, jadi dengan tidak memandang kebaikan sosial yang mengikutinya, tetapi semata-mata sebagai reaksi atau respons sosial yang pantas terhadap kejahatan. Kelompok kedua ini disebut teori retributif.
Seberapa jauh efektivitas pidana penjara untuk mewujudkan tujuan ‘memulihkan keseimbangan masyarakat’ tidak dapat diukur dengan indikator naik turunnya frekuensi kejahatan yang lebih bersifat kuantitatif. Indikator untuk mengetahui telah pulihnya keseimbangan masyarakat antara lain : telah ada penyelesaian konflik, telah ada kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, telah hilangnya noda-noda di masyarakat atau telah pulihnya kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Indikator-indikator itu lebih bersifat kualitatif dibanding kuantitatif.
Jika ukuran efektivitas pidana dilihat dari aspek yang menitikberatkan pada perbaikan si pelaku, maka suatu pidana efektif apabila pidana itu sebanyak mungkin dapat merubah si pelaku menjadi orang yang baik. Dengan demikian, menjadi penting perbandingan antara jumlah orang yang mengulangi lagi perbuatan jahatnya (residivis) dengan jumlah yang tidak mengulanginya lagi. Jadi indikator efektivitasnya ada pada keberhasilan pidana ada pada sikap residivis. R.M. Jackson menyatakan bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. 
Empat hal yang harus dipenuhi agar hukum dapat berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, yaitu :
a.       Hukum positif tertulis yang ada harus mempunyai taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yang selaras;
b.      Para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik dan dapat memberikan teladan dalam kepatuhan hukum;
c.       Fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum harus memadai;
d.      Warga masyarakat harus dididik agar dapat mematuhi hukum.
Nilai pidana penjara yang berupa mengamankan masyarakat dari orang-orang yang bertingkah laku jahat dengan merampas kemerdekaannya, merupakan suatu kebutuhan bagi setiap masyarakat yang menghendaki adanya ketertiban. Walaupun mungkin pidana penjara tidak dapat diharapkan sepenuhnya untuk merubah tingkah laku jahat seseorang, akan tetapi masyarakat memerlukan suatu upaya untuk mengamankan dirinya dari gangguan orang-orang yang bertingkah laku jahat itu.
Peranan badan pembuat Undang-Undang dalam hukum pidana dan penerapannya sangatlah penting. Peranan legislatif dalam hal pemidanaan meliputi penentuan kebijakan dasar yang tidak hanya mengenai pidana yang tepat untuk tiap-tiap tindak pidana, tetapi juga mengenai tipe pidana yang disediakan untuk kekuasaan pemidanaan lainnya di tingkat bawah dan kadar kebijakan yang diberikan kepada mereka dalam menetapkan pidana yang tepat untuk seorang pelanggar tertentu.
Dalam praktek perundang-undangan selama ini ada suatu garis kebijakan umum untuk membedakan jenis pidana perampasan kemerdekaan yang berupa pidana penjara dan pidana kurungan. Pembedaan ini ada dalam pengoperasionalan-nya. Pidana penjara terutama diperuntukan bagi tindak pidana kejahatan dan pidana kurungan untuk tindak pidana pelanggaran.
Tinjauan mengenai Pembedaan Jenis-Jenis Pidana Perampasan Kemerdekaan dan Perumusannya di beberapa KUHP Negara Lain
a.      KUHP Norwegia
Dalam KUHP Norwegia ini pidana pokok perampasan kemerdekaan dibedakan menjadi imprisonment dan jailing. Imprisonment dipandang sebagai jenis pidana yang lebih berat daripada jailing, namun keduanya diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan maupun pelanggaran. Perbedaannya terletak pada jumlah lamanya pidana. Menurut KUHP Norwegia :
-          Pidana perampasan kemerdekaan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu imprisonment dan jailing; imprisonment lebih berat daripada jailing.
-          Pidana penjara (imprisonment) juga diancamkan terhadap tindak pidana pelanggaran, hanya saja lebih ringan daripada yang diancamkan untuk kejahatan.
-          Kedua jenis pidana perampasan kemerdekaan itu dicantumkan dalam tiap-tiap perumusan tindak pidana, pengancaman atau perumusannya tetap diorientasikan pada perbuatan.
b.      KUHP Polandia
Menurut KUHP Polandia untuk tindak pidana berat maupun ringan kedua-duanya dapat dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan (sama seperti di Indonesia). Menurut KUHP Polandia :
-          Pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) dapat dikenakan pada semua jenis tindak pidana.
-          Pidana perampasan kemerdekaan atau pembatasan kemerdekaan tetap dicantumkan dalam perumusan tindak pidana.
-          Pidana perampasan kemerdekaan yang diancamkan terhadap tindak pidana berat, lebih lama daripada yang diancamkan terhadap tindak pidana ringan.
-          Dalam hal tindak pidana (ringan) hanya diancam dengan pidana perampasan kemerdekaan, dalam hal-hal tertentu hakim dapat menjatuhkan pidana pembatasan kemerdekaan.
-          Pidana pembatasan kemerdekaan hanya diancamkan terhadap tindak pidana ringan, dan dalam hal-hal tertentu pidana pembatasan kemerdekaan ini dapat merupakan pidana alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang dirumuskan sebagai satu-satunya ancaman pidana untuk tindak pidana (ringan).
c.       KUHP Jepang dan KUHP Korea
Kedua KUHP ini dibicarakan bersama karena banyak persamaan. Hal ini karena KUHP Jepang pernah berlaku di Korea selama kurang lebih 40 tahun. Intinya adalah :
-          Di Jepang dan Korea dikenal tiga jenis pidana perampasan kemerdekaan dengan urutan-urutan kualitas yaitu : (1) Penal servitude yakni pidana perampasan kemerdekaan dengan kewajiban melakukan pekerjaan tertentu dengan maksimum 15 tahun; (2) Imprisonment yakni pidana perampasan kemerdekaan tanpa kewajiban melakukan pekerjaan tertentu dengan maksimum 15 tahun; (3) Detention yakni pidana perampasan kemerdekaan tanpa melakukan pekerjaan tertentu dengan maksimum 30 hari.
-          Ketiga jenis pidana perampasan kemerdekaan yang berbeda kualitasnya itu tercantum dalam perumusan tindak pidana yang disebut dengan istilah ‘kejahatan’; dengan kata lain, walaupun tindak pidana tidak dibagi dalam beberapa jenis dan hanya dikenal satu jenis tindak pidana yang disebut ‘kejahatan’, tetapi ancaman pidana perampasan kemerdekaannya dibagi-bagi dalam beberapa jenis atau tingkatan.
Di dalam kebijakan legislatif yang ada di Indonesia cenderung memperbesar kemungkinan dijatuhkannya pidana penjara, hal ini dikarenakan hakim cenderung mengacu pada perumusan tunggal yang hanya memuat ancaman penjara saja. Sistem perumusan tunggal inipun terlihat juga pada perumusan delik-delik kejahatan di luar KUHP, walaupun jumlah perumusan tunggal di luar KUHP tidak merupakan jenis perumusan yang terbanyak, namun cukup banyak pidana penjara di luar KUHP ini yang dirumuskan secara alternatif atau secara kumulatif-alternatif dengan pidana denda. Hakim cenderung lebih sering menjatuhkan pidana penjara yang rendah daripada menjatuhkan pidana denda yang relatif dipandang kurang efektif.
Dilihat dari sudut proses pengoperasinalisasian pidana penjara secara selektif dan fleksibel, maka perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat perintah dan mutlak (imperatif dan absolut) seperti halnya dengan perumusan tunggal dan kumulatif, hanya dapat dibenarkan apabila disertai dengan perumusan kebijakan yang dapat memperlunak penerapan kebijakan yang sifatnya imperatif dan absolut itu. Perumusan kebijakan yang memperlunak perumusan kebijakan yang kaku itu dapat dirumuskan sebagai kebijakan preventif maupun represif.
Kebijakan preventif ialah kebijakan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada aparat penegak hukum untuk mencegah atau tidak mengajukan tersangka ke pangadilan. Kebijakan itu dapat ditempuh dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan seleksi terhadap para tersangka yang akan diajukan ke pangadilan, walaupun orang itu jelas-jelas telah melakukan suatu tindak pidana. Kebijakan ini terlihat dalam sistem peradilan pidana di Jepang. Dengan adanya kebijakan preventif dapat dikatakan bahwa perkara yang diajukan ke pengadilan merupakan perkara yang benar-benar telah melalui seleksi yang ketat.
Kebijakan represif dimaksudkan sebagai suatu kebijakan yang ditetapkan oleh Undang-Undang untuk memperlunak penerapan sistem perumusan pidana penjara yang bersifat imperatif dan absolut. Yang termasuk perumusan kebijakan represif misalnya perumusan mengenai pidana bersyarat dan perumusan pedoman bagi hakim dalam menetapkan pidana penjara yang dirumuskan secara imperatif, baik berupa perumusan tunggal maupun perumusan kumulatif. Kebijakan represif lainnya selain ketentuan pidana bersyarat, dapat ditempuh dengan menetapkan suatu pedoman bagi hakim dalam menerapkan ancaman pidana penjara yang dirumuskan secara imperatif, baik berupa perumusan tunggal maupun perumusan kumulatif. Pedoman ini merupakan bagian dari pedoman pemberian pidana pada umumnya dan khususnya merupakan bagian dari pedoman untuk menerapkan sistem perumusan ancaman pidana.
BAB V  RANGKUMAN KESELURUHAN
Indonesia merupakan negara yang mempertahankan pidana penjara di dalam stelsel pidananya meskipun ada banyak kritik tajam mengenai hukuman pidana itu. Kebijakan untuk tetap mempertahankan pidana penjara perlu mendapat peninjauan kembali. Usaha peninjauan kembali itu tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan hukum karena kebijakan legislatif selama ini masih berinduk pada KUHP warisan zaman Belanda. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah pembaharuan hukum maka kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan dari politik hukum dan pembaharuan hukum seperti digariskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bahan masukan untuk melakukan peninjauan kembali.
Ada beberapa faktor pendorong atau penunjang dalam perundang-undangan selama ini yang memperbesar kemungkinan dijatuhkannya jenis pidana penjara tanpa suatu landasan yang rasional, terutama sistem perumusan ancaman pidana yang bersifat imperatif. Dengan diterimanya sistem perumusan imperatif di satu pihak, terutama perumusan tunggal dan di samping itu dianut pula konsep pemasyarakatan di lain pihak, maka keadaan demikian dirasakan sebagai sesuatu yang mengandung kontradiksi ide. Bila hal itu harus dipadukan atau dimodifikasikan, maka jelas merupakan suatu masalah yang memerlukan jalan keluar.
Kritik-kritik tajam yang sering dilontarkan selama ini terhadap pidana penjara pada umumnya berpusat pada masalah efektivitas pidana baik dilihat dari sudut prevensi spesial maupun dari sudut prevensi general. Efektivitas suatu sarana dalam mencapai tujuannya, memang merupakan tolak ukur yang harus diperhitungkan dalam menetapkan suatu kebijakan yang rasional. Namun dari penelitian yang dilakukan ternyata efektivitas pidana ini tidak dapat digunakan sebagai tolak ukur absolut untuk menentukan dasar pembenaran ditetapkannya pidana penjara sebagai salah satu sarana kebijakan rasional dalam menanggulangi kejahatan.
Walaupun kritik-kritik tajam banyak dilontarkan terhadap pidana penjara, namun dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata memang masih ada nilai-nilai positif yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar pembenaran dipertahankannya kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana penjara. Hanya saja dalam kebijakan legislatif selama ini terdapat kondisi-kondisi yang kurang menunjang kebijakan selektif dan limitatif dalam penggunaan pidana penjara.
Menurut Marc Ancel, ilmu hukum pidana modern mempunyai tiga komponen yang esensiil yaitu : kriminologi, yang mempelajari fenomena kejahatan dalam segala aspeknya; hukum pidana, yang menerangkan dan menerapkan hukum positif sebagai suatu reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan; dan akhirnya penal policy (kebijakan pidana) yaitu suatu ilmu dan sekaligus juga seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan-peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan memberi petunjuk tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang yang membuta rancangan Undang-Undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana penjara yang melaksanakan keputusan pengadilan.
BAB VI  KESIMPULAN
Berdasarkan pro dan kontra hukum pidana yang ada, dalam situasi makin meningkatnya frekuensi kejahatan dan adanya kecenderungan tindakan-tindakan kekerasan di luar hukum, masyarakat masih memerlukan pidana penjara sebagai suatu alternatif dari upaya pengamanan masyarakat yang di samping mempunyai sifat keras (sebagai ciri khas dari hukum pidana) juga masih lebih manusiawi daripada tindakan sewenang-wenang di luar hukum.
Dalam kongres-kongres PBB tentang The Preventation of Crime and Threatment of Offenders selalu menekankan perlunya usaha-usaha untuk mengembangkan dan memanfaatkan bentuk-bentuk alternatif dari pidana penjara serta menekankan perlunya kebijakan terpadu dalam usaha penanggulangan kejahatan, namum sampai  dua kongresnya yang terakhir pada tahun 1975 dan 1980 tetap mengakui dan mempertahankan adanya pidana penjara yang tidak dapat dihapuskan sama sekali walaupun penggunaannya harus dibatasi.

Dalam merumuskan ancaman pidana penjara sejauh mungkin dihindari perumusan secara imperatif, terutama perumusan tunggal. Namun, apabila tidak dapat dihindari maka perlu diimbangi dengan kebijakan legislatif yang bersifat preventif maupun represif untuk menghindari, membatasi atau memperlunak perumusan imperatif itu. Kebijakan yang bersifat preventif dapat ditempuh dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penggunaan penuntutan bersyarat. Kebijakan yang bersifat represif dapat ditempuh dengan menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pidana bersyarat, sehingga operasionalisasinya dapat lebih efektif; serta menyediakan ketentuan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara terhadap orang yang hanya diancam dengan pidana penjara terhadap orang yang hanya diancam dengan pidana penjara secara tunggal dengan menyediakan alternatif pidana atau tindakan lain yang lebih ringan. JJJJJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar