FILSAFAT HUKUM
Dimensi
Tematik dan Historis
Karya : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH., MS.
BAB I PENDAHULUAN
Filsafat Hukum adalah filsafat yang merenungkan aspek
filosofis dari eksistensi hukum dan praktik hukum. Hal ini relevan dengan dalil
pertama dari lima dalil filsafat hukum yang dikemukakan oleh Meuwissen
bahwa Filsafat Hukum adalah filsafat, karena itu ia merenungkan semua masalah
fundamental dan marginal berkaitan dengan gejala hukum.
Tema utama kajian filsafat hukum meliputi tiga pilar yakni
ontologi, aksiologi dan epistemologi hukum ditambah moralitas hukum.
Ada dua pendapat mengenai penempatan filsafat hukum,
yakni pendapat bahwa filsafat hukum berdiri sendiri dan tidak dapat
diklasifikasi ke dalam ilmu hukum. Pendapat lain menyatakan bahwa filsafat
hukum merupakan bagian dari ilmu hukum.
Pendapat pertama senada dengan apa yang dikemukakan Bellefroid dalam Inleiding tot de Rechtsweettenschap in Nederland, yaitu : Filsafat
Hukum dan Sosiologi Hukum tidak dapat diperhitungkan sebagai ilmu-ilmu hukum
melainkan ilmu-ilmu pembantu bagi ilmu hukum. (O. Notohamidjojo, 1994:41).
Masih menurut Bellefroid, ada lima
bidang hukum yang mencakup :
1.
Rechtsdogmatiek (Ilmu Hukum
Dogmatik), obyeknya “hukum positif”, hukum yang ditetapkan oleh otoritas negara.
2.
Rechtsgeschiedemos (Sejarah Hukum), obyeknya “sistem hukum masa lampau”.
Sejarah hukum sangat penting karena menganalisis perkembangan lembaga- lembaga
hukum, figur hukum masa lampau yang mempengaruhi sistem hukum masa kini.
3.
Rechtsvergelijking (Ilmu Hukum Perbandingan), obyeknya “dua atau lebih
sistem hukum”. Ilmu ini mengkaji persamaan dan perbedaan berbagai sistem hukum
dari berbagai negara.
4.
Rechtspolitiek (Politik
Hukum), obyeknya “kebijakan hukum”. Menurut paham Bellefroid politik hukum
mengembangkan ius constitutum (hukum
yang berlaku) ke dalam ius constitendum (hukum yang
dicita-citakan).
5.
Algemene Reschtsleer (Ajaran Hukum Umum),
obyeknya “pengertian- pengertian dasar hukum”. Fokus kajiannya mengenai subyek
hukum, obyek hukum, hak dan kewajiban hukum, kecakapan bertindak dalam hukum
(dewasa dan di bawah umur) dan asas-asas hukum umum.
Pandangan
kedua, ditinjau dari pandangan O.
Notohamidjojo. Ia berpendapat bahwa
‘kesenian hukum’ mencakup :
1.
Perundang-undangan
mengkaji disatu pihak “politik perundang-undangan” yakni penentuan tujuan dan
isi perundang-undangan. Di lain pihak “teknik perundang-undangan” mengkaji cara
merumuskan norma, sehingga tujuan dan isi peraturan perundang-undangan yang
dimaksud pembentuk hukum itu dapat diekspresikan dengan jelas dan tepat serta
tidak multi-tafsir.
2.
Peradilan, kesenian
hukum yang berkaitan dengan fungsi hakim dalam menerapkan hukum, menemukan
hukum, dan bahkan menciptakan hukum.
Dalam literatur filsafat, termasuk filsafat hukum yang
metode penulisannya lebih didominasi oleh metode sejarah daripada metode
tematik. Metode sejarah membahas secara mendalam dan secara radikal ide-ide
tentang hukum dari abad ke abad yang dikaji dari aliran-aliran filsafat hukum
dalam dimensi historis-kronologis. Penulis lebih cenderung untuk mengikuti
pandangan bahwa filsafat hukum menempati kedudukan ilmu hukum dalam arti luas,
dengan alasan begitu luasnya cakupan kajian ilmu hukum. Dengan kata lain,
filsafat hukum sebagai bagian dari filsafat juga dapat dimasukkan ke
dalam daftar disiplin ilmu yang mempelajari
hukum.
BAB II ASPEK
FILOSOFIS EKSISTENSI HUKUM
Segi filosofis eksistensi hukum mencakup :
a.
Ontologi Hukum,
penelitian tentang hakekat dari hukum;
b.
Aksiologi Hukum,
penentuan nilai-nilai dalam hukum;
c.
Epistemologi Hukum,
analisis tentang hakekat pengetahuan hukum, sehingga merupakan penentu dari
metodologi hukum;
d.
Ideologi Hukum,
penentu wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang berfungsi sebagai
legitimasi institusi hukum.
e.
Teleologi Hukum,
penentu makna dan tujuan dari hukum dan fungsi hukum;
f.
Teori Ilmu dari
Hukum, penentu meta-teori dari ilmu hukum, analisis mengenai keilmiahan ilmu
hukum;
g.
Logika Hukum,
penelitian cara berfikir dan beragumentasi yuridis serta bangunan logika
struktur sistem hukum.
Analisis
lebih dalam diuraikan dengan membaginya dalam tiga sub, yaitu ontologi,
aksiologi, dan epistemologi hukum yang dalam filsafat dikenal sebagai aras dari
ilmu hukum. Kedua komponen kajian filosofis ini saling terkait, karena teori
ilmu hukum penentu kriteria keilmiahan ilmu hukum erat kaitannya dengan cara
berfikir, beragumentasi yuridikal dalam banguanan logika dari struktur sistem
hukum.
Aspek
Ontologi Hukum
Ada enam pemaknaan ontologi
hukum sebagai hakekat hukum sesuai dengan aliran filsafat hukum, yaitu :
± Aliran Hukum Alam/Kodrat memaknai “hakekat hukum” itu sebagai
asas-asas kebenaran dan keadilan atau asas-asas moral yang bersifat kodrati dan
berlaku universal. Dengan demikian dimana pun berlaku prinsip bahwa tindakan
yang im-moral merupakan tindakan yang tidak benar, tidak adil dan melanggar
hukum.
± Aliran Positivisme Hukum, memaknai “hakekat hukum” adalah
norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara. Dengan
demikian dengan aliran ini peraturan perundang-undangan merupakan aturan hukum
positif.
± Aliran Utilitarianisme, memandang “hakekat hukum” adalah
norma-norma positif yang diimplementasikan ke dalam peraturan
perundang-undangan sehingga sudut pandang ontologi dari pandangan positivisme
hukum sama dengan aliran utilitarianisme hukum.
± Aliran Sociological Jurisprudence, manganut paham bahwa
“hakekat hukum” itu adalah putusan-putusan hakim inconcreto, yang tersistematisasi sebagai judge made law (hukum yang diputus oleh hakim).
± Aliran/Mashab Sejarah, memaknai “hakekat hukum” adalah
perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial-empirik. Frederich Karl Von Savigny (pelopor
Mashab Sejarah) menyatakan, “hukum tidak
ditetapkan/dibuat oleh pemerintah tetapi tumbuh sesuai dengan sejarah
perkembangan masyarakat yang analog dengan perkembangan kebudayaan, bahasa dan
adat istiadat masyarakat”.
± Aliran Realisme Hukum, memaknai “hakekat hukum” adalah
manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam
interaksi mereka. Pemaknaan hukum kaum realis ini menunjukkan orientasinya
lebih dekat pada berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi,
psikologi dan ekonomi daripada nuansa ilmu filsafat. Menurut penganut realisme
hukum bahwa hakekat hukum berlangsung dalam
dinamika hukum yang marupakan kreasi dari hakim. Jadi hukum
itu apa yang akan diputuskan oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa.
Aksiologi
Hukum
Menurut Sidharta, Aksiologi
Hukum (ajaran tentang nilai hukum) dikaitkan dengan tujuan hukum, yaitu sebagai
berikut :
± Aliran Hukum Alam / Kodrat, karena senantiasa membebaskan
diri dari keterikatan waktu (kekinian), ruang (ke), dalam mana hukum dipandang
berlaku universal dan abadi. Maka bisa dikatakan “aksiologi hukum” sebagai
nilai abadi dari hukum adalah “keadilan” yang juga bersifat abadi (eterna justice).
± Aliran Positivisme Hukum, aspek aksiologis diperjuangkan
nilai “kepastian hukum”, dengan sumber hukum formal berupa Peraturan
Perundang-Undangan. Hal ini dapat diwujudkan melalui asas legalitas yang
merupakan rokh (spirit) dari Positivisme Hukum.
± Aliran Utilitarianisme, bahwa aksiologi yang dianut nilai
kepastian hukum diikuti kemanfaatan (doelmatigheid),
sedangkan nilai-nilai keadilan diabaikan.
± Mashab Sejarah Hukum mengadopsi secara simultan atau bersamaan
aspek aksiologi hukum yakni kemanfaatan dan keadilan.
± Aliran Sociological Jurisprudence secara singkat dapat
dikatakan aspek aksiologi hukumnya juga secara bersamaan mengadopsi
“kemanfaatan” dan “kepastian hukum”. Nilai kemanfaatan diperoleh dari metode
penalaran atas fakta-fakta empiris, sedangkan kepastian hukum diperoleh melalui
sumber hukum otoritatif, baik berupa Yurisprudensi maupun Peraturan
Perundang-undangan.
± Aliran Realisme Hukum, aspek aksiologi hukumnya yang
diadopsi adalah kemanfaatan, karena aliran ini menekankan kebebasan kreativitas
para hakim untuk menentukan hukum dalam memutus perkara, maka pandangan ini
mengedepankan nilai-nilai pragmatisme.
Sementara, W.
Friedmann (1949 : 435) mengemukakan dari segi nilai hukum (aspek aksiologi) demokrasi
modern dapat dikelompokkan ke dalam empat unsur, yaitu :
1.
Hak hukum individu,
intinya kebebasan individu.
2.
Persamaan di depan
hukum, intinya kesetaraan individu di mata hukum.
3.
Kontrol oleh rakyat
terhadap pemerintah, intinya pemerintahan oleh rakyat.
4.
Negara hukum.
Ini berarti
konsepsi nilai demokrasi dari tema ‘Negara Hukum’ mengadung pilar bahwa ada
keseimbangan antara hak-hak hukum individual dan pertanggung- jawaban hukum
perseorangan (individu). Pilar ini melahirkan prinsip Pertanggung- jawaban atau
tanggung-gugat pejabat (negara) atas tindakannya yang merugikan warga negara
perseorangan, prinsip tanggung gugat pidana (criminal liability) oleh seseorang karena kesalahan atas perbuatan
pidana yang dilakukannya.
Epistemologi Hukum
Menyimak
pendapat Sidharta, Epistemologi Hukum yaitu Metode penelitian hukum doktrinal-deduktif
(legal research) disebut juga penelitan hukum normatif, merupakan
Epistemologi Hukum dari Aliran Hukum Alam/Kodrat dan Aliran Positivisme Hukum.
Perbedaan pada landasan epistemologinya, disatu pihak Hukum Alam/Kodrat memandang
dunia hukum adalah kodrat, sehingga manusia diatur oleh norma-norma obyektif di
luar dunia manusia. Norma-norma itu dapat bersifat teologis, metafisika, dan
rational tergantung konteks keberadaannya. Sedangkan, Aliran Positivisme Hukum
landasan epistemologinya pada validasi norma-norma hukum positif.
Notohamidjojo mengemukakan
metode hukum (aspek epistemologi hukum), dimaksudkan untuk menemukan makna
hukum yaitu melalui interprestasi hukum dan konstruksi hukum.
Ada beberapa
jenis inter-prestasi hukum, antara lain :
a.
Interprestasi
gramatikal, yaitu penafsiran arti kata undang-undang menurut kebiasaan
umum/sehari-hari dan menurut kebiasaan teknis yuridis.
b.
Interprestasi
sistematis, yaitu penafsiran dalam rangkaian (konteks) dengan ketentuan
undang-undang lain.
c.
Interprestasi
historis, yaitu dengan memperhatikan sejarah pembentukan undang-undang dengan
menyimak risalah pembentukan undang-undang yang bersangkutan, atau dengan
meneliti sejarah dari seluruh lembaga hukum yang bersangkutan.
d. Interprestasi teleologis disebut juga penafsiran sosiologis adalah
penafsiran ketentuan undang-undang sesuai dengan tujuan menurut keadaan dalam
masyarakat.
e.
Interprestasi otentik,
yaitu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembentuk undang-undang sendiri.
Misalnya pada Bab IX KUHP, dirumuskan penafsiran otentik tentang kejahatan
makar.
Kontruksi hukum,
antara lain :
a.
Analogische wetstoepassing, yaitu dengan memperluas
penerapan suatu pasal undang-undang.
b.
Argumentum a contrario, yakni konstruksi hukum bahwa terhadap kasus yang tidak
ditentukan secara tegas dalam ketentuan pasal suatu undang-undang tidak boleh
diberlakukan atau diterapkan.
c.
Rechtsverfijning (Penghalusan Hukum), yaitu konstruksi hukum bahwa pihak
korban yang melakukan kesalahan turut menanggung resiko atas perbuatannya.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa aspek Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi Hukum dari enam Aliran Filsafat Hukum, yaitu
sebagai berikut :
1.
Aliran Hukum
Alam/Hukum Kodrat
-
Ontologi : asas-asas
kebenaran dan keadilan
-
Epistemologi : doktrinal
deduktif
-
Aksiologi : keadilan
2.
Aliran Positivisme
Hukum
-
Ontologi : norma-norma
positif dalam sistem perundang-undangan
-
Epistemologi : doktrinal
deduktif
-
Aksiologi : kepastian
hukum
3.
Aliran
Utilitarianisme
-
Ontologi : norma-norma
positif dalam sistem perundang-undangan
-
Epistemologi : doktrinal
deduktif, diikuti non-doktinal induktif
-
Aksiologi : kepastian
hukum diikuti kemanfaatan
4.
Mashab Sejarah
-
Ontologi : pola
perilaku yang terlembagakan
-
Epistemologi : non-doktrinal
induktif
-
Aksiologi : kemanfaatan
dan keadilan (simultan)
5.
Aliran Sociological
Jurisprudence (Amerika)
-
Ontologi : putusan
hakim in concreto
-
Epistemologi : non-doktinal
induktif dan doktrinal deduktif
-
Aksiologi : kemanfaatan
dan kepastian hukum (simultan)
6.
Aliran Realisme
Hukum
- Ontologi : manifestasi makna-makna simbolik para pelaku
sosial, representasinya perilaku hakim dalam memutus perkara.
-
Epistemologi : non-doktinal
induktif (pendekatan interaksional/mikro).
-
Aksiologi : kemanfaatan
Asal Muasal Hukum
Hukum berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya untuk bekerja sama dalam
memuaskan kebutuhan fisik, biologis dan kebutuhan sosial. Perkembangan
masyarakat ini dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode primitif dan modern.
Pada periode primitif, hukum lahir dari adat-istiadat menjadi matang muncullah
bentuk hukum kebiasaan (customary law),
cirinya tidak rasional. Di samping itu, pada masa modern, hukum berasal dari
kesepakatan legislator, melahirkan statutary
law atau state law (hukum negara)
yang berciri rasional dan normatif.
Dalam
menjalankan hukum, harus dibedakan antara Hukum Tidak Tertulis (Hukum Adat) dan
Hukum Tertulis (Peraturan Perundang-Undangan). Hukum adat memiliki basis sosial yang kuat bertumpu pada
struktur masyarakat atau lembaga sosial yang menempatkan cita-cita ideal dalam
kehidupan masyarakat sebagai nilai luhur yang
dijadikan norma dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan Hukum Tertulis yang
menjadi otoritas pejabat, tahapan pembentukannya diatur secara formal dan hubungan
antara norma hukum dengan Cita Hukum bergantung pada kesadaran dan penghayatan
para pejabat terhadap dasar hukum dalam kerangka sistem hukum.
BAB III ASPEK FILOSOFIS PRAKTIK HUKUM
Validitas
hukum berarti bahwa aturan hukum itu berlaku untuk warga negara maupun pejabat
dan juga penegak hukum. Validitas dipadankan dengan gelding theorie (bahasa Jerman) yang berarti kesempurnaan landasan
berlakunya aturan hukum. Validitas hukum ditentukan oleh tiga doktrin :
1.
Doktrin filosofis
yakni nilai-nilai filsafat yang mengidentifikasi hukum yang benar. Validitas
bukan karena berlaku secara efektif tetapi karena mampu memenuhi kepastian
hukum.
2.
Doktrin yuridis dari
validitas, yakni isi aturan hukum yang normanya imperatif berisi keharusan,
kewajiban, serta tersusun dalam satu tata hukum yang validitasnya ditentukan
dalam hubungan hierarkis (hukum tertinggi).
3.
Doktrin sosiologis
dari validitas yakni berupa tindakan paksaan oleh penegak hukum maupun
pengakuan dan penerimaan masyarakat atas norma hukum berlaku secara faktual
efektif.
Efikasi Hukum
menurut Hans Kelsen yaitu perilaku
seseorang yang sesuai dengan norma hukum. Oleh karena itu efikasi sebagai
kesesuaian perilaku dengan norma, efikasi terletak di alam realita (faktual),
sementara validitas diartikan keabsahan dan mengikatnya norma hukum, sehingga
harusnya diberlakukan.
BAB IV RANGKUMAN PEMIKIRAN BERBAGAI ALIRAN FILSAFAT HUKUM
Hukum Alam
Lintasan
sejarah Hukum Alam pada era klasik didominasi pemikiran ahli-ahli pemikir besar
tentang Negara dan hukum filsof Yunani Kuno (Kelompok Stoic, Socrates, Plato
dan Aristoteles), serta filsof Romawi Kuno (Cicero). Pemikiran itu dapat
dirangkum sebagai berikut :
1.
Kelompok Stoics,
bentuk dan materi Hukum Alam ditentukan oleh alam-fisik, sehingga menurut
akal-budi manusia harus hidup secara alamiah mengikuti hukum kodrat.
2.
Socrates (470-399
SM), Hukum Alam memandang hukum menurut prinsip moralitas yang merupakan produk
alat budi yang benar.
3.
Plato (428-348 SM), murid
Socrates, Plato mengidolakan ide keadilan absolut dalam arti hukum yang
memiliki kualitas kebenaran. Ide keadilan absolut bisa terealisasi jika Negara
diperintah oleh ahli filsafat (filsuf).
4.
Aristoteles (348-322
SM), mengakui eksistensi Hukum Alam pada dirinya mampu mengembangkan
tujuan-tujuan spesifik baik mengenai fenomena alam fisik maupun fenomena moral.
Ia membedakan dua jenis keadilan yakni keadilan alam (nature justice) dan keadilan konvensional.
5.
Cicero (106-43 SM),
memandang alam dalam arti akal-budi manusia yang menentukan aturan hukum
bagaimana seharusnya manusia berprilaku dalam hidupnya. Akal budi manusia
menjadi dasar dari hukum yang berlaku universal. Cicero juga berpendapat bagi
Hukum Alam, jika ada hukum yang tidak adil bukanlah hukum, dan untuk mencoba
tolak ukur hukum yang baik adalah apabila sesuai dengan Alam (nature).
Peta aliran
Hukum Alam pemikirannya mengenai hukum telah dibagi ke dalam tiga kelompok,
yaitu :
1.
Para Rasional dipelopori
Thomas Aquinas (1226-1274)
Inti teorinya, Hukum Alam lebih tinggi daripada hukum
manusia karena hukum alam mengandung asas kebenaran yang berlaku umum, abadi
dan tak berubah melalui akal budi sehingga dapat dipahami secara manusiawi.
Hukum positif yang bertentangkan dengan Hukum Alam bukanlah hukum melainkan
penyimpangan hukum (legis corrupty)
karena itu tidak pantas ditaati.
2.
Para Voluntaris dipelopori
Thomas Hobbes (1588-1679)
Inti teorinya, Hukum Alam terdiri atas kepatutan,
keadilan, berterima kasih dan kebijakan susila lainnya merupakan asas-asas
moral yang dalam keadaan alamiah (status
naturlis) hanyalah bernilai manusiawi dan baru sesudah terbentuk Negara
melalui perjanjian masyarakat/rakyat menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Negara,
maka atas perintah Negara barulah hukum terbentuk (status-yuridis).
3.
Para Teknologi dipelopori
Lon Fuller (abad ke-20)
Lon Fuller mewakili pandangan aliran Hukum Alam abad
ke-20. Fuller memandang Hukum Alam sebagai metode mengandung prinsip-prinsip
moral yang disebutnya dengan istilah “the
inner morality of law”. Ia memandang Hukum Alam sebagai metode, karena tema
utama dari The Morality of Law
berurusan dengan bagaimana cara membuat aturan yang memiliki legalitas sesuai
dengan bagaimana cara membuat aturan yang memiliki legalitas sesuai dengan
prinsip-prinsip perundang-undang yang baik (notion
rules). Isu penting yang diangkatnya adalah mengenai konsepsi hukum dalam
kegiatan memandu cara membuat peraturan yang legal. Bagi Fuller, hukum itu
bukan hanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, akan tetapi
pengertiannya lebih luas termasuk juga peraturan yang dibuat oleh perguruan
tinggi, peraturan dari perkumpulan, ketentuan perjanjian perburuhan secara
kolektif.
Hukum Aliran
Positivisme
Positivisme
hukum diawali oleh “positivisme naif” atau legisme
yang memandang hanya aturan hukum yang dibuat berdasarkan kekuasaan negara diakui
sebagai sumber dan berlakunya hukum positif. Oleh karena itu disebut juga
positivisme undang-undang, atau lebih terkenal dengan sebutan ajaran legisme
atau legalisme.
Beberapa
analisis pemikiran hukum Aliran Positivisme Hukum dari berbagai paham, antara
lain :
1.
Positivisme
imperative dikenal sebagai aliran Analytical
Jurisprudence dipelopori Jonh Austin
dalam bukunya “The Province of
jurisprudence Determined”. Ia mendefinisikan hukum adalah perintah,
diwajibkan melakukan perilaku menurut hukum dan jika tidak menaatinya diancam
sanksi. Inti dari pemikiran positivisme imperatif, yaitu :
-
Unsur-unsur hukum
terdiri atas perintah yang berkuasa, kewajiban, dan sanksi.
-
Hukum positif bebas
dari moral, bebas pula dari keadilan.
-
Hukum positif tidak
mengikat yang berdaulat/berkuasa, karena hukum positif dibuat dan dipaksakan
oleh pihak berkuasa yang memiliki suprioritas politik.
-
Penelitian hukum
positif harus dibedakan dari penyelidikan sejarah dan kebijakan-kebijakan
sosial.
-
Hukum positif yang
dibuat penguasa serta hukum perwalian yang dibuat oleh rakyat secara individual
sebagai hukum yang sebenarnya dibedakan dengan hukum Tuhan dan hukum yang tidak
sebenarnya seperti peraturan yang dibuat oleh perkumpulan.
2.
Pemikiran Begriffen
Jurisprudence atau Konstruktions Jurisprudenz dipelopori Von Jhering. Corak pemikirannnya bersifat
fasionalistis-utilaristis, berpusat pada pengertian hukum. Metode atau teknik
hukum yang digunakan meliputi : metode simplifikasi (penyederhanaan) kuantitatif
dan metode simplifikasi kualitatif. Simplifikasi kuantitatif dilakukan melalui
analisis yuridis yakni membedakan norma-norma abstrak umum dan norma-norma
konkret-khusus, dan cara konsentrasi logis, yakni meringkas dari sekian banyak
peraturan menjadi asas-asas pokok, sistematisasi serta pembakuan terminologi
hukum. Yang menarik adalah pemikiran Von Jhering berubah dari Begriffsjurisprudenz yang terpusat pada
segi logis-pengertian hukum, masuk ke aliran positivisme dengan pemikiran Interssensjurisprudence, yang
penekanannya pada pemikiran segi kegunaan kemasyarakatan.
3.
Ajaran Hukum Umum (Algemeine Rechtlehre), dipelopori Adolf Merkel (1836-1896). Inti
pemikirannya bahwa ilmu hukum menggunakan metoda empiris-induktif, karena itu
menafikan Filsafat Hukum. Ajaran hukum umum fokus pada pengkajian
landasan-landasan dasar dan pengetian-pengertian dasar hukum positif. Isi atau
substansi hukum berkaitan dengan faktor-faktor non-hukum (seperti etika-moral),
sedangkan cita hukum mengenai keadilan tolok ukurnya berkembang dari
pedoman-pedoman yang harus dicari dalam hukum positif itu sendiri dan mengenai
bentuk hukum ditentukan oleh Negara. Jadi, dapat dimaklumi jika kedudukan
Ajaran Hukum Umum dalam ranah ilmu hukum, ada yang berpendapat masuk ke dalam
ranah Filsafat Hukum, dan adapula yang menempatkan dalam bidang teknis yuridis
atau ranah dogmatika hukum.
4.
Pemikiran
Neo-Kantin, dikemukakan oleh tiga tokoh, yaitu :
-
Rudof Stemler (1856-1938)
dalam bukunya Lehrbuch der
Rechtsphilofophie yang berkenaan dengan definisi formal tentang hukum dan ideal law (cita hukum) yang membedakan sistem hukum nasional dari satu
negera dengan negara lain.
-
Hans Kelsen (1881-1973),
bahwa Hukum itu selalu hukum positif, kepositifannya terletak pada fakta bahwa
hukum dibentuk dan dibatalkan oleh tindakan manusia yang bebas dari
pertimbangan moralitas dan sistem norma-norma itu sendiri.
-
Gustav Radbruch (1878-1949),
politikus dan yuris Jerman. Pemikirannya didasarkan pada logis transendental
dan pandangan hukum sebagai unsur kebudayaan. Menurutnya hukum berada dalam
dunia baik dunia Sollen (kehidupan
abstrak) maupun dunia Sein (kehidupan
konkret). Oleh karena itu, hukum yang ideal adalah hukum yang individual, yang
menjamin kebebasan dan kebahagiaan individual (HAM).
Hukum Mashab
Sejarah
Pelopor
mashab sejarah adalah Gustav Hugo
(1768-1844) yang inti pemikirannya adalah menyerang pandangan yang berkembang
di abad ke-19 bahwa hukum itu hanyalah produk yang berasal dari legislator
berupa legislasi yaitu undang-undang, ia berpendapat bahwa hukum terbentuk di
luar legislasi di semua negara khususnya di Inggris dan Romawi. Dengan kata
lain, hukum positif terbentuk dengan sendirinya bebas dan tanpa intervensi dari
para legislator atau pembentuk undang-undang.
Von Savigny (1779-1861),
bukan murid Hugo tapi terpengaruh pada pandangan Hugo. Inti pemikirannya
menolak pandangan aliran hukum alam yang mendasarkan pemikirannya tentang hukum
pada prinsip-prinsip hukum berlaku abadi, universal dan tak dapat dilakukan
perubahan serta hukum bernuansa keadilan abadi. Justru ia beranggapan bahwa hukum
berkaitan erat dengan kurun waktu tertentu karena itu selalu mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan perlahan dari bahasa ataupun
adat-kebiasaan.
Henry Maine (1822-1888),
tokoh Mashab Sejarah dari Inggris. Ajarannya mengenai kondisi atau kedudukan
hukum individu di dalam masyarakat. Kedudukan hukum individu tergantung dari
statusnya, jika individu statusnya inferior atau sebagai rakyat jelata
diberlakukan hukum yang kejam, bahkan tidak memiliki hak tetapi hanya memikul
kewajiban seperti zaman perbudakan, sedangkan bagi penguasa terjadi sebaliknya,
mereka memperoleh hak-hak istimewa. Dalam perkembangan di masyarakat modern,
status individu di hadapan hukum sama, setara bahwa setiap individu memiliki
kebebasan dan memiliki hubungan timbal-balik sebagai dasar melakukan kontrak.
Maine : hukum berlaku dari status ke kontrak.
Hukum Aliran
Antropologi
Antropologi
hukum meneliti komunitas masyarakat sederhana dan budayanya fokus pada cara
masyarakat menjalankan hukum melalui penyelesaian sengketa. Kontribusi
pemikiran hukum aliran antropologi dari sisi metode studi kasus adalah
penyelesaian sengketa komunitas masyarakat dan budayanya telah menunjukkan
berlaku hukum yang hidup dalam masyarakat, dan secara filosofis seperti halnya
Mashab Sejarah menginspirasi studi perkembangan hukum dan pluralisme hukum.
Dalam
konstelasi pluralisme hukum di negara-negara berkembang tumbuh bentuk-bentuk
hukum baru yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau
hukum agama, sehingga dinamakan hybrid
law atau banyak juga yang menyebutnya unnamed
law, yaitu hukum masuknya hukum asing yang berinteraksi, berkorelasi serta
beradaptasi dengan hukum nasional bahkan hukum lokal, mungkin saja hukum asing
itu terlebur dan terserap dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
struktur hukum nasional, sehingga tidak dapat diidentifikasi karakternya
sebagai hukum negara atau hukum adat dan hukum agama.
Hukum Aliran
Sosiologis
Literatur
mencatat aliran sosiologis melahirkan ilmu hukum empiris. Tahapan studinya
mencakup :
1.
Sociologi of Law (Sosiologi Hukum), berinduk pada sosiologi karena itu
hasil pemikiran hukumnya dari kalangan Sisiolog (sociologist). Fokus studinya ditekankan pada pengaruh perubahan
sosial masyarakat terhadap hukum.
2.
Sociological Jurisprudence, berakar pada ilmu hukum yang dipelajari oleh para yuris
tetapi lebih menekankan pada struktur, bekerjanya sistem hukum serta hubungan
hukum dengan masyarakat daripada fokus pada metafisika atau logika formal
hukum.
3.
Legal Sociology, sebagai
struktur pengetahuan yang mempelajari situasi masyarakat tertentu, dalam hal
para pejabat hukum atau perilaku perseorangan merespon aturan-aturan hukum,
utamanya berkenaan dengan problem khusus menurut pengamat.
Hukum
Sociological Jurisprudence
Memandang
hukum sebagai institusi sosial, dan eksistensi hukum diperlukan untuk memajukan
kepentingan umum. Tokohnya yaitu Roscoe
Pound (1870-1964). Pemikirannya antara lain :
1.
Tugas Sociological
Jurisprudence ialah menentukan bahwa sumber hukum mencakup usage (adat
istiadat); religion (agama); moral (moral); philosophical ideas (ide-ide
filosofis); adjudication (ajudikasi); scientific discussion (diskusi ilmiah);
legislation (legislagi). Sumber-sumber hukum itu untuk membantu yuris dalam
mencatat dan menganalisis fakta-fakta sosial berkenaan dengan penguasaan
merumuskan atau memformulasi, menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum.
2.
Pemikiran tentang
evolusi hukum. Roscoe Pound dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme, dengan lima
model tahap perkembangan hukum, yaitu hukum primitif / kuno; hukum yang
sebenarnya atau hukum positif; equitas atau hukum alam; hukum yang mapan atau
modern; dan hukum sosialisasi hukum.
3.
Ajaran social
engineering (rekayasa sosial), bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah atau
melakukan pembaharuan masyarakat. Hukum ditempatkan di depan perilaku manusia
untuk mengarahkan perilaku masyarakat ke arah kemajuan.
4.
Teori kepentingan (interst theory), merupakan jantung dari pemikiran hukum aliran Sociological Jurisprudence. Di sini
hukum berperan untuk mendamaikan konflik-konflik kepentingan. Hukum dimaknai
suatu tatanan berperilaku yang tertib sehingga menjadikan semua benda dan alat
yang tersedia untuk memenuhi tuntutan akan kepuasan dapat
berjalan dengan kemubaziran yang sekecil
mungkin.
Aliran Hukum Realis
Dibedakan
antara aliran Realisme Hukum Amerika dan Realisme Hukum Skandinavia. Aliran ini
secara filosofis berakar pada filsafat pragmatisme. Oleh karena itu aliran ini
juga dinamakan aliran Pragmatic Legal
Realism, juga merupakan kelanjutan dari aliran Sociological Jurisprudence. Penganut aliran ini menyakini bahwa
ilmu hukum itu sejatinya tentang law in
action, dalam makna studi hukum empiris fokus pada perilaku hakim dalam
memutus perkara.
Tokoh utama
pendiri aliran Realisme Hukum Amerika ialah Holmes (1841-1935), seorang Hakim
Agung Amerika Serikat. Inti pemikiran hukumnya terkenal dengan adigium : the life of law has been not logic but
experience. Makna adigium tersebut bahwa hukum itu tidak ditentukan oleh
logika undang-undang tetapi hukum adalah prediksi apa yang akan diputus oleh
pengadilan.
Pemikiran
Realisme Hukum Skandinavia persamaannya dengan Realis Amerika ada pada sikap
mereka yakni menolak pandangan bahwa studi hukum itu mengenai hukum yang
seharusnya dan penolakannya terhadap filsafat metafisika yang dalam Amerika
fokus pada perilaku pengadilan, sedangkan Realis Skandinavia penekanannya pada
aspek psikologi yakni ekspresi verbal terhadap fakta dan keadaan.
Aliran
Neopositivisme
Esensi
pemikiran aliran ini berakar pada filsafat positivisme tetapi menolak pemikiran
hukum yang dibangun oleh John Austin. Pemikiran Austin dipandang berat sebelah
karena pandangannnya tentang hukum bersifat eksternal. Dikatakan bersifat
eksternal karena Austin memandang hukum hanya perintah yang berkuasa
(berdaulat), bersifat memaksa, dan harus ditaati pihak yang diperintah, dan
tidak memperhatikan elemen-elemen Internal hukum, seperti moral, kebebasan dan
fenomena sosial. Tokoh aliran Neopositivisme, yaitu :
1.
Herbert Lionel Adolphus Hart, inti
pemikirannya :
-
Ada tiga isu hukum
yang selalu muncul dalam Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, yakni isu paksaan merupakan elemen eksternal
hukum, isu rules berkaitan dengan
otoritas mencakup elemen eksternal dan internal hukum, terakhir isu moral merupakan elemen internal hukum
yang melahirkan kewajiban moral.
-
Konsep aturan hukum
dalam konsep elemen eksternal dan internal hukum.
-
Hukum sebagai aturan
merupakan kesatuan antara norma primer dan norma sekunder. Norma primer
: kebiasaan masyarakat yang menekankan pada kewajiban seseorang, yakni apa yang
merupakan kewajiban untuk dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam
pergaulan di masyarakat. Norma sekunder : kebiasaan masyarakat yang
dikatakan sebagai situasi pra-legal dapat menjadi norma hukum dalam network suatu sistem hukum yang terdiri
dari tiga norma, yaitu norma yang memberikan pengangkutan terhadap suatu
aturan; aturan hukum yang mengatur cara perubahan, pembentukan, pencabutan dan
pembaharuan hukum; aturan hukum yang memberikan wewenang kepada pengadilan
untuk menyelesaikan sengketa atau menjatuhkan saksi jika terjadi pelanggaran
terhadap norma primer.
2.
Julius Stone, inti
pemikirannya :
-
Ilmu hukum karena
tidak memiliki metoda penelitian sendiri, maka ilmu hukum mendapatkan
pengetahuan berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, seperti logika, ilmu
sejarah, psikologi, dan sosiologi.
-
Hukum memiliki
hubungan yang erat dengan moral, bahkan dari segi isinya hukum itu dapat berasal
dari norma-norma moral yang diterima oleh masyarakat untuk mengatur perilaku
manusia secara pantas atau patut.
-
Rasa keadilan yang
berasal dari interaksi antara orang dengan orang lain dalam masyarakat yang
ditentukan oleh keadaan kejiwaan dari masyarakat.
-
Merumuskan tujuh
sifat hukum, yaitu : (a) hukum merupakan suatu kesatuan kompleks yang terdiri
atas bermacam-macam gejala atau fenomena; (b) diantara fenomena itu terdapat
norma-norma yang mengatur perilaku manusia dan dijadikan pedoman untuk
mengambil keputusan; (c) terdapat pula norma-norma sosial yang juga mengatur
hubungan antar anggota masyarakat; (d) keseluruhan aturan-aturan hukum
merupakan tertib hukum; (e) tertib hukum itu bersifat memaksa; (f) paksaan itu
bersifat institusional, artinya pelaksanaannya harus didasarkan pada
norma-norma dan prosedur; (g) norma-norma yang bersifat memaksa itu harus
efektif supaya dapat bertahan.
Mashab Hukum
Ekonomi (Economic Jurisprudence School)
Hukum ekonomi
mempelajari pengaruh fenomena ekonomi kontemporer, seperti : mengenai hak milik
pribadi dan monopoli berkaitan dengan putusan- putusan pengadilan. Achmad Ali
(2009) membedakan kajian Hukum Ekonomi dengan kajian Hukum dan Ekonomi. Hukum
Ekonomi adalah kajian ilmu hukum yang bersifat normatif terhadap bidang-bidang
hukum bisnis. Sedangkan, Hukum dan Ekonomi adalah kajian yang bersifat empiris
yang membahas fenomena hukum menurut pendekatan-pendekatan yang berakar pada
Ilmu Ekonomi.
Tokoh-tokoh
aliran Economic Jurisprudence School, antara lain :
1.
Karl Mark (1818-1883),
inti pemikirannya :
-
Wujud atau karakter
hukum seperti halnya juga politik sebagai “suprastruktur masyarakat” ditentukan
oleh struktur ekonomi masyarakat sebagai terval basis.
-
Fungsi hukum menjadi
alat politik suatu kelas yang menguasai struktur ekonomi untuk melenyapkan
kelas lain.
-
Perkembangan hukum
berdasarkan metoda dialektika dan pencerminan penguasaan ekonomi, yakni dari
hukum feodal (tese) hukum kapitalis (antitese) dan akhirnya hukum
sosialis/komunis (sintesa).
2.
Frederich Engels (1820-1895), inti pemikirannya
yaitu bahwa dalam negara Komunis tidak ada lagi konflik atau pertentangan kelas
dan terjadi negasi terhadap eksistensi hukum dalam peringkat suprastruktur dari
organisasi sosial. Hasilnya hukum akan mati dan digantikan oleh “administration of things”.
3.
Max Weber (1954),
kajiannya fokus pada kontrak, seperti kebebasan berkontrak dan batas-batasannya, status kontrak, kontrak purposive,
dan instrumen negosiasi.
4.
Richard Posner, pemikirannya berkenaan dengan
hukum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kajian hubungan hukum
dan ekonomi.
Fungsi hukum
dalam pembangunan ekonomi memberikan makna yang bernilai tinggi bagi hukum
dalam mensejahterakan masyarakat karena melalui hukum yang efektif dalam
mendistribusikan sumber daya ekonomi kepada masyarakat akan dapat menjamin
pembagian sandang pangan dan perumahan yang layak.
Mashab
Political Jurisprudence
Political
Jurisprudence merupakan kelanjutan dari elemen-elemen aliran Sociological Jurisprudence dan Judicial Realism dikombinasikan atau dilengkapi oleh pengetahuan substantif
dan metodologi Ilmu Politik. Political Jurisprudence menerima pandangan aliran
Judicial Realism bahwa hukum itu esensinya adalah putusan pengadilan
(yurisprudensi) daripada kitab undang-undang. Mashab ini juga menambahkan
argumen baru bahwa pertimbangan-pertimbangan putusan-putusan pengadilan itu
bagian dari proses politik. Ditekankan pula pengadilan tidak memiliki satu
bangunan hukum; bukan badan yang unik yang dipengaruhi oleh legal technician (ahli-ahli hukum), dan
menjaga jarak dari political strunggel
(perjuangan politik), pengadilan hanya suatu lembaga pemerintahan diantara
lainnya.
Inti
pemikiran hukum mashab Political Jurisprudence sebagai berikut :
1.
Putusan pengadilan
berpengaruh pada realisasi dari nilai-nilai kemasyarakatan.
2.
Hakim dalam
menafsirkan UU, presedence, dan menemukan dasar hukum baru mengkombinasikan
pertimbangan politik, budaya, dan pertimbangan hukum.
3.
Hakim dalam memutus
perkara berkewajiban mengembangkan,
mengkonstruksikan teorinya secara mandiri bebas dari pengaruh hakim lainnya.
4.
Dalam mengadili
kasus-kasus berat atau rumit, hakim dalam putusannya menggunakan
pertimbangan-pertimbangan asas-asas, teori politik, dan norma-norma budaya.
5.
Dalam
putusan-putusannya hakim melakukan diskresi untuk melindungi hak-hak individu
dari kekuasaan negara.
Critical Leal
Studies dan cabang-cabangnya
Prakash Surya
Sinha (1983) menyebutkan empat cabang Critical Leal Studies (CLS) yaitu :
1.
Critical Race Theory
(CRT), idenya berasal dari pemimpin Black Power movement (Gerakan Kekuatan
Kulit Hitam) di Amerika (Martin Luther King). CRT melakukan pendekatan kritis
terhadap isu-isu ras dan hukum berkenaan dengan diskriminasi hukum Kulit Putih
terhadap Kulit Hitam.
2.
Feminist
Jurisprudence, berakar dari gerakan wanita liberal di Amerika Serikat yang
tumbuh akhir tahun 1960 dan aktivitas hukum feminist di mulai tahun 1973, puncaknya dalam kasus aborsi yang diputus oleh US Supreme Court (MA Amerika
Serikat) dalam perkara Roe v. Wade. Pemikirannya yang paling berpengaruh kini adalah “the postmodernist feministm” yang metodologinya berdasarkan metode
ilmiah positivisme yang bersifat empiris.
3.
Gerakan Critical
Legal Study (Critical Legal Studies Movement). Akar filosofi Studi Hukum Kritis
ini tumbuh dari pemikiran Teori Kritis Mashab Frankfrurt, Epitemologi
Relativist dan pemikiran hukum aliran Realisme Hukum Amerika. Aliran Legal
Realism yang merupakan akar filosofi Critical Legal Studies Movement bersikap
menentang teori-teori hukum yang pada waktu itu diterima sebagaimana
adanya.
4.
Legal Polycentry,
merupakan gerakan pemikiran hukum diperkenalkan pada tahun 1990 di Institute
Legal Science, University of Copenhagen. Pemikiran Legal Polycentry memperjuangkan
nilai-nilai lokal untuk memberdayakan hukum dapat memenuhi otonomi pembentukan
hukum dalam memenuhi kebutuhan hukum yang beragam dari
berbagai kelompok sosial untuk membangun
hubungan yang harmonis sesuai nilai-nilai moral masyarakat pluralis.
BAB V PENUTUP
Ada enam
aliran Filsafat Hukum yaitu Aliran Hukum Alam, Aliran Positivisme Hukum, Aliran
Utilitarianisme Hukum, Aliran Mashab Sejarah, Aliran Sociological Jurisprudence
dan Aliran Realisme Hukum.
Mengacu pada
sudut pandang teori hukum yang berakar pada epistemologi, metafisis, ideal dan
empiris, ditemukan empat pandangan eksistensi hukum, yaitu mencakup :
1.
Teori yang
mengasumsikan bahwa hukum eksis secara universal, di dunia dan kelahiran hukum
baik karena perintah Tuhan maupun bersumber dari akal budi atau rasio menusia
terbentuk melalui perjanjian masyarakat (contact
sosial). Diusung oleh aliran hukum
Alam yang teori-teorinya bertumpu pada epistemologi metafisis-rasional.
2.
Teori yang
mengasumsikan bahwa hukum eksis pada negara-negara barat yang memiliki
peradaban tinggi sehingga hukum merupakan produk masyarakat manusia yang
superior. Dibantu oleh Sir Henry Maine penganut mashab sejarah Inggris yang
teorinya bertumpu pada epistemologi empiris.
3.
Teori yang
mengasumsikan hukum eksis diawali lewat pernyataan ideologis dan argument
pilihan filosofi yang mengusung kebenaran universal (conveying universal thruth). Dianut oleh filsuf Imanuel Kant dan
Frederich Hegel yang teorinya bertumpu pada epistemologi ideal transendental
(Imanuel Kant) dan epistemologi absolute (Hegel).
4.
Teori yang
mengasumsikan hukum eksis terbatas pada ruang dan waktu, terutama pada
masyarakat politik atau negara yang memiliki otoritas membentuk hukum yang
disebut hukum positif, karena tidak bersumber pada agama dan moral tetapi
bersumber pada wewenang legislator tertinggi yang keabsahannya secara hipotesis berdasar pada norma dasar (grund norm). Pandangan ini dianut oleh
aliran Positivisme Hukum, teori norma hukum murni, karena itu karakternya
normatif. ***
BalasHapusBagaimana filsafat hukum aliran sosiologi.saya tanya disini penerapan filsafat hukum itu sebagai aliran sosiologi bagaimana .
Dan hubungan nya apa.?
Impact masyarakat berdasarkan hukum,perubahan masyarakat menjadi baik atau buruk oleh karena hukum,tapi di Indonesia saya menghubungkannya dengan aliran realisme,pada hakikatnya hukum tidak memiliki kepastian oleh karna undang-undang melainkan hukum nyata oleh karena putusan pengadilan/putusan hakim.
BalasHapus