Resume buku karya
F Darmono E
BAB I EKSISTENSI
HUKUM DALAM NEGARA
Keberadaan hukum dalam kehidupan bernegara menjadi saran untuk mengatur,
menjaga dan mengendalikan semua aspek dalam penyelenggaraan kehidupan
pemerintahan negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara apapun bentuknya
negara itu, tidak mungkin dapat dilepaskan atau dipisahkan dari tindakan
penegakan hukum (Law enforcement), bahkan
di dalam suatu negara yang menerapkan sistem kekuasaan mutlak yang dipegang
oleh Kepala Negara (Diktator) sekalipun, ketentuan hukum senantiasa akan
menjadi panduan (guiden) bagi
pemegang kekuasaan negara dalam rangka menyelenggarakan pemerintahannya.
Jika hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka kepastian rasa aman,
ketentraman ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Segala kebijakan
yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan negara baik yang berkaitan
dengan kebijakan-kebijakan di bidang politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya
maupun pertahanan keamanan, masing-masing harus didasarkan pada suatu mekanisme
atau tata cara yang diterapkan berdasarkan suatu aturan yang dituangkan dalam
ketentuan perundang-undangan.
Hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan menempati posisi strategis dan
menentukan. Strategis karena ketentuan hukum yang dimanifetasikan dalam bentuk
aturan-aturan (baik tertulis maupun tidak tertulis) akan selalu bersentuhan
dengan semua aspek kehidupan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berarti
semua gerak langkah dan operasionalisasi dari keseluruhan aspek atau
bidang-bidang tersebut harus didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang tidak
lain adalah inti atas eksistensi hukum itu sendiri. Sedangkan dikatakan
menentukan, karena baik buruknya penegakan hukum yang diimplementasikan dengan
pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam semua aspek penyelenggaraan
pemerintahan akan memberikan warna (pengaruh signifikan) dalam penyelenggaraan
pemerintahan pada umumnya.
Cakupan yang diperlukan dalam penegakan hukum meliputi 4 komponen utama
yaitu :
v Produk hukumnya (perundang-undangan).
v Lembaga-lembaga atau badan
penyelenggara penegakan hukum beserta sarana dan prasarananya.
v Sumber daya manusia / pelaksana
penegakan hukum.
v Perilaku masyarakat yang taat hukum
atau yang dikenal dengan budaya hukum.
Tindakan penegakan hukum tidak dapat dinilai sebatas pada penanganan dan
penyelesaian suatu perkara melalui proses peradilan, karena semua tindakan
hukum dan proses peradilan baik dalam perkara pidana, perdata, tata usaha
negara dan lain-lain hanyalah merupakan bagian dari proses dalam kerangka
penegakan hukum. Hal ini menarik perhatian publik khususnya terkait dengan
peradilan pidana, disebabkan hal-hal sebagai berikut :
Ø Permasalahan yang harus diselesaikan
melalui proses peradilan pidana adalah berhubungan langsung dan menyentuh pada
aspek kepentingan umum (public interest).
Ø Implikasi atau akibat dari
pelaksanaan penegakan hukum di bidang peradilan pidana adalah berkaitan dengan
hidup dan kehidupan manusia (berhubungan dengan nasib manusia, apakah seseorang
tetap bisa hidup di alam bebas atau harus menjalani kehidupan yang terampas
kemerdekaannya atau bahkan dengan pidana mati).
Ø Implikasi atau akibat dari
pelaksanaan penegakan hukum di bidang peradilan pidana akan dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan kedudukan hukum atau status sosial bagi seseorang yang
menjalaninya (perubahan status dari seorang pengusaha menjadi narapidana, dari
pejabat yang punya kekuasaan dan kebebasan berubah menjadi tersangka, terdakwa
dan atau terpidana kemudian dipecat dari jabatannya).
Ø Dari aspek perekonominan akibat
pelaksanaan penegakan hukum melalui proses peradilan pidana dengan dilakukannya
penyitaan atau perampasan atas aset-aset yang diduga hasil dari tindak pidana
maka bisa mengakibatkan seseorang menjadi miskin karenanya.
Hal-hal tersebut di atas kemudian menjadi pemicu terjadinya praktek-praktek
penyimpangan dalam penegakan hukum yaitu di satu pihak yang diduga sebagai
pelaku suatu pelanggaran penegakan hukum dapat menghindar dari jeratan hukum
dan di lain pihak bagi penyelenggara penegakan hukum yang tidak mampu memegang
amanah untuk menyelenggarakan penegakan hukum atas dasar prinsip-prinsip
Kebenaran dan Keadilan.
Penegakan hukum dengan prinsip Kebenaran berarti pelaksanaan tugas dan
wewenang yang dilaksanakan oleh aparat penyelenggara atau penegak hukum sesuai
dengan ruang lingkup dan tahapannya (penyidik, penuntut umum, atau hakim pada
semua jenis peradilan) dilaksanakan secara lugas sesuai dengan amanat atau yang
tersurat dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penegakan hukum dengan prinsip Keadilan berarti bahwa semua langkah,
tindakan hukum atau kebijakan yang diambil, dikeluarkan atau ditetapkan oleh
penyelenggara penegakan hukum atau pejabat, harus senantiasa didasarkan dan
dengan memperhatikan pada tuntutan hati nurani, suara batin dari manusia pada
umumnya. Ukurannya melalui penilaian masyarakat berdasarkan kualifikasi
kepatutan atau sebagai hal kewajaran.
Hal yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan/penegakan hukum
adalah kemauan atau komitmen untuk memenuhi prinsip-prinsip penegakan hukum
yaitu :
ü Adanya kepastian hukum (legal certainty/law certainty)
ü Keadilan masyarakat (justice for the people)
ü Manfaat bagi masyarakat (benefits for the people)
Salah satu sisi dalam penegakan hukum adalah proses penanganan dan
penyelesaian perkara pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana atau criminal justice system. Proses
peradilan pidana adalah keseluruhan proses yang meliputi tindakan penyelidikan,
tindakan penyidikan, tindakan penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan
serta pelaksanaan atas putusan pengadilan (eksekusi yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana). Masing-masing tahapan dalam proses
peradilan pidana tersebut dilakukan oleh lembaga atau instansi yang
masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang secara rigid telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum
positif baik di dalam ketentuan umum yang diatur dalam Kitap Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun ketentuan khusus Hukum Acara Pidana yang
diatur di dalam suatu ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus pula.
Kewenangan-kewenangan dari lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana dan penanggung
jawab dari proses peradilan pidana berdasarkan perundang-undangan antara lain :
1.
Kewenangan imperatif/limitatif => perintah bersifat
terbatas dan mengikat.
2.
Kewenangan tentatif/alternatif => penyelenggara suatu
proses peradilan pidana dapat memilih untuk menentukan suatu
keputusan-keputusan atau kebijakan tertentu dalam suatu proses pidana.
Sejak pemerintahan Orde Baru (1966), kewenangan Jaksa Agung untuk
“mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” tidak pernah digunakan untuk
menghentikan proses perkara pidana sekalipun dalam bentuk lain telah dilakukan
untuk menghentikan proses perkara pidana saat itu yaitu dalam bentuk :
§ Melakukan penghentian penyidikan
dengan SPPP/SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan);
§ Melakukan penghentian penuntutan
dengan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan);
§ Menutup perkara demi hukum/karena
kadaluarsa/terdakwa meninggal dunia.
Kebijakan Jaksa Agung berupa “mengesampingkan perkara demi kepentingan
umum” terdapat dalam kasus tindak pidana korupsi atas nama tersangka Dr. BIBIT
SAMAD RIANTO, CHANDRA MARTHA HAMZAH (yang dikenal dengan kasus Bibit-Chandra).
Tindakan Jaksa Agung RI untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
tersebut dilabeli penulis dengan suatu “Lembaga Pengampunan” yang diberikan
Undang-Undang kepada Jaksa Agung RI terhadap seseorang yang diduga kuat telah
melakukan suatu tindak pidana, atas dasar atau pertimbangan umum. Hal yang
mendasar dan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan
penyampingan perkara pidana tersebut adalah bahwa tindakan tersebut semata-mata
didasarkan atas pertimbangan kepentingan umum (public interested).
Ukuran untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur kepentingan umum
tersebut terdapat di dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 yaitu “bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas”. Pada kasus Bibit Samad
Rianto dan Chandra Martha Hamzah menurut penulis telah terpenuhi, yaitu :
1.
Apabila tindakan itu (mengesampingkan perkara) dilakukan
suatu akibat, resiko berupa terhambat atau terkendalanya penyelenggaraan
penegakan hukum dapat dicegah/diminimalisir. Sebaliknya, jika kasus tersebut
terus dilakukan dan diajukan ke pengadilan maka dapat menghambat program
pemerintah sekaligus tuntutan publik yang merupakan kepentingan bangsa,
khususnya program pemberantasan tindak pidana korupsi. Khusus perkara pidana
korupsi Bibit-Chandra yang saat itu menjabat anggota komisioner dan sekaligus
unsur pimpinan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jika keduanya dituntut
dan diajukan ke persidangan maka status hukum mereka dari tersangka akan
menjadi terdakwa, dan sesuai Pasal 32 (1) huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang pemberantasan korupsi, maka mereka harus diberhentikan sementara
dari jabatannya. Ketiadaan 2 orang pimpinan KPK ditambah 1 orang pimpinan
karena masa jabatannya telah habis, maka akan menyisakan 2 orang pimpinan yaitu
Haryono Umar dan M. Yasin. Kondisi tersebut (2 orang pimpinan yang seharusnya 5
orang) baik secara managerial maupun psikis akan berdampak negatif yaitu
rapuhnya kekuatan KPK sehingga berdampak negatif pada etos kerja KPK dalam pemberantasan
tindak korupsi, yang berarti juga kepentingan masyarakat luas, bangsa dan
negara menjadi terabaikan.
2.
Bahwa sesuai dengan asas legalitas dan prinsip persamaan
kedudukan warga negara di muka hukum, maka ada beberapa pihak yang menghendaki
diprosesnya kasus Bibit-Chandra. Namun, atas pertimbangan untuk kepentingan
yang lebih luas agar KPK leluasa untuk tetap mempunyai kekuatan dalam melakukan
pemberantasan korupsi, maka Jaksa Agung RI berdasarkan ketentuan yang
diamanatkan dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 mengeluarkan
keputusan yang dinamakan “Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum”.
3.
Apabila program pemberantasan korupsi gagal (meningkatnya
kualitas dan kuantitas korupsi) maka akan berpengaruh pada menurunnya kualitas
pembangunan nasional yang pada waktu bersamaan akan berpengaruh pada menurunnya
kualitas sumber daya manusia Indonesia.
BAB II
SEPONERING DAN KEWENANGAN PENUNTUTAN
Seponering
Seponering merupakan bentuk pelaksanaan dari asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan Pasal
35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2005 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
yaitu untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Sebagaimana pasal
itu yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara
dan atau kepentingan masyarakat luas. Yang dapat melakukan hal itu adalah Jaksa
Agung dengan memperhatikan saran dan pendapat dari Badan-Badan Kekuasaan Negara
yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Kewenangan seponering sudah dimiliki Kejaksaan sejak lama, bahkan di tiga
Undang-Undang sebelumnya. Kewenangan ini masih perlu dimiliki oleh Kejaksaan
selaku penegak hukum, karena berdasarkan asas diskresi, setiap penegak hukum memang perlu memiliki kewenangan
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum itu. Namun, meski begitu harus
diberi rambu-rambu agar seponering tidak diterbitkan seenaknya. Seponering
sebenarnya cukup berguna untuk kasus-kasus tertentu, misal dalam pencurian buah
kakao yang dilakukan nenek Minah beberapa waktu lalu. Dalam hal ini seharusnya
Jaksa bisa menggunakan kewenangannya untuk mengesampingkan perkara, sehingga
tidak menciderai rasa keadilan masyarakat. Seponering juga berguna untuk
mengurangi tumpukan perkara yang mampir ke meja pengadilan.
Pada kasus lain, ada Jaksa yang mengeluh karena sebuah kasus tembok tiga
bata saja yang bermuara ke Kasasi di Mahkamah Agung. Padahal, polisi atau jaksa
sejak awal bisa mengesampingkan perkara ini di tingkat awal. Pihak penyidik
(polisi) mungkin dapat berdalih bahwa yang berperkara tidak mau damai sehingga
ada faktor kultur yang harus dipertimbangkan, sehingga kewenangan seponering
itu tetap perlu dimiliki oleh Kejaksaan.
Kewenangan
Diskresi
Salah satu kewenangan Jaksa yang paling penting di Belanda adalah prinsip
oportunitas (principle of oppurtunity).
Pada dasarnya prinsip oportunitas memungkinkan Jaksa Penuntut Umum untuk
memilih menuntut suatu kasus atau tidak. Jaksa bisa mengabaikan penuntutan
suatu kasus atas dasar dilakukan pada setiap tingkat perkara pengadilan.
Di Belanda, Jaksa memiliki dua kombinasi kekuasaan utama, yaitu kekuasaan
oportunitas dan kekuasaan jaksa untuk menginstruksikan polisi menginvestigasi
suatu kasus atau tidak, atau menentukan bentuk kejahatan apa yang harus
diinvestigasi sebagai prioritas. Seorang Jaksa Pentuntut Umum di Pengadilan
Banding Arnhem (Belanda) menyatakan tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan
seponering. Pertama : apakah tersangka akan memperbaiki perilakunya. Kedua :
apakah norma-norma hukum yang mendasari suatu tuntutan tindak pidana tertentu
akan lebih sering dilanggar kalau tuntutan disisihkan. Ketiga : apakah akan
timbul keresahan masyarakat kalau tindak pidana itu dituntut. Semua ini dapat
dijawab bukan melihat kasus per kasus secara individual tetapi berdasarkan
hasil riset kriminologi.
Diskresi merupakan tindakan pihak yang
berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan
kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan hati nuraninya, artinya jika
melihat kasus seponering yang terjadi dalam kasus Bibit-Chandra, sejarah seponering
atau oportunitas tadi, maka dengan alasan demi kepentingan umum, perkara
Bibit-Chandra sudah seharusnya di-sepot
(menyampingkan atau tidak melanjutkan penuntutan terhadap tersangka karena
pertimbangan asas oportunitas).
Seponering perkara Bibit-Chandra dianggap diperlukan mengingat adanya
dugaan upaya pelemahan KPK, di mana KPK yang telah dibentuk dengan susah payah
yang statusnya berada di depan sebagai motivator atau trigger dalam upaya pemberantasan korupsi perlu diselamatkan dari
upaya pelemahan demi kepentingan umum. Dalam hal melaksanakan kewenangannya,
Jaksa Agung dapat diyakini bukan karena adanya intervensi dari pihak ataupun
lembaga lain, tapi semata-mata demi kepentingan umum, untuk itu pihak lain
diharapkan dapat menghormati keputusan seponering yang diambil oleh Jaksa Agung
untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam kasus dugaan suap
terhadap dua pimpinan KPK yaitu Bibit-Chandra.
Di beberapa negara penganut asas oportunitas, telah berkembang pengertian
penyampingan perkara tidak hanya berdasarkan alasan kepentingan umum, namun
atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi penuntutan. Seperti
kutipan Wilcox, menyatakan bahwa pedoman diskresi penuntutan itu harus seimbang
dengan kedudukan jaksa yang dominan. Akan tetapi kalau pedoman itu terlalu kaku,
diskresi akan berkurang artinya, mengingat bahwa diskresi ini adalah kebebasan
menerobos aturan dan dilakukan dengan tidak keluar dari aturan bernalar dan
aturan berkeadilan. Dengan diskresi penuntutan akan terbuka kesempatan bagi
Jaksa untuk menyaring kasus-kasus pidana lebih efektif sebelum dilakukan
penuntutan dengan melakukan penangguhan penuntutan, sehingga pelaku dapat
merehabilitir dirinya sendiri.
Menurut penulis (Darmono), apabila kewenangan ini didistribusikan kepada
Jaksa Penuntut Umum di Indonesia, niscaya akan lebih dapat dijamin terciptanya
asas peradilan pidana secara cepat, sederhana dan biaya ringan yang bertumpu
pada keadilan dan sangat didambakan dalam reformasi hukum dan era globalisasi.
Diskresi penuntutan ini pada umumnya berkaitan dengan upaya penyelesaian
perkara di luar pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP.
Di Amerika, para jaksa tidak mengenal asas oportunitas, namun mengenal plea bargaining yang menentukan jaksa
dapat mengurangi tuntutan dengan adanya pengakuan terdakwa. Para jaksa di
Amerika hampir otonom dalam melaksanakan wewenang diskresi sejak awal
penyidikan sampai pada pasca persidangan. Keputusan untuk menuntut atau tidak,
hampir bebas sepenuhnya dari orang-orang atau badan lain. Para jaksa Amerika
dapat menghentikan penuntutan atau berkompromi (plea bargaining). Terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum
persidangan di mulai, jika jaksa setuju maka ia dapat mengurangi dakwaan atau
memberi rekomendasi kepada pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih
ringan.
Dengan demikian di beberapa negara penganut asas oportunitas telah
berkembang pengertian penyampingan perkara, tidak hanya berdasar atas alasan
kepentingan umum, namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi
penuntutan. Diskresi penuntutan ini sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia
sebagai negara bekas jajahan Belanda yang ternyata menganut asas oportunitas
sebagaimana dianut Belanda.
Jikalau wewenang untuk mengesampingkan perkara diambil Jaksa Agung
Indonesia, maka para Jaksa itu akan memiliki wewenang untuk menghentikan
penuntutan hanya dengan alasan teknis sesuai yang tertera dalam pasal 140 ayat
2 KUHAP, yaitu : tidak cukup bukti-buktinya; peristiwanya bukan tindak pidana;
dan perkara ditutup demi hukum, misalnya : tersangkanya meninggal dunia, atau
perkaranya kadaluarsa, atau perkaranya sudah diputus oleh pengadilan (ne bis in idem).
Kepentingan Umum
Berkaitan dengan asas oportunitas, diambil kesimpulan bahwa kepentingan
umum identik dengan kepentingan negara. Penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung sampai sekarang ini adalah sangat
insidentil sekali. Pada umumnya semua perkara kejahatan adalah dituntut ke muka
pengadilan jika cukup buktinya.
Kepentingan umum dalam negara hukum mempunyai dua peranan penting terhadap
hukum, yaitu peranan aktif dan peranan pasif. Dalam peranan yang aktif,
kepentingan umum menuntut eksistensi daripada hukum dan sebagai dasar
menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat dicapai. Jadi peranan aktif
kepentingan umum dalam hal ini adalah mengenai cita-cita hukum. Di Indonesia
cita-cita hukumnya diwujudkan oleh pokok-pokok pikiran dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Kepentingan umum memiliki peranan pasif apabila dijadikan
obyek pengaturan daripada peraturan hukum. Sehubungan dengan itu maka
kepentingan umum dapat dilihat dari sudut peraturan perundangan dan menurut
hukum adat.
Secara teorities dapat dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan resultante hasil menimbang-nimbang
sekian banyak kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dengan menerapkan
kepentingan yang utama menjadi kepentingan umum. Secara praktis dan kongkres
akhirnya diserahkan kepada hakim untuk menimbang-nimbang kepentingan mana yang
lebih utama dari kepentingan yang lain secara proporsional dengan tetap
menghormati kepentingan-kepentingan yang lain.
Berbagai Pertimbangan Dalam Tindakan
Hukum / Kebijakan Penghentian Penyidikan / Penghentian Penuntutan Kasus Korupsi
antara lain :
a.
Pertimbangan penghentian penyidikan
Penghentikan penyidikan perkara tindak pidana korupsi di samping didasarkan
atas faktor-faktor yuridis juga dimungkinkan terjadi karena dorongan hal-hal
antara lain :
Faktor Yuridis
-
Pasal dari Undang-Undang tindak pidana korupsi yang
disangkakan tidak sesuai dengan fakta perbuatan yang terjadi dalam kasus
tersebut, sehingga berakibat tidak dipenuhi secara mutlak minimal dua alat
bukti sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat 1 KUHAP, yang bunyinya “Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara
yang satu dengan yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
-
Perbuatan yang dilakukan bukan merupakan perbuatan yang
dapat dikategorikan pada korupsi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, tetapi
perbuatan tersebut masih termasuk dalam ruang lingkup wilayah hukum perdata
atau wilayah hukum lainnya.
-
Tempus delicti perbuatan korupsi telah lewat waktu
(kadaluarsa), tidak mampu bertanggung jawab, meninggal dunia, nebis in idem dan perbuatan tersebut
bukan tindak pidana tetapi perdata.
Non Yuridis :
-
Aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan belum
mempunyai kualitas profesional yang handal karena tak mampu menggali
fakta-fakta hukum dengan baik untuk mengkaitkan hubungan antara peran seseorang
dengan tindak pidana yang terjadi.
-
Adanya intervensi eksternal baik langsung/tidak langsung
(secara yuridis sulit dibuktikan, tetapi ada terjadi), hal ini terjadi bila
korupsi tersebut dilakukan oleh aparat negara yang menduduki posisi strategis
dan berpengaruh dalam masyarakat/pemerintahan, sehingga lingkungan di
sekitarnya akan berusaha dengan segala cara agar perbuatan korupsi tersebut
tidak terungkap dan ditangani oleh aparat Gakkum; biasanya kondisi ini erat
kaitannya dengan suatu rezim yang berkuasa.
-
Penyidik/aparat penegak hukum yang tidak jujur, artinya
penyidik tersebut tidak melaksanakan tugasnya selaku penyidik sebagaimana
mestinya, antara lain perkara yang agak samar-samar pembuktiannya sebenarnya
kalau betul-betul ditangani secara profesional akan terpenuhinya semua unsur
tindak pidana korupsi yang disangkakan, tetapi karena ada intervensi mungkin
janji sesuatu jasa dari pihak tersangka baik langsung atau tidak langsung
(secara yuridis sulit dibuktikan, tetapi itu ada terjadi), maka kemudian
pembuktian yang samar-samar tersebut makin disamarkan, dan hal ini mendorong
sebagai upaya pembenaran penyidik untuk melakukan tindakan penghentian
penyidikan.
b.
Berbagai kebijakan / tindakan “Tidak Melakukan
Penuntutan” oleh Penuntut Umum
-
Mekanisme struktural : melalui mekanisme pasal 140 (2) KUHAP
dan pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 tahun 2004 tentang penyampingan
perkara pidana demi kepentingan umum sebagai pelaksanaan asas oportunitas yang
dilakukan oleh Jaksa Agung.
-
Mekanisme non struktural : melalui hak prerogatif
Presiden yang meliputi amnesti, abolisi. Memang dalam KUHAP tidak dikenal
istilah penghentian pentuntutan non struktural ini, namun dalam praktek
kebijakan tidak menuntut perkara dimungkinkan dilakukan melalui penerapan hak
prerogatif Presiden, atas dasar pertimbangan politik dan kebijakan kepentingan
negara.
Indonesia menganut asas legalitas
yang lebih mengutamakan pemberlakuan norma-norma formal (hukum tertulis), dan
secara umum asas legalitas mengandung pengertian dan prinsip-prinsip :



Muladi (Kumpulan Tulisan tentang RUU KUHP),
mengatakan bahwa dalam penerapan asas legalitas terdapat empat larangan yaitu :




Menurut penulis (Darmono), penanganan kasus korupsi di Indonesia belum maksimal dikarenakan kurang matangnya
penanganan tahap awal (penyelidikan dan penyidikan) sehingga hasil penyidikan tidak maksimal
sehingga pada saat penuntutan mudah dipatahkan dan disanggah oleh terdakwa,
lebih-lebih integritas aparat penegak hukum termasuk hakim belum sepenuhnya
terpuji sehingga berpotensi untuk memanfaatkan kelemahan sekecil apapun dari
peluang yang ada. Oleh karena itu, kegiatan penyelidikan merupakan bagian dari
penyidikan maka seyogyanya secara formal tidak perlu dicantumkan dalam
perumusan KUHAP ke depan, karena pada dasarnya tujuan akhir penyelidikan dan
penyidikan adalah sama yaitu untuk menemukan bukti-bukti terjadinya tindak
pidana dan menemukan bukti-bukti terjadinya tindak pidana dan menemukan adanya
tersangka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam praktek sekarang mekanisme penyelidikan yang dilakukan oleh
penyelidik yang berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) ada dan berpotensi
untuk disalah-gunakan tujuannya, sehingga bila perkara tersebut ditingkatkan ke
tahap penyidikan perkara sulit untuk dipenuhi adanya bukti awal yang cukup
sehingga perkara tak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan atau dalam tahap
penyidikan tidak memenuhi unsur tindak pidana yang disangkakan, akibatnya
perkara korupsi tersebut dihentikan penyidikannya atau bila dilimpahkan ke
pangadilan akan berakibat adanya putusan bebas/dilepas dari segala tuntutan
hukum. Hal ini tentu berakibat dapat merugikan tujuan pemberantasan korupsi.
Pelaksanaan asas oportunitas akan mengalami kesulitan karena alasan demi kepentingan umum mengandung makna
yang luas, oleh karena itu agar pelaksanaannya tidak mengalami hambatan, dapat dibentuk
suatu Badan/Komisi yang sifatnya permanen dengan anggota terdiri dari unsur
pemerintah dan masyarakat (yang mewakili semua kepentingan) bertanggung jawab
langsung kepada Presiden cq. Jaksa Agung.
BAB III BEDAH
KASUS SEPONERING ATAS TERSANGKA BIBIT SAMAD RIANTO – CHANDRA M. HAMZAH
Perkara pidana dapat berhenti pada semua tahap pemeriksaan baik pada
tingkat penyelidikan, tingkat penyidikan, penuntutan bahkan sampai pada tahap
pemeriksaan di muka persidangan dimungkinkan pemeriksaan suatu kasus pidana
akan berhenti atau dihentikan. Penghentian suatu proses perkara pidana
hakekatnya adalah bagian dari sistem dalam kerangka Criminal Justice Process. Secara
keseluruhan ada 5 jenis tindakan hukum untuk menghentikan proses penanganan
perkara pidana sesuai dengan tahapannya yaitu :
1.
Penghentian Penyelidikan (untuk tahap penyelidikan);
2.
Penghentian Penyidikan (untuk tahap penyidikan);
3.
Penghentian Penuntutan (untuk tahap penuntutan);
4.
Pengesampingan perkara demi kepentingan umum (untuk tahap
penuntutan);
5.
Penutupan / menutup perkara demi hukum (untuk tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan bahkan setelah dalam proses pemeriksaan di
persidangan dimungkinkan perkara tidak dilanjutkan prosesnya apabila terdapat
alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76-78 KUHP).
Dalam kasus Bibit-Chandra, sesuai pasal 1 angka 6, Pasal
270 KUHAP dan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI, serta mendasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka secara
hukum Jaksa atau Kejaksaan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan putusan
pengadilan, namun tindakan hukum Kejaksaan (Jaksa) di dalam menangani dan
menyelesaikan kasus tersebut tidak seperti yang disebutkan dalam amar putusan
pengadilan pada perkara in casu,
tetapi tetap dalam kerangka hukum berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan analisa dan
pertimbangan-pertimbangan hukum yang pada intinya dapat diuraikan sebagai
berikut :
1.
Bahwa apabila perkara dilimpahkan ke Pengadilan maka
status hukum para tersangka akan berubah dari terdakwa atau selaku pimpinan KPK
akan diberhentikan sementara dari jabatannya, dan dengan diberhentikan
sementara 2 pimpinan KPK dari jabatannya akan berdampak pada kinerja KPK
sehingga secara manajerian dan psikis
kelembagaan serta secara teknis akan mendorong lemahnya etos kerja KPK dan
memperlemah kepercayaan masyarakat kepada KPK sebagai triger mechanism pemberantas korupsi di Indonesia, yang pada
akhirnya akan memperlemah program dan agenda nasional Bangsa Indonesia dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.
Bahwa dalam masalah penuntutan perkara pidana, di dunia
dikenal 2 asas yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas pada
pokoknya menyatakan Jaksa berwenang melakukan penuntutan setiap pelanggaran
hukum pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan asas
oportunitas pada pokoknya menentukan bahwa Jaksa mempunyai wewenang untuk tidak
melakukan penuntutan atas terjadinya suatu tindak pidana atas dasar
pertimbangan kepentingan umum. Indonesia menganut asas oportunitas sebagaimana
diatur dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI.
3.
Bahwa dengan mempertimbangkan segala aspek kepentingan
yang lebih luas dan lebih besar bagi Bangsa dan Negara yaitu untuk percepatan
dan keberhasilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang paling
tepat bilamana kebijakan yang harus diambil dalam menyelesaikan perkara
Bibit-Chandra adalah dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum.
4.
Bahwa tindakan mengesampingkan perkara demi kepentingan
umum selain merupakan kewenangan Jaksa Agung RI sesuai pasal 35 huruf c
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, pada hakekatnya juga merupakan pelaksanaan
putusan Mahkamah Agung Nomor : 152PK/PIDANA/2010tanggal7Oktober2010.
5.
Bahwa sesuai dengan penjelasan pasal 35 huruf c
Undang-Undang no. 16 th. 2004 tentang Kejaksaan RI, keputusan mengesampingkan
perkaran demi kepentingan umum dapat dilakukan Jaksa Agung RI setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari Badan-Badan Kekuasaan Negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Mengenai status hukum tersangka yang kasusnya telah di seponering, masih menjadi multi tafsir. Sebagian ada yang mempunyai
pandangan bahwa status hukum seorang tersangka yang perkaranya dikesampingkan
adalah ‘tersangka’ baginya masih tetap melekat (tidak hilang). Alasannya
tindakan hukum mengesampingkan perkara berbeda dengan menghentikan (penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan). Karena dikesampingkan berarti
sewaktu-waktu dapat diangkat kembali yaitu tersangka dituntut atau diajukan ke
pengadilan.
Namun, penulis punya pandangan yang berbeda. Darmono menegaskan bahwa
status hukum atau kedudukan hukum seorang tersangka yang perkaranya telah
dilakukan pengesampingan perkara demi kepentingan umum, dengan sendirinya
status hukum sebagai tersangka menjadi berakhir dan hilang dengan sendirinya.
Alasan yang mendasarinya adalah bahwa tidak ada ketentuan di dalam
Undang-Undang apapun termasuk Undang-Undang no. 16 th. 2004 tentang Kejaksaan
RI yang menyatakan keberatan, dan membatalkan atau melakukan gugatan atas
kebijakan atau keputusan Jaksa Agung RI berupa penghentian perkara demi
kepentingan umum tersebut.
Namun demikian, secara persepektif
tindakan hukum Jaksa Agung RI untuk mencabut kembali atas ketetapan seponering ini sangat kecil kemungkinan
terjadi atau dilakukan oleh Jaksa Agung RI, karena :


Terkait dengan status hukum seorang
tersangka yang perkaranya dikeluarkan ketetapan Jaksa Agung RI berupa
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut, yang selalu menjadi
perdebatan atau perbedaan pandangan adalah mengenai kriteria Kepentingan Umum.
Di sini kepentingan umum dimaknai sebagai kepentingan yang lebih besar dan lebih
strategis jika dibandingkan apabila Jaksa Agung RI mengambil keputusan lain selain
pengesampingan perkara seperti yang dimaksud, yaitu dengan melimpahkan perkara
tersebut ke Pengadilan. J J J